Silverton Siege adalah film aksi thriller produksi Afrika Selatan arahan sineas debutan Mandla Dube. Film ini dibintangi para pemain lokal kenamaan, seperti Thabo Rametsi, Arnold Vosloo, Nacolo Dlamini, Michelle Mosalakae, serta Elani Dekker. Film ini baru dirilis oleh Netflix tanggal 27 April kemarin. Tak diduga, film yang diinspirasi dari kejadian nyata ini tidak hanya semata memberikan hiburan aksi namun juga pesan politik besar di dalamnya.

Calvin Khumalo (Rametsi) dan tiga rekannya tergabung dalam kelompok militan anarkis anti apartheid di Afrika Selatan pada tahun 1980. Calvin dan timnya berniat untuk meledakkan pusat pembangkit listrik yang sudah mereka rencanakan matang. Pada saat di lokasi, entah bagaimana, rencana mereka rupanya sudah tercium pihak polisi. Mereka pun kabur dari kejaran polisi hingga akhirnya tersudut dalam satu kantor bank yang hanya memiliki satu akses. Mereka lalu mengambil alih bank bersama belasan karyawan dan nasabahnya untuk bisa bernegosiasi dengan polisi. Di tengah situasi yang terjepit, Calvin pun memanfaatkan situasi untuk kepentingan politik kelompoknya, yakni membebaskan Nelson Mandela.

Menonton tanpa ekspektasi, di luar dugaan film ini mampu memberikan kejutan besar. Tidak hanya kisahnya, namun juga kemasan estetiknya. Dibuka melalui tone ringan dengan selera “humor” berkelas, film ini mampu menyajikan aksi kekerasan di sana sini tanpa sama sekali terlihat sisi brutalnya. Coba bandingkan dengan Hotel Mumbai yang sejak awal hingga akhir menyajikan aksi nonstop kekerasan sadis yang menegangkan dan memicu adrenalin penonton. Sebaliknya, Silverton mengemasnya dengan gaya sentuhan unik sang sineas sehingga aksi-aksi kekerasannya terlihat “halus”, melalui sudut dan pergerakan kamera, editing, tone warga gambar, hingga dialog spontannya.

Baca Juga  The God Committee

Pendekatan realis yang lazimnya digunakan dalam tipikal plot sejenis justru tidak kita rasakan. Uniknya, walau plotnya berjalan intens dan nyaris tanpa jeda, namun kisahnya dituturkan nyaris tanpa ketegangan berarti. Film ini tidak terasa sebagai film aksi thriller namun adalah drama. Alur plotnya, secara efektif membuat kita bersimpati penuh dengan pihak protagonis. Lambat tapi pasti, arah kisahnya mulai menampakkan wajah aslinya. Tampak jika sang sineas tidak ingin memberi kesan brutal pada kisahnya yang memiliki pesan kuat tentang perdamaian dan kebebasan. Melalui sentuhan estetiknya yang bersahaja serta didukung para kastingnya yang tampil sangat baik, sang sineas mampu menghasilkan sebuah karya “klasik” yang istimewa.

Dengan naskah solid, gaya bertutur ringan serta penampilan ekspresif para kasting utamanya, di luar dugaan Silverton Siege mampu mengusung pesan besarnya dengan amat menyentuh dan berkelas. Film ini nyaris tanpa cacat dengan kelemahan terbesarnya adalah naskahnya yang tidak sesuai fakta aslinya. Jelas ini bukan masalah dan film ini memang tidak mengarah ke sana. Silverton Siege adalah satu contoh bagus bagaimana medium ini secara efektif dan brilian mampu menghibur penonton serta memiliki pelajaran berharga tentang sisi gelap umat manusia yang hingga kini masih eksis. Apakah perlu aksi anarkis untuk menyuarakan kebebasan? Sejarah sudah menjawab. Mengutip kata-kata bijak dari filmnya: What is the price of freedom? Everything.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaSpoiled Brats
Artikel BerikutnyaOma The Demonic
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.