Mengandung Spoiler

Panasaran sekali dengan Qodrat, melalui berbagai ulasan dan apresiasi tinggi dari hampir semua situs pengulas film yang saya baca. Termasuk pula, situs montasefilm.com ini yang ditulis rekan penulis saya. Ketika mengedit artikelnya, serta merta saya pun berkomentar, “hei ini John Constantine”, merujuk film superhero DC Comics, Constantine (2005) yang dibintangi Keanu Reeves. Qodrat memang memiliki plot yang menarik, walau belum menonton filmnya. Hampir semua artikel mengatakan bahwa Qodrat adalah film horor dengan kisah yang beda, dengan aksi ruqyah (exorcism) yang mengagumkan, akting menawan dari para pemain, koreografi silat, hingga sisi sinematografi dinamis. Pokoknya segalanya serba jos. Terpancing dari ulasan itu semua, akhirnya saya memutuskan menonton Qodrat.

Saya pun mengajak sobat lawas yang sejak kami kuliah dulu memang suka nonton. Setelah berdebat soal jam menonton, akhirnya kami menonton pada sore hari di Bioskop Empire Jogja. Penonton bioskop hanya segelintir saja di studio 3, tidak ramai seperti yang saya pikir, karena berita di luar, konon film ini menambah jumlah layarnya. Saya mengecek di bioskop lain di Jogja pun, situasinya kurang lebih sama. Dengan penuh harap saya menonton dan untungnya baik kursi di atas dan di bawah kosong sehingga tidak ada yang mendengar bisikan kami sepanjang film. Ini sesuatu yang tidak lazim saya lakukan kecuali ada sesuatu yang tak beres dengan filmnya. Qodrat, bagi saya (juga sobat saya), tidak bisa dibilang film bagus dari hampir semua aspeknya.

Berhubung situs ini sudah mengulas film ini, saya tidak ingin mengulas seperti sebelumnya dan memilih perpektif yang berbeda. Untuk bisa memberi argumen yang solid, saya terpaksa harus memaparkan detil plot secara rinci yang tentunya spoiler. Bagi yang ingin menonton filmnya, saya anjurkan untuk tidak membaca artikel ini. Saya menghargai ulasan-ulasan lain tentang film ini yang telah ditulis begitu baik, hanya saja perspektif memandang dalam kisah dan pencapaian estetiknya bagi saya sedikit berbeda. Bagi penikmat film sejati, opini yang berbeda adalah satu tarik ulur yang menggairahkan untuk digunjingkan.

Qodrat dibuka dengan opening yang memang sedikit mengingatkan pada adegan pembuka Constantine. Melalui POV SHOT sosok protagonis, kita disuguhkan aksi pengusiran setan sosok Qodrat melawan sang iblis yang merasuki tubuh putranya, Alif. Tidak diperlihatkan bagaimana hal ini bisa terjadi, yang jelas kita tahu, iblis harus keluar dari tubuh sang bocah, walau akhirnya sang iblis membunuh anaknya. Cerita berlanjut di kamar penjara yang kumuh, dan ternyata Qodrat dihukum penjara karena (bisa jadi) dituduh membunuh anaknya. Seorang ayah yang membunuh anaknya adalah sebuah tuduhan berat. Alasan paling logis adalah gangguan kejiwaan, itu pun jika Qodrat berkata jujur, dan dia pun faktanya masih berujung masuk bui bukan RS Jiwa.

Lalu sang iblis kembali datang untuk membunuh Qodrat dan kali ini melalui petugas sipir yang mengantungnya hingga mati. Mengapa menunggu momen ini? Mengapa tidak rekan satu selnya yang dirasuki jika sang iblis memang ingin segera Qodrat mati. Rivalitas antara sang iblis dan Qodrat tidak terpapar jelas asal muasalnya, dan saya pikir bakal terjelaskan pada perjalanan kisahnya kelak. Dalam momen mati surinya, Qodrat berada di alam gaib berupa “padang pasir” yang sepertinya dimaksudkan untuk memberinya pencerahan tentang kodrat jalan hidupnya kelak. Hal ini sering kita temui dalam banyak film. Namun, tak ada petunjuk pencerahan apa pun di sini kecuali cahaya menyilaukan yang memberinya kesempatan kedua, dan ia pun kembali alam fana, di ruang kamar mayat entah di mana. Jika di alam tersebut, Qodrat bertemu seseorang, seperti istri atau putranya, bisa jadi lebih memberikan motif tegas mengapa ia harus hidup. Bahwa ada urusan yang masih belum tuntas di dunia.

