Sutradara : Hirokazu Koreeda
Penulis : Akimi Yoshida (manga), Hirokazu Koreeda (skenario)
Pemain : Haruka Ayase, Masami Nagasawa, Kaho, Suzu Hiroze
Durasi : 128 menit
Bisakah kita melihat lalu me-review sebuah film tanpa membandingkan dengan karya yang pernah dibuat sang sutradara sebelumnya ataupun membandingkannya dengan film ber-genre sama. Mungkin akan lebih sulit lagi kalau kita menonton sebuah film tanpa berpikir filmnya seperti apa ataupun kecenderungan pribadi kita dalam melihat sebuah film. Saya lebih suka menyebutnya: melihat dengan zero mind, ini bukan berarti kita menonton dengan pikiran kosong tetapi lebih ke arah menyisihkan dulu wawasan dan pengalaman yang kita miliki agar merasa seperti penonton pemula yang baru pertama kali menyaksikan sinema. Menonton film dalam keadaan zero mind bagi seorang yang sudah menonton film ratusan atau ribuan memang susah dan hampir mustahil. Tetapi mencoba untuk menonton tanpa memperdulikan film yang dibuat sang sutradara sebelumnya atau berpikir tentang genre yang sama seperti yang akan ditonton nampaknya patut saya coba. Dua hal itulah yang saya lakukan ketika menonton film Our Little Sister karya terbaru Hirokazu Kore-eda, sutradara Jepang yang paling terkenal diluar Jepang saat ini, sabelumnya memang saya menonton dan menggemari karya-karya Hirokazu Kore-eda.
Our Little Sister adalah cerita tentang 4 perempuan bersaudara yang tinggal dalam satu rumah, menjalani keseharian dengan biasa-biasa saja dirumah warisan dari neneknya. Sesederhana itulah cerita film ini, karna tidak ada “drama” atau tensi tinggi, masalah memang kerap datang tetapi bagaimana mereka menjalani keseharian dengan masalah yang dialami masing-masing membuat masalah-masalah itu lebih tepat dibilang bumbu keseharian, yang membuat keseharian mereka makin sedap tanpa menimbulkan luka.
Film ini diadaptasi dari manga berjudul Umimachi Diary, judul asli film ini mengikuti novelnya dan saya lebih suka judul ini dibandingkan judul dalam bahasa Ingrisnya, Umimachi Diary yang terjemahan bebasnya adalah catatan harian di pantai sebuah kota. Sebelumnya rumah mereka hanya ditinggali 3 bersaudara yang semuanya berumur 20-an tahun. Yang paling tua adalah Sachi (Haruka Yase) yang bekerja sebagai perawat di rumah sakit kota Kamakura tempat mereka tinggal, Yoshino (Masami Nagasawa) bekerja sebagai teller bank, dan Chika (Kaho) bekerja sebagai penjaga toko peralatan olah raga. Di awal film mereka mendapat kabar kalau Ayah mereka meninggal. Orang Tua mereka telah bercerai, ayahnya menikah lagi sementara Ibunya meninggalkan mereka tanpa alasan. Ayah mereka menikah lagi dan mempunyai seorang anak perempuan berumur 14 tahun, Suzu Asano (Suzu Hirose). Mereka datang ke upacara kematian dan kremasi ayahnya yang tinggal jauh di Yamagata, distrik kecil yang berada jauh dari Kota Kamakura. Mereka mulai berkenalan dengan Suzu dan merasa tertarik dengan adik tirinya. Karena bisa melihat sebagian diri mereka dalam diri Sozu, mereka menawarkan Sozu untuk tinggal bersama, Sozu mengiyakannya lalu cerita pun berkembang.
Mereka pun tinggal berempat, awalnya ada kecanggungan diantara 4 saudara ini, namun tidak berlangsung lama, karena dasarnya mereka suka berbagi dan memang ada ikatan darah. Sozu mulai pindah sekolah dan segera membuat persahabatan dengan teman-teman seangkatan di sekolahnya. Sozu yang jago bermain sepak bola cepat berbaur dengan teman-teman barunya. Masing-masing mempunyai masalah pribadi, Sachi yang menjalani affair dengan salah satu dokter tempat dia bekerja, Yoshino yang suka nge-beer bergelut dengan masalah di kantor dan pacarnya, Suzu beradaptasi dengan lingkungan barunya, sementara Naho yang wajah dan perilakunya agak kekanak-kanakan menjadi penetral saudara-saudaranya.
