drive my car

Drive My Car adalah jawaban bahwa dalam kancah film, Asia tidak akan berhenti di Parasite (2019) dan Minari (2020).

Drive Your Car, Hamaguchi

Saya mengenal beberapa teman yang senang membaca. Ketika disebutkan mana saja buku novel yang pernah membuat mereka terkesima, setiap lidah mengucapkan bunyi Haruki Murakami. Penulis asal Jepang, dengan fetish terhadap The Beatles.

Drive My Car adalah salah satu cerpen dari bunga rampainya Haruki Murakami dengan judul Men Without Women. Redaksi kata Drive My Car, sebagaimana kebiasaan Haruki Murakami akan fetish-nya, juga diambil dari judul lagu The Beatles dalam album Rubber Soul.

Pada lagu yang ditulis oleh Paul dan John, Drive My Car bercerita soal perempuan dengan visi akan dirinya menjadi seorang terkenal dan bintang layar. Atas pernyataannya itu, kepada laki-laki yang sedang memujanya, perempuan ini cukup memintanya sebagai ‘sopir’. Namun singkat cerita ketika sang laki-laki yang in the middle of struggle to make a living ini telah siap memulai pekerjaan untuk si perempuan, sayang seribu sayang si puan telah menemukan sopir lainnya. Dalam alunan musik rock dan sentuhan blues –dikatakan sebagai era baru bagi musik mereka, Paul dan John membuat syair eufemisme untuk muatan seksual yang terkandung.

Drive My Car milik Murakami juga masih berbicara soal sopir. Kafuku, seorang duda yang untuk sementara tidak bisa menyopir akhirnya merekrut Misaki sebagai tukang antar-jemputnya. Hubungan majikan dan pegawai yang terjadi lambat-laun membawa beberapa hal yang mengekori. Selain Kafuku, kursi jok penumpang diduduki oleh pertanyaan, penyesalan, dan duka atas mendiang istrinya. Sebagai seorang sopir yang baik, Misaki menginjak pedal gas dan mengganti gigi mobil sehalus mungkin sampai-sampai semua beban yang dipikirkan Kafuku akhirnya ikut mengudara lewat asap knalpot. Semua terjadi di Saab 900.

Persoalan alih wahana bukan barang baru dalam wacana film. Namun juga tidak pernah membuat percakapan yang memuat topik tersebut ditinggalkan. Apalagi bila alih wahana itu (semisal) dari novel yang terkenal mutunya berubah menjadi sebuah film yang buruk. Polisi sastra akan membunyikan sirene untuk patroli. Belum lagi para penikmat juga kritikus film.

Saya memiliki teman dekat bernama Yosi dengan pengetahuan kuat soal sastra populer. Yosi yang saya kira punya kecenderungan lebih kuat mencintai literasi ketimbang saya, juga mengungkapkan betapa menyebalkannya menonton Norwegian Woods yang diadaptasi dari novel Haruki Murakmi. Sebab saya belum sempat membaca buku dan menonton filmnya, saya tidak bisa berkomentar sangat banyak. Namun mendengar apa kata Yosi, saya kira saya cukup percaya dan sepakat.

Atau pada kasus yang mirip dalam perfilman dalam negeri, yaitu novel dan film Bumi Manusia. Buku dengan jumlah polisi sastra (atau mungkin bisa dibilang, tentara sastra) jauh lebih banyak. Mengingat banyak sekali “Abang-abangan kiri” yang menasbihkan Pram sebagai nabi dan rasul baru ke-26 mereka. Banyak sekali kecaman yang datang ketika pembuka Tetralogi Buru itu dibuat bentuk filmnya. Dan setelah ditayangkan, banyak komentar kritis yang menghampiri. Seperti minimnya hadir dalam layar soal dekadensi feodalisme layaknya yang dirasakan pembaca dari novel. Kurang-lebih itu pendapat Saut Situmorang.

Ryusuke Hamaguchi adalah seorang kreatif jenius dan penyampai pesan yang asik. Drive My Car yang ia sajikan sepanjang 3 jam menjadi entitas yang menarik. Tidak mendistorsi nilai dasar yang telah ditulis oleh Murakami. Sang Sutradara menggamblangkan apa yang dilalui oleh Yusuke Kafuku.

Drive My Car versi film justru menjadi sebuah entitas yang indah. Hamaguchi yang memilih pendekatan gaya tutur slow burn cinema membuat kita semua lebih paham dengan sisi melankoli Kafuku. Semua dibangun dengan detail. Jarang sekali gambar memperlihatkan apa yang sebetulnya dilihat oleh Kafuku ketika berkendara. Baik saat menyopirinya sendiri, pun ketika disopiri. Gambar hanya ingin bilang kalau satu-satunya yang ia lihat adalah ketika Oto digerayangi oleh laki-laki lain, padahal rumah tangganya ada pada waktu yang terbilang harmonis. Kapan pun dan di mana pun hanya itu yang Kafuku lihat.

