Bila Eropa punya Romeo dan Juliet, maka Azerbaijan memiliki Layla dan Qais yang Majnun (gila). Kisah romansa dua insan yang berakhir tragis ini diarahkan oleh Monty Tiwa dalam film Layla Majnun, dengan skenario yang ditulis olehnya bersama Alim Sudio. Melalui produksi StarVision Plus dan distribusi Netflix, drama roman dari sastra masa lampau ini diperankan oleh wajah-wajah lama yang memang telah teruji kemapanannya selama ini, seperti Acha Septriasa, Reza Rahadian, Dian Nitami, Landung Simatupang, Baim Wong, Beby Tsabina, dan Uli Herdinansyah. Bagaimana mereka –terkhusus pemeran utamanya—membawakan karakteristik dari era lama para penyair tersebut?

Layla (Acha Septriasa), merupakan seorang perempuan dengan pendirian yang prinsipil mengenai pilihan dalam hidupnya, baik soal karir maupun pasangan hidup. Usai sepeninggal sang ayah, hidupnya bersama sang ibu, Fatmi (Dian Nitami), boleh dibilang mengalir tanpa banyak melewati terjalnya bebatuan. Namun, prinsipnya mulai goyah kala bertemu Ibnu (Baim Wong) dalam sebuah perjodohan. Meski seolah dapat melewatinya dengan “agak” pasrah, tetapi keyakinannya dihantam sekali lagi saat bertemu Samir (Reza Rahadian). Layla ialah sosok yang dikenal oleh sahabatnya, Ilham (Uli Herdinansyah), dan orang-orang terdekatnya sebagai perempuan yang kerap menggaungkan hak-hak perempuan melalui bukunya. Tetapi ironisnya, sang penulis buku tersebut malah terkekang oleh keadaan dari keluarganya sendiri. Layla terus dihadapkan pada situasi yang dilematis, antara dirinya, Samir, ibunya, Iilham, dan Ibnu. Tak ayal, ia pun acapkali mempertanyakan keputusannya sendiri dan selalu berdiri di atas kebimbangan.

Boleh dibilang film ini memang ingin mendekati suasana dalam karya sastra Layla Majnun, namun dengan sejumlah penyesuaian termasuk di bagian ending. Alih-alih mengakhiri kisah romansa dengan tragis selayaknya yang tertuang dalam karya tersebut, Layla Majnun melakukan improvisasi yang dibutuhkan. Sedikit-banyak, film ini mempermainkan emosi penontonnya juga. Entah memang dari sumbernya sendiri mengisahkan beragam peristiwa yang mengaduk emosi, atau sebenarnya ini merupakan hasil dari improvisasi juga.

Selain itu, dialog yang sebagiannya menggunakan gaya bahasa baku, hingga khas sastra lama pun cocok dengan romansa yang diangkat. Dialog dengan gaya serupa takkan cocok bila diletakkan dalam film roman remaja masa kini. Lagipula, kisahnya sendiri berasal dari masa lampau yang tata bahasa dan cara bertuturnya masih akrab digaungkan oleh para penyair pada waktu itu. Kalau cara bertutur yang sama diterapkan dalam cerita roman masa kini, jelas malah akan terdengar aneh.

Dari segi akting, dapat dilihat bahwa para pemainnya membawakan karakteristik masing-masing dengan baik. Mulai dari Reza dan Acha yang menjadi sorotan utama; Beby Tsabina dengan masalahnya sendiri; Dian Nitami dengan karakteristik dan ciri khas cara bicara ibu-ibu sepuh, yang telah banyak makan asam-garam kehidupan sebagai single parent; lalu Baim Wong sebagai sosok penghalangnya. Lagipula, Layla Majnun memang kisah romansa orang dewasa. Jadi mengisinya dengan wajah-wajah kawakan adalah tindakan yang tepat.

Baca Juga  Surga yang Tak Dirindukan 3

Namun, kendati “seolah” punya segudang pesona, film ini tak bisa begitu saja memperoleh nilai sempurna. Opening-nya sendiri terasa seperti gaya film-film pendek. Lalu ada dialog yang sedikit keliru dalam menginformasikan fakta sejarah. Memang hanya beberapa kata, namun tetap saja krusial. Dengan alasan dan tujuan apapun, seharusnya ini bisa dihindari.

Walau beberapa bagian adegan juga rasanya aneh dan nyaris terkesan memaksa, namun poin besar film ini masih mampu mendominasi. Konflik batin dan dilema besar yang dialami para tokoh pentingnya tetap mencuri perhatian dan mengaduk emosi. Penonton dibuat penasaran dan menunggu-nunggu keputusan final dari para tokoh tersebut. Sebab serangkaian keputusan lain yang mereka ambil sejak awal masih kerap goyah dan lagi-lagi memosisikan mereka dalam kebimbangan.

Aspek visual lanskap dari setting luar negeri Layla Majnun sendiri biasa saja. Hanya hal-hal yang berkaitan erat dengan tema romansa ala Layla Majnun-lah yang kerap ditampilkan. Seperti budaya di daerah tertentu, mitos salah satu kulinernya, hingga latar belakang cerita di balik bangunan-bangunan tertentu. Barangkali, kalau director-nya adalah Anggi Frisca, akan ada lebih banyak shot lanskap pemandangan alam dan bangunan bersejarah di Azerbaijan atau footage kota-kotanya yang mendominasi film.

Tak hanya itu, ending Layla Majnun juga tidak menunjukkan nasib dari para tokoh lain, beberapa tahun usai tragedi yang mengakhiri klimaks ceritanya. Hanya ada Layla, Samir, dan Ibu Layla. Padahal, akan lebih bagus bila sekilas saja memperlihatkan kabar terbaru dari mereka. Meski fokus ceritanya memang antara ketiga tokoh tersebut, namun tak ada salahnya memunculkan keberadaan terkini dari para tokoh yang berkaitan erat dengan mereka. Misalnya Ilham dan keluarga barunya, Ibnu dengan kampanye politiknya, dan Narmina dengan pendidikannya di Indonesia.

Layla Majnun memang sudah cukup bagus dengan improvisasinya sendiri, namun tetap mempertahankan poin-poin yang menjadi poros bagi kisah ‘Sang Layla dan Qais yang Majnun’. Sayang sekali harus ada celah di dalamnya. Terutama kekeliruan saat menyampaikan informasi yang berkaitan dengan fakta sejarah. Kisahnya sendiri takkan semenye-menye roman remaja populer masa kini. Jadi akan cukup bisa diterima dengan baik, oleh penyuka kisah roman yang tragis dari era para penyair masa lampau.

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaThe Violent Heart
Artikel BerikutnyaGeez & Ann
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.