Selain sisi cerita, saya merasa nyaman dengan arsitektur dan landscape kota yang menjadi setting film ini. Rumah yang ditempati adalah rumah tradisional Jepang yang cukup besar, dengan halaman yang penuh tumbuhan juga pohon plum. Sementara pagar kayu ditambah pagar hidup dari tumbuhan mengelilingi rumah kayu ini. Karena ini adalah kota kecil di Jepang, pembangunan yang serba modern tetap ada tetapi hampir seluruh arsitekturnya bisa menyatu dengan keadaan alam disitu. Stasiun kereta yang nampak tua tapi bersih, kereta api tua, kereta listrik dan jalanan yang diselingi tumbuhan membuat semuanya terasa asri. Arsitektur maupun landscape tidak tampil indah yang wah, kita tidak merasa terintimidasi dengan keindahan tapi justru perasaan keindahan yang alami datang perlahan sesuai perjalanan cerita film ini. Arsitektur dan landscape yang ciamik ini tentunya tidak bisa dilepaskan dari elemen sinematografi yang mampu menghasilkan komposisi dan warna yang natural dan tidak berusaha tampil dominan.
Keseharian 4 bersaudara ini di rumah tak ubahnya keseharian di kos/asrama putri. Mereka memasak dan mengobrolkan makanan, berargumen tentang pakaian dan kadang salah satu dari mereka asal memakai pakaian yang bukan punyanya lalu timbul keributan kecil, membuat fermentasi dari buah plum maupun berebut kamar mandi. Ada adegan yang bagi saya cukup menarik, yang pertama adalah ketika Sozu diajak teman sekolahnya bersepeda melintasi terowongan, yang dimaksud terowongan adalah jalan panjang yang kanan-kirinya ditananmi bunga cerry yang bermekaran hingga membentuk sebuah terowongan. Sozu yang dibonceng sepeda temanya memandang keatas kepohon cerry sekaligus kelangit, lalu kamera close up dan mengikuti Sozu diatas sepedanya, close up yang cukup lama ini mampu mengekspresikan perasaan Sozu ditempat barunya tanpa harus mengeluarkan kata-kata. Satu adegan lagi yang menurut saya cukup menarik, yaitu saat mereka memakai baju kimono dan bermain kembang api di belakang rumah untuh merayakan tahun baru, adegan sederhana ini mampu menggambarkan kedekatan dan kebahagian mereka berempat sebagai sebuah keluarga.
Sekali lagi film ini bukanlah film yang dramatis dengan tensi yang naik turun hingga mengaduk-aduk emosi kita. Jalan cerita dan konflik-konfik ditampilkan tanpa berusaha memancing emosi kita meskipun begitu film ini tetap mampu menyentuh kita dengan lembut dan lebih dalam. Seperti saat Sachi dan Sozu naik ketas bukit, dari sana mereka bisa melihat landscape perumahan dan pantai yang membentuk kota mereka. Sachi mengajak Sozu untuk berteriak sekeras-kerasnya meluapkan emosi, mereka berteriak bergantian lalu Sachi mengumpat tentang ayahnya yang berarti ayah Sozu juga, sementara Sozu mengumpat tentang Ibunya. Umpatan ini berarti bagi mereka berdua sekaligus film ini secara keseluruhan. Adegan ini seharusnya mampu menaikkan tensi dramatik tetapi lalu di-cut dengan adegan upacara pemakaman yang membuat tensi adegan diatas bukit menjadi biasa saja.
Film ini juga bercerita tentang masa-masa transisi yang membuat keseharian 4 bersaudara ini jadi berbeda. Ada 3 upacara kematian, pertama adalah ayah mereka, kedua bibi dan terakhir adalah pemilik restoran yang sering mereka kunjungi. Transisi yang lain adalah saat Sachi diajak oleh dokter yang selama ini menjalin affair dengannya untuk ikut pindah ke Amerika, dengan berat hati dia menolaknya. Setelah Sachi mengatakan tidak, dia berjalan pulang, di tengah perjalanan dia menoleh kebelakang berharap dokter tersebut datang lagi dan mengajukan pertanyaan yang sama, ternyata hal itu tidak terjadi, dan Sachi melanjutkan perjalanan pulangnya. Transisi dari hal-hal seperti kematian dan berpisah dengan orang yang terkasih menjadi salah satu kunci dalam film ini. Ending film ini pun adalah adegan setelah mereka menghadiri upacara kematian pemilik restoran. Mereka berempat masih menggunakan pakaian hitam-hitam, menyusuri pantai menuju pulang sambil merefleksikan apa yang terjadi pada mereka dan tentang kematian ayah mereka, setelahnya mereka kembali bercanda, bermain air dan berjalan menyusuri pantai, tentu untuk pulang ke rumah mereka, pulang ke keseharian mereka.
Sebagai penutup Our Little Sister adalah film keluarga biasa tetapi akan menarik bagi siapa saja yang bisa merasakan bahwa degup jantung lingkaran hidupnya adalah degup jantung keluarga. Dengan setting dan kebudayaan Jepang yang terpisah jarak dan berbeda dengan saya yang orang Jawa sekaligus tinggal dipulau Jawa, film ini terasa dekat karena memotret keseharian menjalani keluarga. Atau mungkin memang konsep keluarga di Jepang dan Jawa itu hampir sama? Atau bisa jadi hampir sama di belahan dunia manapun ? hmmmmm…… Kalau itu saya tidak tahu.
Penilaiannya diisi dong min, hehe. Saya sudah nonton, dan sepaham banget waktu baca reviewnya