Setelah sekitar dua bulan lalu kita menyaksikan keberhasilan debut Muhadkly Acho melalui Gara-Gara Warisan, kini giliran rekan satu manajemennya, Bene Dion Rajagukguk. Lewat film keduanya ini, Ngeri-Ngeri Sedap, ia pula yang menulis skenarionya dengan satu tema besar, masyarakat Batak. Tampaknya tema ini juga telah lama diidam-idamkannya untuk digarap menjadi satu film utuh. Drama komedi Batak produksi Imajinari dan Kathanika Entertainment ini diperankan oleh Arswendy Bening Swara, Tika Panggabean, Ghita Bhebhita, Boris Bokir, Lolox, dan Indra Jegel. Dengan keinginan yang kuat untuk menyoroti tanah Batak dari sang sineas, lantas bagaimana dengan keseluruhan aspek filmnya?

Keluarga Pak Domu (Arswendy) merupakan keluarga terpandang di tengah masyarakat Batak sebagai contoh keluarga harmonis dan berhasil. Namun di balik itu, ada banyak masalah yang tersimpan. Baik sang istri, Mak Domu (Tika) dan Sarma, anak kedua (Ghita) yang sehari-hari tinggal bersama sang kepala keluarga, maupun Domu (Boris), Gabe (Lolok), dan Sahat (Jegel) yang berada jauh di luar pulau. Keempat laki-laki tersebut saling menjaga harga diri masing-masing sambil terus membenturkan ego ke satu sama lain. Sama-sama merasa menjadi yang paling benar tanpa pernah mau mendengar. Setiap kali ada kesempatan untuk berdiskusi, selalu berujung konflik. Sampai muncul satu ide gila yang datang dari sang kepala keluarga sendiri demi “menyeret” pulang anak-anaknya.

Tak banyak sinema karya bangsa yang mengangkat lokalitas sebagai latar utama cerita. Terlebih ketika sineasnya memang termotivasi untuk itu. Beberapa sekadar memosisikan daerah lain di luar Pulau Jawa maupun lokalitas sebagai tempelan semata, atau hanya sebatas latar tempat. Misalnya, Notebook dan Wedding Proposal. Ngeri-Ngeri Sedap bukan hanya mengangkat cerita tentang lingkungan masyarakat Batak berikut kebiasaan mereka, tetapi juga menampilkan salah satu acara adat di sana. Falsafah yang mereka percayai serta harga diri. Bahkan para kastingnya pun banyak diisi oleh keturunan Batak. Atau dengan kata lain film ini bisa disebut pula sebagai Film Batak. Walau kita takkan banyak menjumpai dialog-dialog yang sepenuhnya menggunakan Bahasa Batak di sepanjang film.

Drama Ngeri-Ngeri Sedap pun kental, bahkan lebih berat bobot elemennya ketimbang sisi komedi. Bukan hal yang buruk. Lagipula dari sinilah nilai lebih lain yang film ini tawarkan. Dengan permasalahan yang kerap kali terbentur aturan-aturan adat, Bene menyajikannya amat baik. Ia memang tampak berkembang dan telah lebih matang dalam menggarap film, baik sebagai sutradara maupun penulis. Terlebih, ketika ceritanya adalah soal lingkungan kelahirannya sendiri, Batak. Rival yang cukup ketat –setidaknya untuk saat ini—dengan Gara-Gara Warisan sebagai sesama drama komedi. Masing-masing dengan kelebihan dan kekurangannya sendiri. Gara-Gara Warisan dengan kesederhanaan konflik namun matang untuk aktingnya, Ngeri-Ngeri Sedap dengan olah peran minimalis namun kuat pada sisi lokalnya.

Baca Juga  Eiffel I'm in Love 2

Kendati dengan dramatisasi cerita yang matang, patut diakui bagaimanapun olah peran dari para kastingnya memiliki kekurangan. Jelas belum sekuat para bintang. Namun sudah menunjukkan upaya yang gigih untuk momen-momen emosional dan dramatis. Mengingat latar belakang mereka yang memang bukan berangkat dari seni peran dalam sinema, melainkan komika. Khususnya bila mengamati dengan jeli perbedaan olah peran antara Arswendy dan Tika, dengan Boris, Ghita, Lolox, dan Jegel. Kesampingkan dulu soal akting para pemain lainnya, jam terbang membedakan kedalaman karakter yang mereka berlima perankan. Dalam momen percakapan biasa, ungkapan marah, atau hal-hal yang lucu, baik Boris, Ghita, Lolox, maupun Jegel bisa. Namun untuk yang melibatkan kesedihan, agak berat rasanya melihat pendalaman peran di sana.

Dua hal selain acara adat khas Batak dan aspek drama yang menonjol dalam film ini, yakni editing dan pengambilan gambarnya. Ngeri-Ngeri Sedap amat jelas mengandalkan teknis saling-silang gambar (cross cutting) dalam menghadirkan banyak adegan pendek yang masih satu pembahasan di tempat yang berlainan. Meski tak semuanya terjadi dalam satu waktu. Film ini pun terang-terangan tak ingin melewatkan kesempatan untuk sebisa mungkin sering-sering memakai long take. Walau terasa sekali ada satu atau dua peristiwa yang sepertinya sukar untuk dihadirkan dengan teknis tersebut. Agaknya memang perlu upaya yang lebih keras lagi dalam mengarahkan, melihat yang dihadapi sineas film ini adalah masyarakat setempat.

Ngeri-Ngeri Sedap mewarnai perfilman dalam negeri dengan olahan lokalitasnya yang cukup kental, khas, dan bukan javasentris. Bene memang baru kali kedua ini menyutradarai film panjang, tetapi ia terbilang sudah tahu betul untuk memilah dan memilih adegan. Walau ia tampak lebih sering memaklumi bila penjiwaan karakter yang dihadirkan oleh para kasting pilihannya sulit tercapai dengan maksimal. Setidaknya ini bukan dari Arswendy dan Tika. Ihwal kepenulisan pun telah cukup baik dilakukannya. Meski amat sayang, tak banyak dialog berbahasa Batak dapat kita nikmati dari film ini.

PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaLast Seen Alive
Artikel BerikutnyaSatria Dewa: Gatotkaca
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.