Perihal sinema, tak banyak yang saya tangkap dari negara Kamboja, kecuali kokohnya arca-arca Angkor Wat, yang pernah terekam dalam film In the Mood for Love, buah tangan sutradara Wong Kar Wai. Terlintas begitu puitis dan melankolis, sebagai momentum penutup yang luar biasa menawan. Sampai pada satu waktu, saya menemukan film yang sangat baik ini, berjudul White Building, garapan sutradara berumur 35 tahun, Kavich Neang. Tak kurang melankolisnya, lebih-lebih rada miris.

Dipilih sebagai perwakilan negaranya dalam ajang Academy Awards ke-94 untuk kategori Film Internasional Terbaik, White Building siap bersaing dengan negara-negara tetangganya, termasuk Indonesia melalui film Ngeri-Ngeri Sedap. Meski pada dasarnya White Building merupakan film yang tidak berorientasi sepenuhnya pada hiburan. Namun kekuatan narasi serta pemanfaatan bahasa gambar menjadikan film ini menarik dari isi dan sinematiknya.

Tayang untuk pertama kalinya pada Festival Venesia ke-78, tahun silam, White Building membawa kisah perubahan warna dalam kehidupan seorang remaja di tengah gaung modernitas rapid urban di kota Phnom Penh, yang harus bertarung melawan dampak gentrifikasi yang menyerang perumahan petaknya, serta dualitas antara melepaskan dan mempertahankan sebuah mimpi yang bersarang di pikirannya.

Gentrifikasi, sebagai sebuah premis, adalah hal yang tak jamak dalam dunia film. Dan Kavich Neang mengambil resiko mengangkat itu tanpa banyak punya pijakan, ditambah mengkonstruksinya lewat gaya yang menghindar dari segala ketabuan sinema. Mulai dari tensi yang datar dalam menggambarkan kehidupan sebuah kota, penggunaan aktor-aktor amatir, alih-alih profesional, sampai pendekatan neorealis yang terkesan sangat baru.

Untuk keseluruhan di atas, saya menerjemahkannya sebagai jalan alternatif Kavich Neang dalam upayanya menciptakan film yang di samping itu sebagai hiburan, juga sebagai sebuah seni yang sulit terbantahkan. Ia mampu, dan ia berhasil. Alasan yang saya lihat ketika ia menggaet aktor-aktor amatir di filmnya pun, adalah bukan hanya semata-mata menanjaki pencapaian estetika. Lebih dari itu. Ikut sertanya para pemain amatir ini adalah untuk menciptakan dunia fiksi sesegar mungkin, se-riil mungkin, tampak nyata. Dan Kavich Neang memandang bahwa, (mungkin) hanya aktor amatiran yang mampu menyempurnakan isu realitas yang diangkatnya, dalam elaborasinya terhadap pendekatan neorealis. Dan itu terbukti.

Maka tak dinyana, White Building nyaris sempurna di segala lini. Sempurna secara teknis, sempurna juga dalam pengembangan narasinya. Plot yang disajikan membuat yang menonton seakan-akan berada di dalamnya, di tengah kekacauan batin karakter utamanya. Melalui kacamata Samnang, kita terjun ke dalam kepingan-kepingan peristiwa, bukan sekadar film belaka. Ikut melihat dan merasakan bagaimana dampak dari penggusuruan bekerja. Yang ternyata, tak hanya meruntuhkan material-material di dalam rumah, namun juga meruntuhkan segala-galanya yang ada dalam diri.

Mimpi yang Runtuh

Tokoh sentral dalam film ini adalah seorang remaja bernama Samnang. Kehidupan Samnang laiknya orang-orang penikmat masa muda: setiap sore bermain sepak bola, memiliki minat yang sangat kontemporer, selalu terpesona dengan kecantikan gadis-gadis yang ditemukan di kafe-kafe maupun keramaian jalan-jalan Phnom Penh. Sebuah cermin remaja masa kini, dalam modernitas yang menggaung di ruang-ruang urban. Tapi tak sedikit Samnang memunculkan semacam paradoks terhadap zaman yang riil, menampakkan diri sebagai remaja baik-baik: satu kali terlihat berdoa betapa khusyuk, dan rutin memikul nazar “jika menang, kami akan mempersembahkan ayam dan tujuh jenis buah.” Tawaran yang sungguh menggiurkan.