Kafuku diantar dan dijemput Misaki. Sekali pun ini hal yang ingin ia hindari, namun ketentuan dari penyelenggara program residensi membuat Kafuku harus turut. Ini semua demi kelancaran proses laboratorium pertunjukan yang sedang digarap.

Kelindan Teks Antarteks

Kafuku adalah seorang dramawan. Aktor sekaligus sutradara. Pertunjukan terakhirnya adalah Waiting for Godot-nya Samuel Beckett. Jujur, ini membuat Drive My Car membawa saya bernostalgia, karena naskah tersebut juga saya konsumsi waktu dahulu berteater. Dan di produksi selanjutnya –yang mana ini terjadi setelah ia memergoki Oto selingkuh dan kemudian mati, Kafuku akan mementaskan Uncle Vanya milik Anton Chekov. Hati saya tambah sendu, karena pemula teater mana yang tidak mempelajari teaterawan asal Rusia berjuluk “The Gun” itu?

Tetapi, di situ letak Ryusuke Hamaguchi pantas mendapat puji-pujian.
“You can yield yourself to your cast mate. Do the same to the text. Yield yourself and respond to the text.”
“Respond to it?”
“The text is questioning you. If you listen to it and respond, the same will happen to you.”

Takatsuki masih belum tercerahkan atas mengapa ia yang dipilih berperan sebagai Vannya oleh Kafuku. Dan itu adalah jawaban Kafuku waktu ditanya Takatsuki. Yup, Takatsuki, laki-laki yang dilihat Kafuku telah menyetubuhi Oto.

Konteks dari dialog yang saya kutip itu adalah apa yang saya tangkap dari Hamaguchi ketika melihat naskah Uncle Vanya. Hamaguchi membuat versi filmnya memiliki keterkaitan teks Drive My Car dengan teks Uncle Vanya. Hamaguchi mempertanyakan dan merespons naskah Uncle Vanya, hingga value dan karakternya muncul. Bakal jauh lebih mengasyikkan, tentu bagi mereka yang sudah lebih dulu membaca naskah Uncle Vanya kemudian menonton film Drive My Car.

Ini semakin jelas waktu Kafuku ditanya, mengapa bukan ia yang berperan saja sebagai Vannya. “Chekov is terrifying. When you say his lines, it drags out the real you.”

Uncle Vanya bercerita tentang seorang laki-laki 47 tahun, yang kalau mati pada usia 60 tahun akan kebingungan bagaimana menjalani sisa 13 tahunnya. Ini semakin rumit, karena cintanya bertepuk sebelah tangan. Perempuan yang menepuk sebelahnya lagi adalah Yelena. Perempuan yang sedang di puncak kecantikannya. Bersuami tua bangka bernama Profesor Alexander Serebrakoff, saudara ipar Vanya sendiri. Dan Yelena sendiri sebetulnya memiliki perasaan terlarang kepada dokter Michael Astroff.

Baca Juga  Pengabdi Setan 2: Communion, Sebuah Tribute Horor untuk Horor?

Vanya mengeluh pun lebih mirip cemburu. Yelena masih muda, tetapi mau mengorbankan masa mudanya hanya untuk menikah dengan seseorang dengan jarak umur yang lumayan jauh. Tak jarang Yelena dicap hanya mengincar harta Alexander. Astroff bertanya kepada Vanya, apakah Yelena adalah seorang yang setia? “….fidelity is false and unnatural, root and branch.”

Kafuku selalu punya kebiasaan: berlatih hapalan dialog dengan suara Oto yang direkam lalu diputar pada tape dalam mobil. Dialog di atas ia recite dan adegan selanjutnya adalah Kafuku mendapat Oto sedang bercinta dengan Takatsuki.

Kafuku dalam dukanya sering bertanya, mengapa Oto sampai hati untuk melakukan affair dengan laki-laki lain. Kafuku juga berprasangka kalau Oto tak mencintainya. Apalagi setelah penangkapan basah yang Kafuku lakukan, Oto bercinta dengan Takatsuki yang jauh lebih tampan dan muda. Takatsuki memiliki kelebihan yang tidak dimiliki Kafuku. Tentu ini sangatlah cocok dengan bagaimana posisi antara Vanya, Yelena, dan Profesor Alexander.

Vanya juga kaget, dan saya pikir kalah telak ketika mendapati Yelena sedang berciuman dengan Astrov. Ini terjadi tanpa diketahui siapa pun. Hanya Vanya yang tahu.

