Film bertema Perang Dunia Kedua (PD II) boleh jadi sudah ratusan banyaknya dengan segala variasi genrenya. Munich: The Edge of War mencoba menawarkan perspektif cerita yang segar, yakni momen sebelum PD II terjadi. Film rilisan Netflix yang merupakan produksi patungan Inggris dan Jerman ini diarahkan oleh sineas Jerman, Christian Schwochow. Kisah filmnya diadaptasi dari novel berjudul Munich (2017) karya Robert Harris. Film ini dibintangi oleh aktor kawakan Jeremy Irons, aktor Inggris George MacKay, serta aktor Jerman Jannis Niewohner. Apakah film ini mampu memberi sumbangan berarti untuk subgenrenya?
Hugh (MacKay) asal Inggris dan Paul (Niewohner) asal Jerman adalah sahabat dekat ketika mereka sama-sama kuliah di Oxford, Inggris pada tahun 1932. Namun, pandangan politik mereka saling bertolak belakang. Enam tahun kemudian, mereka sama-sama bekerja untuk pemerintah masing-masing, yang kini tengah dalam situasi politik yang memanas. Hugh bekerja untuk PM Inggris, Naville Chamberlain (Irons), sementara Paul bekerja sebagai penerjemah kantor biro luar negeri Jerman. Suatu ketika, Paul mendapatkan sebuah dokumen rahasia maha penting yang berisi bukti bahwa Hitler berniat untuk menguasai Eropa. Di tengah situasi genting, Hugh dan Paul harus bekerja sama agar dokumen ini bisa sampai ke tangan sang perdana menteri.
Harus diakui, kisahnya memang memiliki perspektif yang segar untuk subgenre PD II. Kita sudah tahu persis, apa yang bakal terjadi bahwa Hitler bakal menginvasi Eropa dengan pasukan militernya. Puluhan film tanpa harus kita sebutkan telah menyajikan bagaimana panasnya situasi medan perang hingga kekejaman Nazi di kamp konsentrasi. Namun, belum ada yang mengambil sudut pandang, momen-momen genting dari sisi politik sebelum PD II terjadi. The Edge of War mampu menyajikannya melalui sisi drama dengan baik, dengan selipan sisi politik dan sedikit unsur thriller.
Poin kisah bukan pada hasil negosiasi politik tapi pada nasib dua protagonis kita. Apakah mereka bisa selamat ke luar dari situasi lubang jarum? Banyak pertanyaan yang mengganjal sepanjang film, apa ini semua benar-benar terjadi? Beberapa aksinya terasa terlalu didramatisir. Satu contoh saja, apa Paul benar-benar dalam situasi man- to-man dengan Hitler, begitu mudahnya membawa senjata ke ruang sang diktator seperti itu? Faktanya, film ini bukan biografi yang didasarkan kisah nyata. Ini jelas yang menjadi titik lemah kisah filmnya. Segenting apapun situasinya, ini semata hanya rekaan.
Munich: The Edge of War, memberi perspektif cerita segar bagi genrenya (PD II), namun dengan segala usaha kerasnya, plotnya tidak mampu menyajikan sebuah thriller yang menggigit karena nature kisahnya yang fiksi. Jika memang dimaksudkan untuk sebuah sajian thriller kuat, film ini tidak memiliki materi kisah yang kuat. Setidaknya, The Edge of War memiliki sisi artistik yang sangat baik serta performa dua kasting utama yang menawan, plus akting karismatik dari Jeremy Irons sebagai sang PM. Di lini masa yang berlawanan, menjelang akhir PD II, film ini entah kenapa mengingatkan saya pada film Jerman, Downfall. Sebuah karya masterpiece tanpa cacat yang menyajikan jam-jam terakhir masa hidup Hitler. Dari sisi kualitas, Downfall berada di kutub yang bertolak belakang dengan The Edge of War.