Rumah di Seribu Ombak, Film Anak yang Terlalu Kelam

0
Rumah di Seribu Ombak (2012)
107 min|Drama|30 Aug 2012
7.2Rating: 7.2 / 10 from 31 usersMetascore: N/A
N/A

Kisah film ini diangkat dari novel berjudul sama karya Erwin Arnada yang juga menyutradarai film ini. Alkisah ada dua bocah dengan beda keyakinan bersahabat sangat dekat, mereka adalah Samihi (Risjad Aden) dan Yanik (Dedey Rusma). Samihi adalah seorang muslim dan Yanik beragama Hindu. Mereka tinggal di sebuah desa di Singaraja, Bali. Samihi masih bersekolah di bangku SD sedangkan Yanik bekerja sebagai pemandu wisata, karena orang tuanya tidak lagi mampu membiayai sekolahnya. Kehidupan di laut sudah menjadi pemandangan setiap hari bagi Yanik. Sedangkan Samihi dilarang orang tuanya untuk dekat-dekat dengan pantai, karena kakaknya pernah menjadi korban akibat tenggelamr. Persahabatan mereka semakin dekat dengan berbagai lika-likunya. Masalah mulai muncul ketika terjadi bom bali serta kasus pelecehan seksual terhadap Yanik oleh warga asing.

Cerita filmnya di awal berjalan dengan tempo yang lambat, mengisahkan persahabatan antara Yanik dan Samihi. Namun, ketika masing-masing beranjak dewasa, dan menghilangnya Yanik dari kehidupan Samihi, cerita menjadi terasa kurang fokus. Kisah film yang gelap dan bernuansa putus asa membelokkan tema persahabatan, pengharapan, dan perjuangan hidup yang dibangun pada ¾ awal film di awal. Sejak awal memang telah menyuguhkan kisah yang kelam dan menyedihkan seperti masalah pelecehan seksual yang dialami Yanik, masalah ekonomi keluarga Yanik, kasus bom Bali, serta trauma yang dihadapi keluarga Samihi. Namun, konflik-konflik tersebut kurang begitu dominan tepatnya hanya tempelan karena cerita lebih fokus pada persahabatan Yanik dan Samihi. Pada segmen kedua cerita diawali dengan kisah cinta antara Yanik remaja dan Syamimi (adik Samihi) namun penonton tidak bakal menyangka bahwa kisah filmnya berakhir sangat tragis sekali. Yanik mengakhiri hidupnya dengan membuang diri ke laut. Ia melakukan ini pemicu utamanya hanyalah karena mendengar kabar burung jika Syamimi akan ikut ke Australia menyusul kakaknya, mengapa?

Baca Juga  Antara Bioskop dan Rating Film

Secara teknis film ini tergolong mapan. Tone warna filmnya sephia mendukung nuansa filmnya yang kelam. Ditambah musik etnik yang melankolis sangat pas mengiringi adegan yang menyedihkan. Aspek sinematografi khususnya komposisi gambar juga ditampilkan sangat baik. Setting desa di Bali juga pas untuk cerita semacam ini. Akting Risjad dan Dedey sebagai Yanik dan Samihi walau kadang tampak kaku namun masih bisa dinikmati. Namun casting untuk pemain remaja Yanik (Riman Jayadi) kurang pas untuk memerankan tokoh Yanik . Karakter Yanik yang seenaknya bicara, tegar, memotivasi, dan cerdik tak muncul pada saat remaja. Aktor Lukman Sardi sebagai tokoh ayah juga cocok bermain di film ini sementara Andania Suri (Syamimi) gayanya malah tampak seperti orang kota ketimbang anak desa.

Kisah persahabatan antara Yanik dan Samihi memang bisa diartikan lain, yakni simbol toleransi antara umat muslim dan Hindu yang terjalin harmonis di Bali. Kasus pelecahan seksual terhadap Yanik bisa pula disimbolkan nilai-nilai kultur lokal yang mulai luntur akibat pengaruh asing yang masuk demikian kuat. Yanik mengakhiri hidup dengan cara yang “mulia” bisa menjadi simbol aksi bom bunuh diri di Bali. Jika ini memang motifnya, mengapa dikemas sebagai film anak-anak? Jelas sebagai film anak-anak tontonan ini bukanlah tontonan yang mendidik dan bisa ditafsirkan berbeda.

Artikel SebelumnyaMama Cake, Film Religi dengan Kemasan Anak Muda
Artikel BerikutnyaTaken 2
Agustinus Dwi Nugroho lahir di Temanggung pada 27 Agustus 1990. Ia menempuh pendidikan Program Studi Film sejak tahun 2008 di sebuah akademi komunikasi di Yogyakarta. Di sinilah, ia mulai mengenal lebih dalam soal film, baik dari sisi kajian maupun produksi. Semasa kuliah aktif dalam produksi film pendek baik dokumenter maupun fiksi. Ia juga lulus dengan predikat cum laude serta menjadi lulusan terbaik. Ia mulai masuk Komunitas Film Montase pada tahun 2008, yang kala itu masih fokus pada bidang apresiasi film melalui Buletin Montase, yang saat ini telah berganti menjadi website montasefilm.com. Sejak saat itu, ia mulai aktif menulis ulasan dan artikel film hingga kini. Setelah lulus, ia melanjutkan program sarjana di Jurusan Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan tinggi swasta di Jogja. Penelitian tugas akhirnya mengambil tema tentang Sinema Neorealisme dan membandingkan film produksi lokal yang bertema sejenis. Tahun 2017, Ia menyelesaikan studi magisternya di Program Pascasarjana Jurusan Pengkajian Seni di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dengan minat utama film. Penelitian tesisnya terkait dengan kajian narasi dan plot sebuah film. Saat ini, ia tercatat sebagai salah satu staf pengajar di Program Studi Film dan Televisi, ISI Yogyakarta mengampu mata kuliah teori, sejarah, serta kajian film. Ia juga aktif memberikan pelatihan, kuliah umum, seminar di beberapa kampus, serta menjadi pemakalah dalam konferensi Internasional. Biodata lengkap bisa dilihat dalam situs montase.org. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Miftachul Arifin.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.