Ada yang sangat mudah ditebak dari sinema coming off age—yakni tokohnya seorang remaja, terkadang kebingungan akan masa depan, terkadang memastikan mimpinya terwujud, memiliki seorang cowok/cewek yang ditaksir. Namun ini yang paling menonjol; latar belakang keluarga yang broken home. Klise! Sudah tahu barang berputar-putar, dan itu masih terus saja diulangi oleh Palm Trees and Power Lines.
Palm Trees and Power Lines adalah garapan swadaya dari sutradara Jamie Dack. Ia menyutradarai film tersebut sekaligus menulis naskahnya dengan uluran tangan Audrey Findlay. Tokoh-tokohnya sendiri diperankan oleh Lily Mclerny, Jonathan Tucker, Gretchen Mol, dan masih banyak lagi. Film ini dikirim ke Sundance tahun kemarin, namun digelar di bioskop pada tahun berikutnya, tepatnya 3 Maret 2023.
Palm Trees and Power Lines sebagaimana coming off age biasanya, menguntit kehidupan seorang remaja, yakni gadis polos bernama Lea. Untuk menghabiskan liburan musim panasnya, Lea, kerap menghabiskan waktu bersama teman-teman seumurannya; mengobrol sambil nyimeng, making love di mobil, dan terkadang berjemur di bawah terik matahari musim panas. Kegiatannya kemudian hari berubah ketika ia bertemu secara tak sengaja dengan Tom, pria berumur 34 tahun. Berawal dari penyelamatan di sebuah kafe, kemudian mengantar pulang, dan berlanjut sampai keduanya menjalin hubungan pacaran.
Pada saat itulah Lea mulai sering berhubungan dengan Tom. Mereka menghabiskan waktu bersama-sama, berbicara tentang kehidupan, mimpi, dan keluarga. Lea tak nyaman di rumah, hubungannya dengan sang ibu seperti ikatan yang putus nyambung, ini sebab ibunya sering menginapkan laki-laki di rumahnya, dan terkadang jarang memperhatikannya. Sementara Tom, selalu menjadi seorang yang misterius, namun hangat dan manis sikap kepada Lea. Gadis itu merasa nyaman, dan menggantungkan kehidupannya kepada Tom. Kedekatan mereka semakin kuat dan itu membawa mereka pada sebuah liburan di mana kemudian Lea dijual untuk melayani kakek tua oleh Tom.
Sampai sini, mungkin tergambar ceritanya ingin menyampaikan apa. Namun, percayalah, Film ini adalah coming off age yang nanggung dan kalang kabut kebingungan. Saya meyakini bahwa latar keluarga broken yang terselip bukan bagian primer dari film ini. Ia sebatas spektrum yang meyakinkan betapa tokoh utama enek dengan rumahnya sendiri. Saya juga meyakini bahwa hubungan antara Lea dan Tom bukanlah bagian primer. Tom adalah pelarian dari gontainya Lea, dan Lea adalah bisnis bagi Tom. Lalu apa yang primer? Apa substansi ceritanya? Entahlah, saya melihat nihil. Apalagi ditambah dengan ending di mana Lea teringat Tom dan menangis tergesa ingin menemuinya. Penghujung itu menarik kesimpulan saya bahwa Palm Trees and Power Lines adalah film yang membingungkan, persis Lea yang kebingungan akan kehidupannya. Atau mungkin substansi dari film ini adalah ‘kebingungan’ itu sendiri, sebuah dilematis kehidupan yang dialami oleh seorang gadis lugu dan terkadang naif. Entahlah.
Namun apakah Palm Trees and Power Lines merupakan film yang buruk? Belum tentu. Ada aspek-aspek estetika umum dari film ini, sebab ke-independenan-nya. Pun film ini menjaga lajunya untuk tidak menyentuh rambu-rambu kebosanan spektator. Artinya, film ini masih melayang di garis ‘antara’—tidak membosankan, namun juga tidak istimewa, hanya datar, hanya mengalir begitu saja melewati pohon-pohon keindahannya sendiri. Andai naskahnya lebih mapan dengan memperhatikan yang utama dan memangkas hal-hal yang tidak diperlukan, mungkin Palm Trees and Power Lines bisa menjadi film yang baik.