The Sinking of Van Der Wijck (2013)
164 min|Drama, Romance|19 Dec 2013
7.7Rating: 7.7 / 10 from 1,500 usersMetascore: N/A
Adapted from a classic novel with the same title, the movie tells a love story between Zainuddin, Hayati, and Aziz. With the difference in social background lead Zainuddin and Hayati's true love to a tragedy on sailing Van Der Wij...

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck (2013) merupakan sebuah proyek ambisius yang konon diproduksi  dengan riset bertahun-tahhun serta bujet yang monumental. Film garapan Sunil Soraya ini dbintangi oleh Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, serta Jajang C. Noer. Film ini diadaptasi dari novel klasik berjudul sama yang terbit pada tahun 1938 karya penulis legendaris, Hamka. Kisah novelnya konon juga terinspirasi dari kejadian nyata musibah yang menimpa kapal Van der Wijck yang teggelam di perairan Laut Jawa pada tahun 1936.

Alkisah Zainuddin adalah seorang pemuda kelahiran Makassar yang merantau ke desa kampung halaman almarhum ayahnya di desa Batipuh, Padang Panjang. Di sana, ia jatuh hati dengan Hayati, gadis muda cantik keturunan bangsawan yang memegang teguh adat Minang. Keluarga Hayati menolak Zainuddin karena ia dianggap tidak memiliki suku serta miskin, dan mereka pun akhirnya menerima pinangan Azis, pemuda kaya keturunan bangsawan di kota Padang Panjang. Untuk melepas derita cintanya, Zainuddin bersama sobatnya Muluk, merantau ke Jakarta lalu berlanjut ke Surabaya di mana kelak sang pemuda menjadi seorang penulis terkenal serta pengusaha yang sangat sukses. Suatu ketika, Aziz memutuskan untuk pindah ke Surabaya membawa sang istri yang membawanya kembali bersua dengan Zainuddin.

Kisah roman percintaan klasik yang dibalut dengan tradisi lokal macam ini memang jarang sekali diproduksi. Kisahnya yang menyentuh bersumber dari tulisan aslinya rasanya tak perlu banyak kita komentari. Beberapa kejanggalan plot pun bisa dimaklumi karena konon versi film berdurasi 164 menit ini, aslinya berdurasi 195 menit. Banyak detil cerita yang pasti terlewatkan dan jomplang. Agak sedikit aneh, melihat Hayati yang menjunjung tinggi norma Islam dan tradisinya menggunakan baju terbuka ketika di pacuan kuda, hanya karena sahabatnya menyuruhnya. Lalu bagaimana pula Muluk bisa berdialog bijak sedemikian rupa untuk menasehati Zainuddin ketika latar pemuda tersebut bukan orang yang sholeh dan berpendidikan.

Baca Juga  Death on the Nile

Tempo film yang sedang sudah cukup untuk menyajikan satu kisah cinta yang panjang tanpa penonton merasa bosan. Adegan demi adegan bergulir efektif, dihiasi alam panorama lokal serta tata artistik yang memang mendukung kisah filmnya. Beberapa teknik montage juga disajikan baik untuk menyingkat cerita, seperti ketika Zainuddin mulai menanjak karirnya. Setting eksterior kota Batavia yang tentu sulit, juga mampu diakali secara efektif melalui sudut kamera. Demikian pula set interior juga tak mengecewakan, kecuali adegan pesta di rumah istana Zainuddin yang masih terasa nuansa modernnya. Walau tak sempurna, namun usaha sineas untuk menambal kelemahan setting cerita patut dihargai. Ilustrasi musik di beberapa bagian memang agak terasa mirip score Titanic, terutama di segmen di kapal, bahkan ada sebuah shot pun dibuat sama. Jika bicara soal efek visual, duh, kita maklumi sajalah.

Tenggelamnya Kapal Van der Wijck adalah satu proyek ambisius adaptasi novel Hamka dengan kisah melodrama yang menyentuh serta dukungan kuat para pemainnya serta tata artistik yang efektif. Tiga tokoh utamanya bermain baik, namun Reza Rahardian memang lebih dominan dalam setiap kemunculannya. