Salah satu film yang fenomenal pada tahun lalu telah rilis di Netflix. Fenomenal karena sutradaranya masihlah pendatang baru dalam kancah film panjang, namun film ini sudah memborong 12 piala FFI 2021 termasuk sutradara dan film terbaik. Itulah Penyalin Cahaya, sebuah debut film panjang Wregas Bhanuteja. Film drama kriminal misteri produksi Kaninga Pictures dan Rekata Studio ini diperankan oleh Shenina Cinnamon, Dea Panendra, Giulio Parengkuan, Jerome Kurnia, Lukman Sardi, Chicco Kurniawan, dan Lutesha. Melihat fakta betapa diagung-agungkannya film ini lewat ajang tertinggi perfilman tanah air tersebut, benarkah Penyalin Cahaya sedemikian powerful? Atau sekadar isu kuat dengan sinematik yang menonjol?

Kisahnya bermula dengan aktivitas normal anak-anak kuliahan yang aktif berkegiatan di luar kelas. Melalui Sur, sapaan akrab untuk Suryani (Shenina), cerita bergulir dari mulai rutinitas biasa bagi seorang penerima beasiswa yang harus sibuk menunjukkan kegiatan positif hingga prestasi. Diwarnai pandangan-pandangan “kaku” dari ayahnya (Lukman Sardi), peran sang teman SD, Amin (Chicco Kurniawan), dan keberadaan para seniornya yaitu Anggun (Dea Panendra), Rama (Giulio Parengkuan), Tariq (Jerome Kurnia), dan Farah (Lutesha). Sur lantas menemui beragam-macam masalah, usai kehadirannya dalam sebuah pesta perayaan kemenangan.

Sinematik yang kebablasan, akhirnya malah membuat penontonnya tak nyaman sepanjang menonton visual Penyalin Cahaya ini. Terutama untuk warna, tone, gelap-terang, dan tata kameranya. Ini sangat mengingatkan pada Abacadabra dengan warna-warni mencoloknya. Dijual hanya untuk dipandangi mata oleh sang pengarah, tetapi membuat penonton mendecakkan lidah, saking berlebihan visualnya. Penyalin Cahaya terlalu lembut dan seperti berkabut, sehingga kurang nyaman untuk bisa dinikmati (terlepas dari konten atau isu ceritanya). Ditambah lagi dengan kondisi pewarnaan, tone, dan gelap-terangnya.

Menonton Penyalin Cahaya jadi lebih baik berfokus pada naratifnya saja, agar tak segera beranjak dari kursi karena ulah visual yang tak nyaman. Film-film horor kelas biasa yang khas dengan gelap-terangnya saja masih lebih nyaman daripada Penyalin Cahaya ini. Begitu pula film-film dengan isu kuat lain juga hadir dengan visual yang lebih baik. Misalnya yang terbaru ada Yuni, atau Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, hingga Aum!. Memang ketidaknyamanan visual Penyalin Cahaya boleh jadi adalah konsep yang dirancang oleh sang sineas. Namun tidak lantas menjadikannya sebagai satu alasan agar penonton mau memaklumi keseluruhan visual film ini.

Penyalin Cahaya sendiri mengangkat isu seputar kekerasan dan pelecehan seksual, ditambah problematika ihwal perpeloncoan di kampus, kerumitan birokrasi fakultas yang tidak ingin namanya tercoreng-moreng, serta relasi kuasa antara yang kaya dan para pemangku jabatan (abuse of power). Jika standar penilaiannya adalah kesesuaian dengan kondisi terkini dalam kasus-kasus serupa di tanah air, sangat jelas bahwa Penyalin Cahaya hampir sepenuhnya benar. Dan ya, Penyalin Cahaya terang-terangan “menyindir” banyak pihak, terutama para pejabat birokrasi di sebuah institusi perguruan tinggi. Tidak terkecuali mahasiswa-mahasiswi senior berlatar belakang seni dengan budaya perpeloncoannya. Meski tentu tidak bisa menggeneralisir pihak-pihak dengan identitas yang sama, sebagaimana ditampilkan dalam cerita di film ini. Setidaknya selama ini memang santer terdengar problematika seperti apa yang selalu melingkupi kasus-kasus kekerasan dan pelecehan.

Baca Juga  Promise

Penyalin Cahaya pun jadi salah satu di antara trio film dengan isu kuat yang rilis hampir berbarengan akhir tahun lalu. Dua lainnya adalah Yuni dan Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Namun ketiganya tidaklah memiliki cara pengemasan yang sama. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas terbilang masih lebih baik ketimbang Yuni dan film ini, meski naratifnya ‘menggelitik’. Penyalin Cahaya pun bukanlah sedemikian buruknya hingga tak direkomendasikan untuk ditonton. Karena toh film ini tidak meleset untuk membuat jengah penonton dalam mengikuti sang tokoh utama, bersama rekan-rekan yang ternyata satu nasib dengannya. Meski memang, cara sang sineas dalam menetapkan standar visual Penyalin Cahaya tidak diragukan lagi mengusik perhatian.

Pada pertengahan durasi, barulah gangguan dari cara visual disajikan mulai terabaikan dan lebih banyak mengikuti perkembangan problematika dalam ceritanya. Penonton terus digiring untuk terombang-ambing bersama misterinya. Siapa yang benar dan siapa yang salah, kita berpihak kepada siapa, siapakah pelaku yang sesungguhnya, hingga pada titik bagaimana nasib para korban akhirnya.

Aspek lain dalam Penyalin Cahaya yang patut menjadi sorotan adalah pemakaian properti-properti kunci. Salah satunya adalah mesin fotokopi. Film ini, sejak permulaan cerita menghadirkan mesin fotokopi selalu muncul di hampir setiap momen tokoh-tokoh sentralnya memiliki masalah. Adapula trik-trik pemecahan masalah yang dilakukan oleh Sur berdasarkan latar belakang pendidikannya. Juga olah peran dari para pemain Penyalin Cahaya yang mengalir lancar dengan konfrontasi di antara mereka. Lalu sajian terakhir yang menutup film ini dapat digolongkan bagus, dengan adegan “pergerakan dalam diam”-nya.

Penyalin Cahaya adalah contoh olahan sinematik (visual) yang berlebihan dari seorang sineas, sehingga berujung pada hasil akhir yang kebablasan. Benar bahwa memang film ini menghadirkan isu yang krusial untuk dibicarakan bersama ke layar lebar/digital. Tetapi sulit untuk duduk tenang menikmati sajian film ini dan “membaca” isu tersebut diceritakan. Bukan lantas jengah dengan problematika yang disampaikan melalui olahan naratif, namun justru tidak tahan dengan olahan visualnya. Padahal fokus utama film ini tentu untuk menyadarkan khalayak awam terhadap isu yang diangkat bukan? Paling tidak usai setengah durasi berlalu, penonton mulai bisa memerhatikan sajian cerita dengan porsi yang lebih banyak. Di atas segala olahan visual yang berlebihan, bagaimanapun Penyalin Cahaya tetap penting untuk ditonton berdasarkan level krusial dari isunya.

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaMunich: The Edge of War
Artikel BerikutnyaThe Fallout
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.