Leave the World Behind adalah film thriller misteri arahan Sam Esmail yang dirilis Netflix minggu lalu. Esmail kita kenal dengan seri populer Mr. Robot yang digarapnya 4 musim. Naskah yang ditulis sang sineas diadaptasi dari novel berjudul sama (2020) karya Rumaan Alam. Film ini dibintangi beberapa nama besar, Julia Roberts, Ethan Hawke, Mahershala Ali, Myha’la, hingga Kevin Bacon. Film bermotif pra-bencana macam ini bukan hal yang baru lagi, lantas adakah sesuatu yang baru ditawarkan film ini dengan bermodal bintang-bintang kelas satu ini?

Amanda (Roberts) suatu ketika mengajak liburan dadakan keluarganya dengan menyewa sebuah rumah mewah di Long Island, tak jauh dari kota mereka, New York. Sang suami, Clay (Hawke) dan dua putra putrinya, Rose dan Archie pun tak kuasa menolak, terlebih rumah besar tersebut memiliki fasilitas hiburan yang lengkap. Namun, beberapa peristiwa aneh pun terjadi sejak mereka tiba, seperti koneksi internet yang hilang, hewan-hewan liar yang berada di sekitar rumah, hingga kapal tanker raksasa yang terdampar di pantai. Belum semua terjawab, tengah malah mereka didatangi dua orang, ayah dan putrinya, George (Ali) dan Ruth (Myha’la). Mereka mengaku ini adalah rumah mereka dan ke sana karena jalan ke kota tertutup. Kejadian demi kejadian aneh terus terjadi, seolah sesuatu yang besar bakal terjadi.

Menilik tone kisahnya, Leave the World Behind amat mengingatkan pada film-film garapan M. Night Shyamalan, sebut saja Sign, The Happening, hingga Knock at the Cabin. Shayamalan secara sabar selalu membangun kisahnya dengan memberikan petunjuk secuil demi secuil hingga memberikan kejutan besar di belakang. Kisahnya pun dibuat episodik pula. Tidak hanya cerita, namun begitu pun pendekatan estetiknya. Jika saja tidak terdapat nama sang sineas pada title sequence, saya bakal mengira ini adalah karya Shyamalan. Sisi sinematografi dengan gerakan kamera yang unik, mirip dengan gaya sineas kelahiran India ini. Namun untuk kisahnya, Leave the World Behind rupanya tidak “sefilosofis” dan sedalam film-film Shyamalan.

Baca Juga  Salt, Spionase Non Stop Aksi

Premis yang simpel semata hanya memancing rasa penonton untuk terus mengusik hingga akhir. Pertanyaan “what the heck is going on?” terus saja muncul di benak penonton dengan informasi-informasi yang tidak mampu memberikan jawaban pasti. Apakah ini serangan alien (Sign, ID4)? Apakah ini serangan cyber teroris (Die Hard 4)? Ataukah ini hanya penanda bencana alam (2012, etc)? Atau ini invasi atau serangan bom dari Rusia? Tak ada informasi yang jelas. Semua serba misteri dan sang sineas rupanya memang cukup terampil mengolah ini, setidaknya hingga ¾ durasi.

Plotnya tidak berusaha fokus pada peristiwa di luar sana, namun uniknya justru mengarah pada respon dari dua anggota keluarga ini dalam menghadapi situasi yang amat tak wajar. Rasa saling curiga dan pikiran negatif lainnya saling tumpang tindih. Sisi misteri dan drama psikologis ini yang dimanfaatkan betul sang sineas dalam membangun intensitas ketegangan plotnya. Teknik potong silang adegan (crosscutting) menjadi favorit sang sineas dalam beberapa segmen pentingnya. Sayangnya, seringkali naskahnya tidak membiarkan penonton untuk bekerja dengan otak liarnya untuk membiarkan kita menerka dan merenungi kisahnya. Dialog-dialog yang gamblang kadang terlempar begitu saja yang ini sebenarnya menjadi potensi kuat “pesan tersembunyi” ceritanya. Toh kita pun semua tahu, substansinya ini adalah film bertopik keluarga.

Walau idenya bukan hal baru, namun melalui premis dengan segala sisi misterinya, Leave the World Behind adalah sebuah studi karakter (keluarga) yang efektif dalam tekanan dan situasi tak terkontrol dengan kemasan estetiknya yang unik. Di luar beberapa kelemahannya yang tertolong penampilan bintang besarnya, tercatat sang sineas memiliki talenta yang tak bisa dianggap remeh. Sebenarnya apa dan siapa dalangnya? Film ini rasanya tidak menuding pihak mana pun. Leave the World Behind secara efektif menggambarkan kegamangan dan rasa “insecure” rakyat AS dari segala isu ras, kekerasan senjata, AI, dan lainnya hingga kebijakan pemerintah AS sendiri yang ingin menjadi polisi dunia.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaRumah Masa Depan
Artikel BerikutnyaFast Charlie
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.