Starvision seakan sedang giat-giatnya memproduksi film-film drama komedi keluarga semenjak bertemu Ernest Prakasa. Kali ini, ia memproduseri film Gara-Gara Warisan, debut Muhadkly Acho sebagai sutradara sekaligus penulis. Film ini dirilis khusus untuk momen lebaran ini dibintangi oleh Oka Antara, Indah Permatasari, Ge Pamungkas, Yayu A.W. Unru, Lydia Kandou, Ira Wibowo, dan Ernest Prakasa. Ada pula para stand up comedian sebagai tokoh sampingan yang meramaikan segmen-segmen komedi film ini. Lewat standarisasi Ernest sebagai produser, sejauh mana kepadatan elemen drama, komedi, dan keluarga Gara-Gara Warisan?

Dahlan (Yayu Unru) mengelola sebuah guest house sejak ketiga putra dan putrinya, Adam (Oka), Laras (Indah), dan Dicky (Ge) masih kecil. Saat mereka telah dewasa dan hidup dengan rutinitas masing-masing, sang ayah jatuh sakit. Ketiga anaknya lantas diharuskan pulang untuk membantunya mengurus guest house. Mereka berlomba untuk menjadi yang terbaik dalam mengelola guest house, agar dapat terpilih menggantikan sang ayah mewarisinya. Nahasnya, satu di antara mereka bertiga terlibat dengan jebakan dari seorang pengusaha. Bersama masalah dari masing-masing yang sejak awal sudah pelik, hanya ada sedikit pilihan terhadap keberlangsungan guest house.

Gara-Gara Warisan menyentuh dan menghibur dengan caranya. Cukup bagus untuk ukuran sebuah debut dari Muhadkly Acho sebagai sutradara sekaligus penulis. Terlebih film ini pun diproduseri oleh Ernest Prakasa, dengan skenario yang disupervisi pula olehnya. Besar kemungkinan Ernest dapat menjaga parameter dan standar film-film komedi yang cukup bagus untuk diproduksi Starvision ke depannya, semenjak kerja sama mereka dimulai beberapa tahun lalu. Melihat bagaimana karya-karya drama komedi keluarganya selama ini yang meski terdapat kekurangan, masih lebih baik ketimbang film-film sejenis.

Lepas dari konten ihwal masalah “perhatian orang tua” yang tampaknya kerap ada dalam film-film drama keluarga, Gara-Gara Warisan setidaknya memiliki aspek-aspek penguatnya. Kuatnya olah peran para pemain penting terutama. Yayu Unru dengan perannya sebagai seorang ayah yang kurang mampu bersikap adil; Oka membawakan sosok anak pertama yang “dipaksa” mengalah; Indah dengan rasa sosial yang tinggi; serta Ge, sang bungsu dengan arogansinya karena selalu diprioritaskan. Dan di atas semua itu, Acho tahu betul cara-cara memainkan dramatisasi dalam menggarap skenario. Lagipula ia mendapat konsultan naskah yang baik.

Baca Juga  Indonesian "New Wave"?

Memang bagaimanapun, pertengkaran di internal keluarga berupa masalah komunikasi tak ayal selalu kita jumpai. Bahkan Teka-Teki Tika, film terbaru arahan Ernest pun disisipi oleh pertengkaran saudara yang terlihat hampir seperti perebutan warisan. Tidak akan asing dengan konfliknya. Cek Toko Sebelah pun punya perkara serupa, ayah sakit, warisan bisnis dari orang tua, dan pertengkaran saudara. Bahkan keduanya lebih banyak memiliki kemiripan. Hanya bedanya, tidak ada elemen Chinese dalam Gara-Gara Warisan.

Gara-Gara Warisan pun diarahkan dengan baik untuk semua elemen lain di luar naskahnya. Kendati tak terlalu menonjol, namun masing-masing melakukan bagian tanpa sia-sia. Peran editing dan musik misalnya. Paling kental di atas keduanya ada pada bagian pengambilan gambar, yang dengan hati-hati berjalan mengikuti alur skenario sebagai pendukung yang baik. Terutama Acho yang betul-betul memperhatikan masalah penerimaan Laras terhadap kehadiran sang ibu tiri, hanya dari satu adegan kecil di meja makan. Walau artistik Gara-Gara Warisan akhirnya tidak terlalu mendapat bagian. Hanya keberadaan satu properti kunci yang sejak awal muncul, dan berujung menjadi solusi bagi masalah Keluarga Dahlan.

Genre komedi beberapa tahun belakangan tampaknya lebih sering memasuki titik-titik cerahnya, semenjak para stand up comedian mulai berperan dalam proses kreatifnya. Ruang eksplorasi komedi jadi berkesempatan dibuka lebar, karena karakteristik para komediannya sendiri sudah beraneka ragam. Walhasil, peran-peran yang perlu mereka mainkan terkesan lebih hidup. Kendati tidak akan menutup kemungkinan bagi aktor-aktris nonkomedian untuk melakukannya juga. Terlebih semenjak munculnya istilah comedy consultant.

Kendati berangkat dari persoalan biasa, tidak lantas membuat Gara-Gara Warisan kehilangan nilainya lewat pertolongan kualitas akting dan olah dramatik. Sang sutradara sadar betul untuk menjaga ambisinya sebagai pendatang baru agar dapat diterima dengan baik oleh khalayak. Minimal ia berangkat dengan lingkungan kreatif yang mapan. Sayang memang, film ini berangkat dari ide dan konflik yang masih berkutat dalam problematika drama keluarga serupa. Meski objek yang diperebutkan berbeda.

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaOma The Demonic
Artikel BerikutnyaKKN di Desa Penari
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.