nagih janji cinta

Sudah tidak terhitung lagi film-film roman komedi dengan pola yang lebih-kurang serupa antarsatu sama lain, termasuk dalam Nagih Janji Cinta. Ceritanya sendiri berasal dari Agustinus Sitorus, dengan skenario garapan Queenb. dan Endik Koeswoyo. Rizki Balki pun mengarahkan cerita cinta lagi lewat film ini. Seperti filmnya yang sudah-sudah, termasuk Laundry Show (2019). Lewat produksi dari perusahaan baru, PIM Pictures, para pemainnya antara lain Irzan Faiq, Marsha Aruan, Ady Sky, Ghea Indrawari, serta Erick Estrada, Wanda Hamidah, dan Sujiwo Tejo. Roman komedi macam apalagi yang bakal disajikan Rizki?

Sepasang mahasiswa baru di Universitas Sebelas Maret (UNS), Bagas (Faiq) dan Ajeng (Marsha), saling punya rasa sejak pandangan pertama pada masa ospek. Keduanya pun melewati hari-hari indah bersama selama berkuliah. Namun, mereka punya latar belakang ekonomi yang berbeda. Bagas hanyalah anak petani kecil di desanya, sementara Ajeng adalah putri sulung salah seorang bangsawan konglomerat di Solo. Sampai pada suatu hari, Bagas ditantang untuk berjanji akan serius dengan Ajeng. bila tidak mau kekasihnya tersebut dijodohkan dengan orang lain, dengan alasan bibit, bebet, dan bobot.

Simpel dan sudah banyak ada bukan? Film-film roman komedi Indonesia memang kerap kali menyuguhkan cerita-cerita dengan pokok permasalahan serupa. Sudah banyak sekali contohnya, baik itu soal perjodohan, persahabatan yang berujung asmara, si miskin dan si kaya, campur tangan orang ketiga, dan masih banyak lagi. Misalnya ada Lara Ati, Notebook, Wedding Proposal, A Perfect Fit, bahkan juga Tersanjung: The Movie. Biasanya, film-film semacam ini pasti dibalut pula dengan komedi.

Saking pasarannya pola di setiap film tersebut, kita bahkan bisa dengan mudah menebak alur ceritanya. Minimal tawaran perbedaan dari pembuatnya adalah pada pengembangan kisah, memasukkan unsur-unsur lokal, hingga perkara komedi. Sisanya? Sudah bisa dibaca polanya akan mengarah ke mana dan berakhir di mana. Paling tidak, kebanyakan akhir cerita filmnya pasti bahagia, dengan bersatunya kedua tokoh utama. Sebuah alur sederhana yang sudah pasti memiliki satu-dua antisipasi dari penulis agar setidaknya bisa mengurangi dugaan dari penonton. Besar kemungkinan mendapat banyak pengaruh dari rekam jejak para penulis maupun sutradaranya sendiri.

Baca Juga  Novel Vs Film Ayat-Ayat Cinta

Segi cerita Nagih Janji Cinta sekarang sudah bisa dipastikan terlalu biasa. Lantas bagaimana dengan sinematiknya? Yang jelas, tidak ada pengolahan istimewa. Bahkan transisi antargambarnya masih kaku dengan pemotongan musik yang kasar. Seolah kita sedang menonton film berbujet rendah yang hampir seperti buatan mahasiswa. Kalau saja tidak mempertimbangkan keberadaan sosok Sujiwo Tejo di sana, atau setidaknya Wanda dan Erick yang cukup mengangkat keseriusan film. Marsha sendiri rupanya belum pernah mendapat kesempatan memainkan peran-peran yang lebih serius, atau berakting di film-film yang bagus. Padahal kemunculannya dalam film sudah sejak 2009.

Kendati demikian, Nagih Janji Cinta memang terasa berupaya sebisa mungkin menambal ketidakmampuannya dalam ide cerita lewat segmen-segmen komedi. Kita bakal bisa melihat itu, utamanya, sering muncul lewat tokoh yang diperankan Erick. Aktor sampingan dengan tipikal karakter komikal di setiap film komedi.

Berat rasanya untuk melihat Nagih Janji Cinta dengan cukup baik, karena tidak mengandung elemen-elemen inovatif yang signifikan. Ada, tetapi alakadarnya saja. Jika bukan karena kehadiran Mbah Tejo, Wanda, dan Erick, film ini benar-benar tidak akan punya sensasi. Adapun unsur lokalitas Jawa dengan mitos, filosofi, dan hitung-hitungan wetonnya hanya menjadi selipan semata. Nagih Janji Cinta pada akhirnya adalah cerita cinta anak kuliahan berbalut kelucuan dengan nilai-nilai kejawen yang dimasukkan tipis-tipis.

PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaQala
Artikel BerikutnyaAda Apa dengan RRR (Rise Roar Revolt)?
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

2 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.