Tangled (2010)
100 min|Animation, Adventure, Comedy|24 Nov 2010
7.7Rating: 7.7 / 10 from 507,216 usersMetascore: 71
The magically long-haired Rapunzel has spent her entire life in a tower, but now that a runaway thief has stumbled upon her, she is about to discover the world for the first time, and who she really is.

Alkisah dalam sebuah kastil terpencil hidup seorang gadis bernama Rapunzel (Moore) yang memiliki rambut sangat panjang berwarna emas yang memiliki kekuatan magis bisa menyembuhkan segala macam penyakit. Rapunzel sebenarnya adalah putri seorang raja yang sejak bayi diculik oleh seorang wanita tua licik, bernama Gothel yang memanfaatkan rambutnya untuk hidup awet muda. Suatu hari seorang lelaki muda, Flynn Rider (Levy), yang juga buron karena mencuri mahkota kerajaan secara tak sengaja masuk ke kastil Rapunzel. Rapunzel menyembunyikan mahkota tersebut dan memaksa Flynn untuk mengantarnya untuk melihat lentera terbang yang muncul setiap kali ia berulang tahun.

Rapunzel kali ini dengan format tiga dimensi ingin mengulangi sukses animasi tradisionalnya, seperti The Little Mermaid, The Beauty and the Beast, Aladdin dan lainnya. Film-film ini memadukan kisah roman dan fantasi, musikal, aksi hingga komedi dengan sangat sempurna. Sekalipun Rapunzel memang memiliki kualitas gambar yang sangat memesona (standar film 3D masa kini) namun dari sisi cerita kurang bisa menampilkan “magis” yang biasanya muncul dalam film-film animasi tradisional Disney. Sekalipun biasanya mudah ditebak kisahnya namun kisah-kisah Disney mampu menyihir kita dan membuat kita larut masuk dalam kisah dan tokoh-tokohnya. Entah mengapa Rapunzel tidak memiliki ini semua. Karakter Flynn dan Maximus, sang kuda, yang berperan penting dalam kisahnya tidak memiliki ikatan batin dengan penonton. Satu-satunya karakter yang memiliki ikatan batin dengan kita hanyalah tokoh Rapunzel. Chemistry roman antara Rapunzel dan Flynn pun tampak kurang kuat.

Baca Juga  Pain Hustlers

Ruh animasi tradisional Disney yang terletak pada sekuen musikalnya kali ini coba dimunculkan kembali melalui komposer Alan Menken yang sukses dengan The Little Mermaid, The Beauty and the Beast, serta Alladin. Nomor-nomor manis yang melegenda di film-film tersebut kini tak tampak lagi, dalam Rapunzel terlepas dari koreografinya yang menarik, nyaris tak ada satupun yang berkesan sekalipun dilantunkan dengan manis oleh Mandy Moore.

Dari sisi cerita dan sekuen musikalnya, Rapunzel jelas jauh jika dibandingkan dengan film-film tradisional Disney lainnya. Rapunzel semata-mata hanya menawarkan pencapaian visual yang sangat indah yang sudah sepantasnya untuk film berbujet termahal kedua yang pernah diproduksi sepanjang sejarah sejauh ini. Bagi penonton “anak-anak dan remaja” masa kini rasanya film ini bakal menghibur mereka karena pencapaian grafisnya namun bagi penonton masa silam yang ingin melihat “magis” Disney seperti era jayanya dulu rasanya film ini tidak akan berkesan.

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaSafe JIFFest
Artikel BerikutnyaNarnia, Voyage of the Dawn Treader, Berakhir Sesaat Bermula
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.