Pernahkah terbayangkan dalam benak, gambaran di balik layar pembuatan film oleh para pelaku, pebisnis, dan pekerjanya di Negeri Jiran sana? Lebih-kurang, bayangan inilah yang digambarkan oleh M. Hilter Zami melalui arahannya dalam Bikin Filem. Saking inginnya menggarap cerita film ini, sampai-sampai ia sendiri menulis skenarionya. Bikin Filem merupakan film Malaysia bergenre drama komedi yang diperankan oleh Azhan Rani, Sherry Alhadad, Sharifah Sakinah, serta Amerul Affendi (nominator Aktor Pendukung Terbaik Malaysian Film Festival 2019 dalam One Two Jaga, film Malaysia yang dibintangi pula oleh Ario Bayu dan Asmara Abigail). Kendati dapur film produksinya (Empire Film Solution) tak akrab di telinga penonton awam Indonesia, tapi perusahaan distribusinya (Astro Shaw) adalah salah satu yang menaungi produksi Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, dan bagian dari sederet distributor Dua Garis Biru.

Seorang produser film (Khaty) baru saja menerima kucuran dana dari pengusaha kaya raya sebagai ganti rugi atas tuntutannya. Khaty bergegas menemui Rahim G, sutradara kondang dalam jagat sinema Malaysia, yang dalam singkat cerita telah berhasil mengumpulkan kru, pemain, dan siap syuting. Meski beberapa kali terkendala persoalan teknis yang khas ada dalam proses syuting, Rahim G merasa segala sesuatu tentang produksi filmnya masih berjalan di bawah kendali. Mulai dari perkara stuntman, cuaca, lokasi, kebocoran adegan, hingga akhirnya suatu tragedi harus memaksa para kru film mengubur mimpi dan angan-angan mereka, sampai berhasil kembali bangkit dengan semangat baru bersama setitik harapan.

Film drama komedi ini sedikit-banyak memberikan gambaran mengenai kisah perjuangan para pekerja film yang bekerja di antara panas-dingin siang-malam dan hujan badai untuk melahirkan sebuah film yang layak tayang. Setidaknya bagi khalayak sinema yang diceritakan dalam Bikin Filem. Hiburan berupa kerja-kerja (parodi) pembuatan film sekaligus beragam macam konflik, problematika, sampai tragedi yang sangat mungkin menimpa proses syuting film di lapangan dapat dinikmati dengan baik. Walau kesan melebih-lebihkan akan dirasakan saat menonton sejumlah adegan problematika serta tragedinya, tapi barangkali saja ada beberapa produksi film yang memang mengalaminya.

Terlepas dari bagaimana “kisah di balik layar pembuatan film beserta sepaket problematika khasnya” ini dituturkan, eksekusi melalui aspek sinematiknya boleh dibilang tidaklah mengecewakan. Lagi-lagi pemanfaatan long take diperlihatkan dalam satu adegannya. Memang bukan barang baru. Tetapi menerapkannya dengan maksimal dan mengeluarkan potensinya bukanlah perkara mudah. Kabar baik bagi Bikin Filem yang tidak bermasalah dalam aspek ini karena mampu menyampaikan kompleksitas emosi kru film dan mengumpulkannya dalam satu ruangan sehingga menghasilkan efek ramai dengan tekanan dan tegangan yang cukup tinggi. Apalagi penerapan ini mengombinasikan pula teknis-teknis lain untuk menunjang eksekusinya. Seperti pengadeganan terhadap semua orang yang harus terlihat di layar, setting, termasuk pergerakan kameranya –yang memang tidak halus, tapi terkonsep dan berkesan.

Baca Juga  White Building : Potret Keruntuhan

Bila mengesampingkan kecenderungan menyelipkan konteks keagamaan –yang memang khas Malaysia dengan nuansa Islamnya—bagaimana pun komedi termasuk salah satu genre yang dibanggakan di sana. Bahkan di luar ekosistem perfilman dan bentuk-bentuk tayangan audio visual lain, banyak gelaran pertunjukan pun menjual keragaman lawakan. Tak ayal, faktor ini turut memengaruhi sejauh mana eksplorasi sineas Malaysia menggali kedalaman humor karya-karya bikinan mereka, tak terkecuali Bikin Filem. Malahan, ada My Stupid Boss (terlepas dari fakta bahwa film ini merupakan adaptasi buku), Warkop DKI Reborn 2, dan Upin-Ipin (baik movie maupun serial televisinya) yang membekas di ingatan khalayak sinema Tanah Air dengan latar Negeri Jiran beserta ciri khas humor mereka.

Salah satu trik Bikin Filem yang menarik adalah saat penonton tak bisa membedakan adegan syuting dengan cerita aslinya. Sebab film ini menampilkan beragam genre, seperti horor, aksi, gengster ala western, juga drama. Bila tak jeli dengan tetap memosisikan diri bahwa Bikin Filem merupakan film yang berkisah tentang proses syuting film maka sangat mungkin bagi penonton untuk berulang kali tertipu. Walau kisah-kisah mengenai di balik layar proses pembuatan film bukanlah hal baru lagi sekarang, karena tentu saja sejumlah film dari panggung Hollywood telah mengawalinya. Seperti The Disaster Artist misalnya, atau Shadow of The Vampire dan Saving Mr. Banks.

Bikin Filem sudah cukup, meski tidak memukau; standar dan layak diapresiasi, tapi tak sampai membangkitkan gairah penonton agar tanpa sadar memberikan standing applause. Tampaknya bagi penikmat film di Negeri Jiran, Bikin Filem sudah tergolong dalam kategori baik dari segi hiburan. Sebab toh sebagaimana genrenya, film ini adalah drama persoalan pembuatan film beserta para pelakunya –yang diparodi / komedikan. Nyatanya Bikin Filem valid bila dianggap berupaya memburu tawa penonton melalui beragam cara tapi mengisi celah-celah yang tak bisa dimasuki komedi dengan drama.

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaSeperti Hujan yang Jatuh ke Bumi
Artikel BerikutnyaThe Dark and the Wicked
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.