Namun di sini, ‘menang’ yang dimaksudkan Samnang saat menyogok Tuhan itu apa? Maka untuk pertama kalinya, kinerja bahasa gambar oleh Kavich Neang bermain tepat di wilayahnya. Terkaan akan meleset kalau kita kurang mendetil dalam menangkap framing di intro film: penampakan selembar brosur berwarna kuning keemasan tertempel pada dinding, lalu berpindah pada dua karakter yang hening menatapnya. Teknik POV yang cantik dan baik.

Isi selembar kertas itu adalah sesuatu yang bersangkutan pada minat Samnang, yaitu dance hip-hop ala-ala Barat. Dengan berbekal bakatnya juga bakat kedua sahabatnya, Ah Kha dan Samho. Samnang, berkeinginan tak sekadar menguras waktu hanya berhenti di tingkatan ‘minat’ terhadap hip-hop. Namun lebih dari itu, ia bermimpi bisa masuk ke layar televisi dan memamerkan tariannya. Ia menjadikan hip-hop sebagai tugur mimpi yang mesti didaki dan dipanjati. Lantas mencuatlah sikap ambisius di sini. Samnang bercita-cita, Samnang berambisi segala yang dilakukannya bisa.

Cantiknya, ambisi Samnang itu tidak diperlihatkan dengan cara yang gaduh ataupun berlebihan, melainkan dengan cara yang lamban. Sebuah upaya mempertahankan korelasi yang normal antara awalan dan sepertiga durasi filmnya. Sekaligus mencipta tali relevansi antara intensitas sepertiga durasi ke pertengahan durasi. Ini sulit, tapi sang sutradara melewatinya dengan gagah.

Tetapi, bukankah sebuah mimpi akan terasa hambar jika alpanya pelbagai hambatan yang menyertainya? Itu disadari oleh Kavich Neang.

Maka diposisikanlah Samnang pada kegalauan dan tekanan: kepergian Ah Kha bersama keluarganya yang memilih boyong ke Perancis, juga gentrifikasi yang menyasar perumahan petaknya. Sontak, karakter Samnang mengalami transfigurasi yang signifikan. Ia bukan lagi remaja yang menikmati masa muda sambil ngalor-ngidul berlatih dance hip-hop bersama dua sahabatnya. Tidak lagi mata keranjang dan menggoda gadis-gadis di sepanjang jalan raya. Samnang dan dua sahabatnya tercerai-berai. Ketiganya terpisah oleh situasi yang betul-betul menyebalkan. Dan yang menyakitkan adalah, wacana peruntuhan perumahan petak tersebut, juga berdampak pada runtuhnya mimpi Samnang.

Baca Juga  Film Lebaran 2018, Cermin Kualitas Film Kita?

White Building bergerak dengan sabarnya. Eksplorasi kisah/narasi beberapa banyak teruraikan lewat semesta simbol, tentu itu membutuhkan komposisi yang ringan agar lebih leluasa dicerna. Keringanan itu, diterjemahkan sebagai gelombang yang datar juga kadang lambat. Bila film ini diibaratkan seorang  manusia, kita akan melihat bahwa ia selalu saja memasang raut mata yang mengantuk dan kurang bertenaga. Namun, entah betul atau tidak, itulah yang membuat peralihan-peralihan emosi para karakter yang tampak dalam film lebih menyentuh, tidak sekelebat datang begitu saja, apalagi tanpa sekelumit aba-aba.

Pengaruh gentrifikasi ke dalam ranah psikologis yang melanda Samnang diari oleh sinematik yang benar-benar kuat, kendati alur tak memiliki intensitas yang mumpuni. Diamnya karakter sentral, membentuk bagaimana kausalitas dalam film bekerja dengan baik. Ketepatan menghadirkan tokoh juga menjadi pertimbangan matang dalam White Building. Hasilnya adalah sebuah logika cerita yang nihil interupsi dari pihak luar.

Ayah yang Rapuh

Ah Kha dan keluarganya beranjak pergi. Melalui matanya, Samnang membututi keluarga itu dari atas loteng. Runtuhnya mimpi Samnang juga sekaligus menutup lajur/fokus cerita antara dirinya dan teman-temannya. Di sini, lagi-lagi bahasa gambar bekerja dengan baik. Seolah ingin menarik atmosper masa lalu antara Samnang dan sahabatnya, Kavich Neang menutup itu dengan cerdas menggunakan; suara kicau burung mengendap dalam ruangan yang blur, tak ada lagi tarian dan musik pengiring, hanya smartphone yang terpajang lewat teknik deep focus, tertawan di dalam layar.

