Jarang sekali ada film dalam negeri yang menggunakan gabungan genre horor, thriller, dan misteri. Namun kali ini, seorang sineas yang lebih sering dijumpai mengerjakan visual effect (Benyamin Biang Kerok 2 dan Habibie & Ainun 3), X. Jo, mencoba peruntungannya untuk menulis sekaligus menyutradarai film berjudul Jangan Sendirian. Film produksi Adglow Pictures dan Lensadewa Cinema –yang tampaknya baru dibuat untuk film ini, diperankan oleh David John Schaap, Robby Sugara, Agatha Valerie, Jasi Michelle Tumbel, dan Henry Boboy. Hanya dua nama terakhir yang belum pernah terdengar bermain di film layar lebar. Henry Boboy sendiri merupakan salah seorang executive producer di film ini. Jadi dengan nama-nama baru tersebut, dua bagian penting yang dikerjakan sendiri, serta campur tangan yang jelas dari siapa, sudah bisa menebak hasil akhir filmnya?
Kisahnya sendiri berupa serangkaian aksi teror dan pembunuhan oleh sosok-sosok misterius kepada Anna (Jasi Michelle Tumbel), Boy (Henry Boboy), dan Ruby (Agatha Valerie). Kengerian ini terus berlanjut hingga menyerang orang keempat, Sam (David John Schaap). Bersama ketakutannya, Sam pun begitu putus asa menghadapi semua itu sampai akhirnya memanggil Tuan Broto (Robby Sugara), seseorang yang terkenal dekat dengan hal-hal supranatural. Namun, seluruh serangan itu sebenarnya bukanlah tak beralasan.
Bagi penikmat ketegangan yang berbalut serangkaian peristiwa misterius, Jangan Sendirian barangkali menarik minat. Namun, bagi penonton yang tak terlalu menyukai segmen misteri dengan durasi yang sangat panjang, sudah jelas film ini membosankan minat tonton. Dengan sangat sedikitnya petunjuk untuk menyambungkan satu peristiwa ke peristiwa lainnya, satu-satunya yang bisa diperoleh selama hampir 75% durasi film ini sejak menit-menit pertama hanyalah aksi-aksi teror, jumpscare, dan ketegangan belaka. Tiga perempat bagian memperlihatkan pengalaman mengerikan untuk keempat tokoh pentingnya, dengan keberadaan sosok Pemberi Pesan dan Pembawa Kematian yang sangat mencolok dalam durasi tersebut. Sedangkan sisa 25%-nya barulah merupakan penjelasan lengkap yang dibeberkan secara verbal dari semua kejadian sejak film bermula.
Bentuk-bentuk sinematografinya memang sudah baik, dengan pengambilan gambar yang mendukung aspek ketegangan dan elemen misteri dalam struktur cerita. Namun, ada sejumlah penerapan editing yang malah mengganggu. Tensi ketegangan dari kecepatan tempo adegan jadi terganggu, karena pemotongan yang kurang tepat. Akibatnya, perpindahan dari satu gambar ke gambar sesudahnya malah jadi terkesan lambat dan berulang. Kendati perihal “tempo” ini sebenarnya sudah memberikan masalah tersendiri karena nyaris tak menyediakan jeda sama sekali dari menit pertama filmnya.
Jangan Sendirian sebenarnya cukup menarik, dengan alur dan sisi misterinya. Hanya saja, unsur dialognya kerap kali mengusik kenyamanan menonton. Sekali waktu, muncul beberapa monolog penjelasan dari tokoh yang terlibat dalam suatu peristiwa, yang semestinya tak perlu “diverbalkan” karena kejadiannya memang sudah sangat jelas terlihat di visual. Pada kesempatan yang lain ada pula inkonsistensi dialog, baik dari diksi maupun cara dan gaya bicara. Padahal masih dalam satu kesatuan adegan. Sikap dari keempat tokoh sentralnya pun konyol. Tindakan mereka yang selalu berubah-ubah saat berada dalam situasi terdesak malah tampak ‘menggelikan’. Apa yang sebenarnya ingin mereka lakukan?
Ketidakkonsistenan dari dialog, sikap konyol para tokoh, dan permasalahan editing lalu mengacaukan sisi horor, thriller, dan unsur misteri film ini. Menunjukkan jurang pemisah yang besar dengan aspek sinematografi dan alur ceritanya. Beginilah akibatnya, kalau seorang yang notabene sutradara pendatang baru berlatar belakang visual effect, merangkap sebagai penulis skenario juga. Kasus semacam ini sebetulnya bukanlah hal yang baru, ketika sebuah film ‘ditangani’ sendirian oleh satu orang untuk lebih dari satu bagian. Ditambah lagi, perusahaan produksinya baru muncul debutnya untuk film ini. Apakah mereka sedemikian percaya dirinya?
Jangan Sendirian, seolah ingin menghadirkan sisi lain film horor thriller misteri dengan cara bertutur yang menunjukkan perbedaan format, tetapi mengabaikan detail-detail kecil. Eksekusi keseluruhan filmnya jadi sulit untuk dinikmati dengan tenang karena sesekali mesti terusik oleh hal itu. Padahal elemen-elemen yang diperlukan dalam sebuah film horor thriller misteri telah cukup dimiliki oleh film ini. Sayang sekali harus dirusak oleh ketelitian yang kurang dari sineasnya yang masih minim pengalaman. Sangat masuk akal bila film ini kemudian dianggap sebagai proyek pribadi.
Wah sepertinya bapak telat review, mgkn baru nonton nih. Sedikit info kalau g salah film ini da diambil distributor Asia, bbrpa da tayang dan belum lama produsernya ngaku lagi nunggu juga final kontrak pinangan distributor Eropa dan USA yg minat tayangin disana (g tau bioskop apa ott). Kayaknya film ini lbh diminati di pasar luar ketimbang di negeri sendiri.
Wah, selamat. Semoga prosesnya berjalan lancar.
Nah lho? Bukanya kmaren yg nulis review film ini namanya Himawan siapa gt? CV nya
kalau gak salah senior montase film, dosen akademi film Jogja dan penulis buku film, kok skrg ganti Miftaful Arifin, penulis puisi???
Kami mohon maaf atas kesalahan sebelumnya, admin kami, kemarin salah menuliskan penulisnya. Editor (Himawan) kami, sejak awal lebih fokus menulis ulasan film asing. Bagi pembaca yang sudah sering membaca ulasan-ulasan kami pasti sudah memahami betul ini. Semoga kesalahan yang sama tidak terulang lagi di masa datang. Terima kasih atas responnya.