Hal serupa terjadi pula ketika Takatsuki dan Janice Chan melakukan audisi. Keduanya memerankan Astrov dan Yelena. Astrov menyatakan perasaanya dan mencium Yelena. Takatsuki begitu dominatif ketika melakonkannya. Kafuku di kursi sutradara tiba-tiba berdiri, menghasilkan bunyi yang keras, dan tampak marah.

Kafuku mungkin terbawa ke pengalaman empiris, ketika ia mendapati Takatsuki bercinta dengan Oto. Saya kira benar apa yang Kafuku bilang soal Chekov, ia membuat setiap orang yang memainkan naskahnya mengeluarkan jati diri yang selama ini tersembunyi.

Sonnya, anak dari saudari Iparnya, mengajak Vanya meninggalkan emosi buruknya. Selepas gagal menembal Alexander sebanyak dua kali, ia lalu mencuri morfin milik Dokter Astrov. Maksudnya ingin bunuh diri.

What can we do? We must live our lives.

Di rumah Misaki yang telah hancur rata dengan salju, didekapnya Kafuku erat-erat. Perempuan yang nyaris sepanjang film tanpa emosi bahkan cenderung sarkas itu juga memiliki hubungan keluarga yang buruk. Mirip seperti Kafuku. Ada hantu masa lalu berbentuk penyesalan yang kerap bergentayangan. Dan semua cerita sedih itu membuat Kafuku mengalami katarsis. Untuk keduanya.

Those who survive keep thinking about the dead. In one way or another, that will continue. We must keep living. Everything will pass.

Uncle Vanya akhirnya berbaikan dengan Profesor Alexander. Laki-laki yang penuh kesepian, melodramatis, dan berjuang menjalani hidup itu melepas semua beban. Profesor Alexander dan Yelena pegi ke kota akhirnya.

Mobil merah old-fashioned itu kini milik Misaki. Ia berkendara bersama anjing peliharaannya meninggalkan sebuah mini market di salah satu sudut Korea. Sedangkan Kafuku, entah. Mungkin melanjutkan hidup.

Ryusuke Hamaguchi tidak memperluas juga tidak mempersempit Drive My Car milik Haruki Murakami. Sutradara membidik Uncle Vanya yang telah disebutkan dalam versi cerita pendek, pada sasaran yang juga sebenarnya sudah dipajang oleh penulis cerpen. Saya kira sebagai sebuah alih wahana, film ini sangatlah memberikan pelajaran yang asyik bagi orang-orang yang tertarik menulis skenario. Khususnya proses pengalihan dari medium karya sastra.

Antara Saya dan Drive My Car

Hal lain yang sangat sentimental adalah pertunjukan Uncle Vanya yang digarap Yusuke Kafuku. Produksi teaternya menggunakan multilingual. Hal ini mengingatkan saya pada pengalaman menonton pertunjukan yang kebetulan juga berasal dari Jepang.

SCOT (Suzuki Company of Toga) membuat pertunjukan dengan judul Dyonisius. Bercerita soal salah satu dewa mabuk, dewa kesenangan, dan dewa pertunjukan dari mitologi Yunani. Para aktor yang tampil berasal dari beragam negara di dunia. Mereka tampil dengan bahasa ibu masing-masing. Salah satu negara yang ikut menyumbang aktornya di SCOT adalah Indonesia. Yang menariknya –karena seingat saya mungkin lebih dari 5 orang Indonesia yang mana juga berasal dari etnis berbeda-beda, mereka tidak menggunakan Bahasa Indonesia, melainkan bahasa suku masing-masing.

Bahasa dalam pertunjukan adalah elemen penting dalam komunikasi. Bahasa bertindak sebagai media kata-kata dari komunikator sampai ke komunikan. Juga seturutnya bagaimana pertunjukan berkomunikasi mengirimkan pesan kepada penonton. Penggunaan banyak bahasa yang dilakukan justru merupakan bentuk tantangan kreatif. Multilingual mengajak kita mencari identitas makna kultural dari sebuah bahasa. Tentu kesadaran diversitas ini ketika hadir di ruang publik akan mengedukasi penonton.

Salah satu aktor yang ada di kelompoknya Yusuke Kafuku adalah seorang difabel dan berasal dari Korea. Ia melakukan dialognya dalam bahasa isyarat versi Korea. Ketika hal itu terwujud dalam sebuah pertunjukan, membuat saya mempertanyakan bagaimana saya hanya fokus pada penggunaan bahasa suara dalam menerima pesan. Dan melupakan bahasa nonsuara.

Sampai di sini, saya percaya diri untuk menyatakan bahwa Drive My Car adalah salah satu film penting dan bagus dalam beberapa waktu terakhir.

Artikel SebelumnyaLike & Share
Artikel BerikutnyaRomantic Killer

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.