Kita tahu beberapa sineas tengah merancang dua dunia cerita yang mengangkat sosok-sosok pahlawan lokal untuk meramaikan perfilman dalam negeri. Salah satunya telah kita saksikan bersama beberapa tahun lalu, yakni Gundala. Kini, dunia cerita yang kedua datang melalui arahan Hanung Bramantyo dengan judul Satria Dewa: Gatotkaca. Ia pula yang menulis film ini bersama Rahabi Mandra. Lewat produksi Satria Dewa Studio yang (barangkali) secara khusus mempersiapkan judul-judul lain setelahnya dan Temata, film ini hadir sebagai tayangan drama fantasi dan aksi kriminal untuk segmentasi “Semua Umur”. Sudah bisa membayangkan ketidakcocokannya? Para pemain yang mengisi peran tokoh-tokohnya antara lain Rizky Nazar, Sigi Wimala, Yasmin Napper, Omar Daniel, Ali Fikry, Yatie Surachman, dan Jerome Kurnia. Gundala yang kelewat ambisius telah berlalu, bagaimana dengan yang satu ini? Kita lihat saja.
Keluarga kecil Arimbi (Wimala) dan putra tunggalnya, Yuda (Nazar) bertahun-tahun hidup dalam pelarian dan persembunyian. Nyawa mereka kerap diincar, hingga mengorbankan siapapun yang mencoba melindungi keduanya. Masalah yang selalu muncul karena keberadaan orang-orang misterius lantas mempertemukan Yuda dengan Agni (Yasmin). Pertemuan yang membawanya pula kepada Dananjaya (Daniel), Gege (Fikry), dan Bu Mripat (Yatie). Orang-orang yang ternyata tahu mengenai masalah besar yang terus membayangi Yuda dan ibunya. Mereka berada dalam posisi yang sama sekali tidak aman. Jadi mereka harus mencari cara dan menemukan celah untuk mengamankan nyawa mereka, dan jawabannya ada pada sosok Yuda. Namun, Yuda sendiri bahkan masih meraba-raba tentang dirinya.
Satria Dewa: Gatotkaca ditulis dengan penceritaan yang rumit. Bahkan terlalu rumit bila kemudian hendak dipertontonkan ke Semua Umur, yang mana artinya anak-anak usia di bawah 13 tahun (termasuk balita) juga bisa menyaksikannya. Bahkan bagi penonton usia dewasa pun detail-detail dalam cerita film ini masih banyak yang abu-abu. Misalnya saja, bagaimana mungkin kita bisa tahu cerita besar dalam film ini, bila tidak ada gambaran latar belakang yang menerangkan posisi cerita tersebut dalam dunia fiksi yang penulis buat? Untuk sebuah proyek perdana dari judul besar “Satria Dewa”, film ini terlalu ambisius. Durasi memang panjang agar dapat menjelaskan banyak hal. Namun itu pun mengabaikan banyak aspek penting.
Satria Dewa: Gatotkaca lantas hadir dengan latar-latar musik dan scoring yang membahana, menggelegar, keras, dan mendebarkan. “Namun”, tidak demikian rasanya dalam hal dialog. Seringkali beberapa tokoh tak jelas sedang bicara apa. Dialog-dialog dari momen lainnya bahkan “berhasil” tertutup oleh suara musik. Pun demikian dengan pengubahan suara dari tokoh-tokoh jahat agar terdengar lebih menyeramkan. Tanpa takarir (subtitle), takkan jelas apapun yang mereka katakan. Beginilah jadinya bila sebuah film dengan tuntutan yang besar, dikerjakan dengan jadwal yang mepet dan terburu-buru. Bahkan audio pun jadi korban.
Beralih ke persoalan adegan-adegan laga yang hampir memenuhi cerita. Banyak di antara adegan aksi tersebut yang sekadar mengobral perkelahian belaka. Tidak pernah benar-benar jelas siapa-siapa saja yang sedang berlaga. Pahadal penting juga untuk menunjukkan dengan baik di layar siapa saja yang sedang melawan tokoh utama. Penikmat sinema laga pun tentu merasa penting untuk mengetahui dengan detail sesiapa yang terlibat perkelahian di layar yang mereka tonton. Tidak lain agar adegan-adegan aksinya dapat dinikmati. Walau tokoh-tokohnya adalah sampingan sekalipun, melawan tokoh-tokoh sentral.
Di bawah kelemahan-kelemahan tersebut, masih ada satu aspek lagi dan menjadi yang terparah, yakni editing. Bagaimana kita bisa menikmati visual film, bila visual itu sendiri yang bermasalah? Satria Dewa: Gatotkaca melakukan itu. Seluruh visual peristiwa yang berlangsung di setiap scene malam kabur (blur) –yang itu pun diperparah dengan terlalu gelap. Beberapa scene mengalami transisi satu sama lain yang sama sekali tak bisa dinikmati sangking kasarnya pemotongan gambar yang dilakukan. Rasanya seperti sedang ingin menikmati satu adegan, lalu seketika “dipaksa” melompat ke sudut lain maupun adegan yang berbeda. Jembatan yang rapi untuk menghubungkan satu scene dengan lainnya pun tak ada.
Kendati dengan kekurangan yang sedemikian parah, Satria Dewa: Gatotkaca tidak lantas buruk sepenuhnya. Bagaimanapun, seperti misalnya Gundala, film ini berupaya semampunya untuk menghadirkan kisah-kisah lawas dari para pahlawan super yang dikenal oleh masyarkat lokal. Walau lebih banyak mengandung ketidaksempurnaan dari segi teknis, ketimbang Gundala. Besar dan megah, memang. Namun untuk sebuah proyek perdana yang semestinya membuka dunia cerita mereka sendiri ke depannya lewat judul-judul lain, baik Gundala maupn Satria Dewa: Gatotkaca sudah berlebihan. Masalahnya, keduanya sama-sama mengabaikan kesederhanaan film pembuka dan latar belakang dunia cerita.
Memang boleh diakui pula pemilihan aktor dan aktrisnya tepat. Terutama keberadaan Yasmin sebagai Agni di kelompoknya. Meski adanya tokoh Quinn di antara mereka tak jelas fungsinya. Apa motivasi tokoh tersebut harus ada dalam cerita? Apa urgensi dari perannya? Bahkan ketika aura dari Quinn terpantau berbeda, tak ada kelanjutan apapun selain candaan belaka.
Meski Satria Dewa: Gatotkaca menunjukkan iktikad baik terhadap sepenggal kisah pahlawan super dalam negeri, namun amat sayang penggarapan yang terburu-buru merusak semua itu. Cara film film ini menyampaikan kisahnya yang terlalu rumit dengan banyak lapisan pun tidak diimbangi dengan teknis yang baik. Sangking buru-burunya, sineas film ini melewatkan banyak hal yang semestinya dapat disadari kalau saja jeli. Terutama, sekaligus menjadi kelemahan besar, adalah soal teknis.
Film sampah banget ini. Pemerannya pasti tahu dilihat dari bosennya muka mereka.