Muallaf (2008)
80 min|Drama|24 Dec 2009
6.7Rating: 6.7 / 10 from 160 usersMetascore: N/A
Two sisters run away from an abusive father and come under the care of a Catholic schoolteacher.

Muallaf (2008) adalah film garapan Sutradara Malaysia Yasmin Ahmad yang juga mengarap film-film sebelumnya seperti  Rabun, Sepet, Gubra, Mukhsin. Pada tahun 2010 film ini memperoleh penghargaan Best Director di ajang 54th Asia Pacific Film Festival.

Muallaf adalah istilah yang bermakna orang non muslim yang masuk agama Islam menjadi seorang muslim. Film ini bercerita tentang kakak beradik, Rohani dan Rohana yang lari dari rumah karena menjadi korban kekerasan Ayah mereka. Rohani (Sharifah Amani) bekerja di klub malam untuk memenuhi kebutuhan adiknya (Sharifah Aleysha) yang masih sekolah. Suatu ketika mereka bertemu dan dekat Brian (Brian Yap) yang juga guru Rohana di sekolahnya. Mereka semakin dekat ketika Brian datang ke rumah. Mereka berbincang soal keluarga, trauma masa lalu, serta agama. Rohana dan Rohani adalah seorang muslim taat yang dikisahkan memiliki pengetahuan luas terhadap agama Islam maupun aliran kepercayaan lain seperti Nasrani dan Tao Te Ching. Sementara Brian adalah seorang Katolik yang kehilangan keyakinan karena trauma masa lalunya.

Hal yang paling menarik pada film ini adalah dialog serta kedekatan hubungan antar tiga tokoh utama yang menjadi fokus cerita. Hampir sepanjang film dialog-dialog yang terlontar layaknya “khotbah” yang mengutip beberapa kitab suci, seperti Al-Quran, Injil, dan Tao Te Ching. Dialog-dialog tersebut membuat keyakinan Brian lambat laun mulai terbuka kembali dan mendapatkan kesadaran baru. Tidak seperti makna judulnya, film ini tidak memaksa dan mengajak untuk masuk ke dalam satu agama Islam melainkan mengajak untuk lebih mendalami agama kita masing-masing dan menjadikan sebagai pegangan hidup bagi kita. Sang sineas  memaknai “Muallaf” sebagai seseorang yang kembali pada keyakinan dan agamanya.

Baca Juga  I

Adegan-adegan yang dibangun tiap adegan sangat sederhana namun mampu menjelaskan permasalahan yang ada. Walau kadang membosankan karena terlalu sering berlama-lama dengan sebuah adegan namun teknik penyuntingan (montage sequence) yang beberapa kali digunakan mampu memecah kebosanan. Teknik kilas balik yang sering digunakan untuk menggambarkan masa lalu Brian maupun Rohani, cukup menyentuh hati dan menegaskan trauma masa lalu mereka. Sayangnya, adegan ending dalam filmnya yang menampilkan adegan “Brian kembali ke rumah” dan “adegan orang masuk gereja” kurang begitu menggigit menggambarkan sisi batinnya yang telah menerima kesadaran baru.

Secara teknis film ini terlihat mapan dengan gaya-gaya yang unik. Sang sineas sering berlama-lama dengan shot (long take) dalam adegan khususnya adegan dialog. Teknik ini sangat efektif untuk menggambarkan kedekatan para tokohnya. Teknik transisi fade out dan fade in sering sekali digunakan dan sangat pas digunakan untuk mendukung motif sisi traumatis tokoh-tokohnya. Dengan gaya dan tema yang unik, sang sineas (alm) telah membuat sebuah karya personal dalam proses pencarian eksistensi hidupnya yang juga meninggalkan pesan pada kita tentang cinta, kebersamaan, dan toleransi.

WATCH TRAILER

Artikel SebelumnyaLewat Djam Malam, Sisi Kelam Mantan Pejuang
Artikel BerikutnyaOmbak Rindu, Sajian Melodrama ala FTV
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.