Drama keluarga termasuk masih menjadi jualan gampang di antara film-film Indonesia, selain horor. Demikian pula yang merupakan adaptasi dengan tambahan bumbu-bumbu komedi. Itulah Rumah Masa Depan arahan Danial Rifki, dengan skenario garapannya sendiri berdasarkan serial berjudul sama yang dulu (1984) disutradarai Ali Shahab. Oleh karena itu, produksi film ini merupakan kolaborasi antara Max Pictures, dengan Mizan Pictures dan Mizan Production. Kini, para pemerannya yaitu Fedi Nuril, Laura Basuki, Bima Azriel, Ciara Brosnan, Widyawati, Maisha Kanna, dan Cok Simbara. Sang sineas hampir selalu melahirkan karya-karya dengan kadar bagus rerata. Bagaimana dengan kali ini?
Sukri (Fedi) sekeluarga, bersama istri, Surti (Laura) serta kedua anak mereka, Bayu (Bima) dan Gerhana (Ciara) hendak mengisi libur sekolah dengan bepergian. Namun, kabar tak sedap datang menyusul dering telepon ke ponsel Sukri sesaat sebelum mereka berangkat. Ayah Sukri, Pak Musa (Cok Simbara) telah meninggal dunia. Alhasil, jalan-jalan mereka batal dan bertolak langsung pulang ke kampung halaman Sukri. Sayangnya begitu sampai, kehadiran Surti ditolak mentah-mentah oleh ibu mertuanya, Bu Musa (Widyawati). Masalah terkait Bu Musa pun rupanya tak sekadar itu dan bahkan melibatkan beberapa orang dalam satu desa.
Drama keluarga, sebagaimana disinggung di atas, merupakan salah satu obralan paling sering dalam perfilman Indonesia. Duduk perkaranya pasti soal komunikasi dalam internal keluarga itu sendiri. Beberapa melahirkan kesalahpahaman pula. Misalnya saja Keluarga Cemara (2019) dan sekuelnya (2022), Yang Tak Tergantikan (2021), Mohon Doa Restu (2023), Gara-Gara Warisan (2022), serta Catatan si Boy (2023) –termasuk film-film pendahulunya. Menonton Rumah Masa Depan pun seakan gabungan antara perpindahan dari kota ke desa seperti Keluarga Cemara, “dosa warisan” dalam Catatan si Boy, dan masalah restu seperti dalam Cek Toko Sebelah 2 (2022). Meski eksekusi komedi di antara masalah yang ada masih lebih mulus Ngeri-Ngeri Sedap (2022).
Rumah Masa Depan juga beberapa kali melakukan pengulangan nihil fungsi dan pematahan pernyataan sendiri. Misalnya, dua kali menampilkan salat gaib, ketika yang kedua lah yang justru lebih punya motif. Perkara Bayu dan teman perempuannya. Sukri bermaksud memulangkan mobil pinjaman dari ayahnya, tetapi kemudian dibawa kembali juga. Karakter Bu Musa pun rasa-rasanya tak manusiawi dengan selalu marah meledak-ledak ke sana-sini. Lebih mirip karakter dalam cerita fantasi komedi anak-anak yang mesti dibuat sejelas mungkin perbedaannya satu sama lain. Meski semuanya bakal hanyut oleh penampilan puncak antara Surti dan Bu Musa dalam sebuah situasi.
Beruntung, Rumah Masa Depan memiliki visual dengan keindahan pemandangan alam sebagai salah satu penolong sisi menariknya. Gambar-gambar luas menangkap lanskap khas pedesaan layaknya dua film Keluarga Cemara dan Ngeri-Ngeri Sedap. Sayang saja masalahnya malah berbelit-belit atau terlalu melebar, saat jalan menuju pintu keluarnya sudah terpampang amat jelas di hadapan para tokoh utama. Jadi tampak “dilebar-lebarkan” dan para tokoh pun kurang cerdas untuk menangkap temuan-temuan menuju pintu keluar. Sementara itu, dengan tanda-tanda yang muncul, mudah bagi penonton untuk menebak akan mengarah ke mana atau bahkan tahu ujung ceritanya.
Rumah Masa Depan rerata untuk genrenya dengan selipan-selipan ihwal masalah pertanian, walau terasa melebar. Sang sineas pun tampak kian jelas cenderung menghasilkan film-film standar atau drama medioker semata. Tidak memukau, bukan buruk pula. Lihat saja bagaimana Father & Son (2022), Marriage (2021), Rentang Kisah (2020), atau 99 Nama Cinta (2019).