Cerita berlanjut Qodrat melalukan perjalanan bis ke wilayah pelosok (lokasi Gunung Kidul). Gelagat hawa negatif di kawasan ini sudah tercium ketika Qodrat melihat seorang arwah nenek membuat seorang anak kecil meraung-raung keras di dalam bis. Qodrat berhenti di tengah jalan, tidak ada jalan masuk, tidak ada gapura, namun ia berjalan menaiki bukit kecil yang tak jelas arahnya ke mana. Rupanya ia mengambil “jalan pintas” untuk masuk ke desa pesantrennya yang kering kerontang. Apa sulitnya untuk mencari jalan masuk desa di kawasan ini yang terdapat ratusan banyaknya?

Anehnya, tidak ada suasana desa, yang ada hanyalah satu rumah gubuk yang di sana terdapat keluarga yang putrinya kerasukan setan. Satu bangunan rumah lagi yang terlihat kontras adalah milik Yasmin yang tinggal bersama dua anaknya, Asya dan Alif. Bangunan megah rumah tembok dengan segala perabot antiknya yang jauh berbeda karakter dengan suasana lingkungan sekitarnya. Lalu bangunan pesantren sendiri, yang tampak sekali dibuat setting-nya di areal lapang tanpa satu pun pohon selain lahan kebun luas yang berisi tanaman jagung yang kering. Sepanjang kisahnya hanya bolak-balik berpindah di tiga lokasi ini, pesantren, satu rumah warga, dan rumah milik Yasmin. Ini jelas tidak cukup kuat untuk membangun suasana mencekam yang terjadi di desa. Dialog yang mengisyaratkan aksi menolong warga lain yang kesurupan adalah satu upaya malas untuk menyingkat cerita.

Baca Juga  Kritik Film: Kriteria dan Penilaian

Masih terkait desa dan motif sang uztad kafir, Zafar, yang melakukan perjanjian dengan iblis untuk menguasai tanah desa. Hah? Apa sih yang menjadi keistimewaan desa ini yang membuat tanah di wilayah ini begitu bernilai hingga harus berurusan dengan Iblis? Untuk membangun pesantren kata Zafar. Lho, bukankah tanah di sekitar pesantren saja masih banyak yang kosong? Lalu untuk apa? Air saja di sana susah. Listrik pun belum masuk. Tak terlihat ada potensi apa pun di sana, setidaknya yang diperlihatkan di filmnya. Jika ingin mengembangkan jaringan sekte sesat, sepertinya Zafar berada di lokasi yang kurang strategis. Jika Qodrat tidak ke sana, lantas apa yang terjadi? Sang iblis merasuki warga satu kampung dan Zafar memiliki semua lahan di sana? Lantas mau apa dia dengan semua itu?

Relasi antara sang iblis dan Qodrat yang tak jelas eksposisinya adalah sumber segala masalah kisahnya. Rivalitas Qodrat dengan sang iblis yang tak ada habisnya, tersaji dengan cara repetitif yang membosankan. Rupanya, sedikit aksi tarung fisik dengan bacaan-bacaan ayat dan jeritan di sana-sini, ditambah variasi gerak kamera, dan efek visual (suara), rupanya sudah dianggap menghibur. Satu aksi pengusiran dengan aksi pengusiran lainnya tidak banyak memiliki sensasi yang berbeda. Tidak ada momen yang memperlihatkan kesadaran sosok Qodrat meningkat, sejak opening hingga klimaks. Trauma dan dendam Qodrat tidak mampu kita rasakan melalui empati. Ini semua karena hubungan antara sang jagoan dan sang iblis begitu dangkal tanpa penjelasan yang cukup. Exorcist: The Beginning (2004) adalah satu contoh ideal bagaimana protagonis dan antagonis memiliki sejarah panjang sekalipun mereka hanya bertemu di segmen klimaks The Exorcist (1973).