Di lain sisi, Gentrifikasi masih berlanjut. Ayah Samnang yang memimpin segala negosiasi tampak loyo akibat adanya diversitas di antara para penghuni rumah petak. Satu kubu setuju atas kesepakatan, kubu satunya berlainan pendapat. Samnang dengan segala pikirannya yang masih mengawang-awang tentang mimpi dan sebuah kepergian, harus mempersiapkan diri pada kejutan masalah yang tengah menunggunya di pertengahan.

White Building perlahan-lahan mendapati dirinya keluar dari teritori klise dengan sendirinya. Disebabkan tak puas bermain-main pada satu titik (mungkin): memutari psikologis seorang remaja. White Building melompat dari klise itu, film ini tak hanya menghadirkan sebuah dampak dari satu perspektif, melainkan dua sudut pandang. Berusaha melahirkan ambivalensi. dari kacamata ayah Samnang, rasa berat hati untuk pindah ke lingkungan baru ditampilkan lewat kalimat, “aku sebenarnya tak bisa meninggalkan rumah ini.” juga penggambaran malam hari yang lengang di mana ia merenung menatap pintu yang tertutup.

Seketika narasi bukan lagi bertumpu pada persoalan mimpi, diamnya Samnang, atau wacana penggusuran yang semakin hari makin mendekat. Narasi mendudukkan Samnang untuk meninggalkan mimpinya jauh-jauh, dan menggantinya dengan berubah sebagai motivator untuk keberlangsungan semangat hidup sang ayah. Kerapuhan diri ternyata tak hanya mengenainya. Samnang, menyadari betapa ayahnya semakin lama semakin rentan, tak punya gairah untuk hidup. Kelemahan itu ditunjukkan tidak hanya lewat penyakit diabetes yang menjangkit si ayah, tetapi lagi-lagi perihal gentrifikasi. Maka Samnang mengalami transfigurasi untuk sekian kalinya. Diamnya berubah jadi sikap yang amat acuh kepada sang ayah. Dan tak lagi melihat-lihat jalur alternatif untuk menggapai mimpinya

Namun di tengah kepedulian Samnang akan keluarga, terkhusus sang ayah, benturan pendapat dalam memandang realitas antara anak dan ayah terjadi secara simultan. Samnang ingin ayahnya berobat ke dokter terbaik, agar sembuh dengan cepat. Sementara ayahnya sendiri tidak menginginkan apapun, selain berleha-leha di rumah yang nantinya menjadi seonggok abu campur debu.

White Building, mungkin secara tersirat merupakan sebuah penampakan juga sindiran. Karena pada akhirnya, selalu ada yang menanggung semuanya di ambang ujung, yang menjawab segala pertanyaan yang bergebalau. Dan di sini, sosok anak sebagai ‘penampakan’ yang menanggung semua itu, yang menjawab beragam pertanyaan, terejawantah dalam diri Samnang. Sementara ayah Samnang, mau tidak mau harus legowo diposisikan sebagai subjek yang disindir, yang tanpa sengaja bersikap serupa dengan alat-alat berat yang meruntuhkan rumahnya. Bukankah gairah hidupnya yang melemah juga berdampak bagi semangat Samnang dalam menjalani kehidupan? Entah kita perlu menjawabnya ataupun tidak. Namun White Building, lewat sajian salindianya jelas melahirkan sebuah jawaban.

Dalam pamungkasnya, White Building benar-benar menyempurnakan sebuah keruntuhan. Mata kamera berlayar sedikit goyah, mengambil tubuh bangunan yang utuh menggunakan teknik low angle yang manis, dengan diiringi suara mesin. Lalu seiring mata kamera berlayar secara horizontal, tampak alat raksasa dengan cakarnya yang panjang, mencabik-cabik bangunan itu, meluluhlantakkannya. Apapun yang di dalamnya pun menghilang, benda-benda, coretan-coretan pada dinding, dan bahkan sejuta kenangan. Bangunan itu, keruntuhan itu, terekam dengan puitis dan melankolis.

Artikel SebelumnyaQodrat
Artikel BerikutnyaThe Good Nurse
Azman H. Bahbereh, lahir dan besar di Singaraja, Bali. Saat ini menempuh pendidikan di Kota Malang. Kegemarannya menonton film telah tumbuh semenjak kecil ketika melihat tarian dengan iringan musik dari jagat sinema Bollywood, terkhusus Soni Soni Akhiyon Wali di film Mohabbatein. Selain menulis film-film yang ditontonnya, ia juga aktif menulis puisi dan bergiat di komunitas sastra yang ada di Kota Malang.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.