Kita sudah kerap kali menyaksikan kisah-kisah film bertokoh penting seekor hewan sebagai sahabat manusia. Begitu pula Jo ‘Sahabat Sejati’ arahan Alex Latief dengan tokoh kudanya. Meski telah ada film dengan tokoh serupa (kuda) di luaran sana, tetapi “mungkin” film ini punya cara sendiri dalam menghadirkan kisahnya. Para pemain film drama anak-anak produksi Alamanda Production ini antara lain, Ismu Tanjung, Amanda Latief, Adry Wicaksono, Novika Siregar, Cornel Nadeak, serta Nena Rosier. Meski film bertokoh kuda baru kali pertama ini ada di Indonesia, tetapi format semacam ini telah bertebaran di mana-mana. Lantas, apa tawaran dari film ini?

Jo merupakan seekor kuda yang entah bagaimana dicintai oleh seluruh warga sebuah desa. Ia kerap terlihat menempel dan bermain dengan Arif (Tanjung), adik perempuannya, Lisa (Amanda), serta ketiga muridnya, Danar (Adry), Genta (Nadeak), dan Cinta (Novika). Bahkan meski keluarga Aminah (Rosier) sedang terlilit hutang, mereka tak menyerahkan Jo sebagai penggantinya. Lagipula ia pernah menyelamatkan nyawa Genda dan Cinta. Namun kecintaan terhadap Jo suatu ketika luntur karena sebuah tragedi, dan warga desa yang memercayai mitos seketika memburunya.

Hampir tidak ada yang bagus dari film ini. Baik dari segi naskah maupun olah sinematiknya yang biasa. Olah peran para pemainnya pun tak menggugah minat menonton. Adegan yang semestinya lucu terasa hambar, yang semestinya tegang justru membosankan, pun yang semestinya sedih atau mengharukan tak memicu air mata. Cara akting para pemain dan bagaimana sutradara mengarahkan mereka, seakan membuat Jo ‘Sahabat Sejati’ sekadar film indie dari sekelompok pemuda dari suatu daerah. Paling tidak ada satu sosok senior, Nena Rosier. Permainannya membuat film ini minimal jadi tampak lebih berbobot. Meski sedikit, yakni hanya pada bagian-bagian penampilannya di layar. Bukanlah alasan bila film ini mau memakai pernyataan “pemain masih baru” sebagai pembelanya. Nyatanya ada banyak pemain debutan dengan akting yang sudah berkelas.

Pantas bila kemudian setelah selesai menonton pun masih ada yang bertanya, “Apa cerita film ini?” Jo ‘Sahabat Sejati’ bisa dikatakan tak memiliki tendensi kuat, mengapa harus ada dan diceritakan. Pengangkatan ihwal mitos-mitos pun tak benar-benar punya korelasi yang jelas dengan penggunaan kuda sebagai tokoh penting. Film ini sebatas memvisualkan rangkaian kejadian secara kronologis, dari keberadaan seekor kuda dalam sebuah desa. Namun kesempatan untuk menunjukkan sudut pandang dari mata kuda tersebut nyaris tak ada.

Baca Juga  Habibie & Ainun 3

Naskah juga kerap kali menjadi salah satu aspek yang kurang mapan dalam perfilman Indonesia. Ini terjadi pula dalam film ini. Struktur bertutur dari dan untuk setiap peristiwanya saling patah-patah antarsatu sama lain. Hampir keseluruhan dialognya juga terdengar kasar. Nyaris tak dapat dinikmati. Pemilihan kata yang kaku, hingga sebagian besar hal dalam cerita “diberitahukan” ke penonton lewat dialog. Cara bagian editing dan musik dalam mengemas masing-masing adegan serta perpindahan atau transisinya juga masih kasar. Sempat ada bagian-bagian yang dihadirkan secara editing saling silang (cross cutting), tetapi itu pun tidak diisi dengan elemen yang pas. Minimal ada kecocokan satu sama lain. Bukan sekadar dua peristiwa acak yang “kebetulan” terjadi berbarengan, maka kemudian dihadirkan dengan cross cutting tanpa ada motivasi yang jelas. Ini belum soal penggarapan musiknya.

Beruntungnya, Jo ‘Sahabat Sejati’ setidaknya masih punya dua hal untuk dibanggakan, yakni eksplorasi pemandangan desa yang masih alami dan pengarahan hewannya. Namun, hanya sebatas itu. Jo ‘Sahabat Sejati’ terlalu larut dalam euforia penggunaan kuda sebagai salah satu tokoh penting sampai melupakan aspek filmis lainnya. Film bertokoh hewan lain (anjing) seperti June & Kopi atau bahkan Marley yang diolah biasa-biasa saja pun, masih lebih baik. Terlebih, dengan adanya fakta bahwa sutradara dan kedua penulisnya masih bersaudara. Fakta kedua adalah produser, penulis, salah seorang aktris, dan orang yang bertanggung jawab memilih para pemain film ini merupakan satu orang yang sama.

Jo ‘Sahabat Sejati’ hanyalah sebentuk ambisi dari para pembuatnya untuk menghadirkan kuda sebagai tokoh penting, tetapi mengabaikan film secara keseluruhan. Setidaknya film ini punya animal directing, visual pemandangan alam di desa, dan sosok Rosier sebagai daya tariknya. Selain itu? Rasanya tak perlu kita banyak berharap lebih. Posisi Jo ‘Sahabat Sejati’ sebagai film yang ditujukan untuk segmentasi usia anak-anak tak perlu kita bicarakan pula. Sebab untuk bisa hadir sebagai film yang bagus pun, masih belum. Bahkan hasil arahan dari sutradaranya juga masih kasar dan banyak mengandung patahan dalam film ini. Kita tentu sama-sama tahu, bahwa di Indonesia, bila ada satu orang yang sama menggawangi banyak peran dalam satu film, maka hasil akhirnya akan jadi seperti apa.

PENILAIAN KAMI
Overall
30 %
Artikel SebelumnyaBullet Train
Artikel BerikutnyaWedding Season
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.