Satu lagi yang bagi saya menganggu dalam adegan aksinya adalah dialog yang merujuk banyak referensi film barat. Apakah penting nama sang iblis harus disebut? Hai iblis, sebut namamu! Sebut namamu! Ini sering kita lihat di film-film horor barat bertema pengusiran setan, termasuk seri The Conjuring. Lantas setelah disebut apa ada sesuatu yang besar terjadi? Rasanya sama saja. Bahasa Indonesia formal yang digunakan sang iblis juga terasa janggal di telinga. Jika sang iblis berasal dan berbahasa arab, mengapa tidak menggunakan itu, atau bahasa lokal yang merujuk lokasinya. Yah, kita semua tentu tahu, ini untuk kepentingan telinga penonton awam. Satu lagi menyoal dialog adalah ketika Alif dikubur hidup-hidup oleh ibunya. “Ibuuu mengapa saya tidak bisa bergerak!”, bukankah seharusnya meminta tolong, atau setidaknya “Ibu tolong keluarkan aku dari sini!”. Dialog-dialog janggal dan menggelikan macam ini banyak sekali disajikan, termasuk hingga percakapan biasa.

Puluhan plot holes, sebagian sudah dipaparkan di atas, menjadi penanda bahwa pembuat film terlalu malas dalam pengemasan banyak adegannya, khususnya lokasi set. Ketika seorang ibu jatuh dari jurang, sang bapak tidak lantas ada upaya untuk mengejar, namun justru hanya terdiam di tempat sambil meraung-raung meratapi istrinya. Lho, kalau istrinya masih hidup di bawah sana bagaimana? Kamera pun terlalu malas untuk mengejar sosok sang istri. Satu lagi yang menggelikan adalah perpisahan Qodrat dengan Yasmin dan dua anaknya. Tak adakah set lokasi yang lebih baik dari hanya jalan setapak di pinggir hutan? Untuk film sekelas ini jelas adegannya terlalu seadanya. Lalu pada segmen klimaks, seberapa lama daya tahan seorang bocah jika dikubur hidup-hidup? Juga api yang tidak pernah beranjak membesar.

Dengan naskah dan eksposisi lemah, serta sisi teknis (khususnya set) yang kurang memadai, Qodrat jauh untuk bisa dikatakan produk horor berkualitas tinggi. Komparasi Qodrat dengan Constantine atau film Korea Selatan, The Divine Fury adalah upaya tidak fair. John Constantine adalah satu sosok superhero DC yang memiliki sejarah yang panjang melalui komiknya. Sementara The Divine Fury terlalu mapan untuk genrenya dengan pesona aksi dan sosok protagonisnya. Qodrat untuk level realismenya malah sepadan dengan sosok duo pasangan Ed dan Lorraine Warren di seri Conjuring atau film-film bertema sejenis yang seringkali memiliki protagonis seorang pastur. “Qodrat will return” mengisyaratkan sekuelnya, jika film ini laris tentunya. Sosok ini memiliki banyak potensi jika naskahnya digarap dengan matang. Sisi mistik lokal juga masih banyak yang bisa dieksplorasi lagi tanpa harus terpengaruh sosok iblis barat. Penonton tentunya sesuatu yang ingin lebih membumi yang punya karakter dan ciri yang berbeda dari sosok iblis di luaran sana.

Artikel SebelumnyaThe Good Nurse
Artikel Berikutnya20th Century Girl
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

  1. Gak apa-apa sih kalau ini dijadiin review kedua. Satu situs gak harus cuma ngeluarin satu review. Asal review yang berbeda ditulis orang yang berbeda. Tapi satu orang gak boleh ngeluarin lebih dari satu review, baik di situs yang sama atau untuk situs lain.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.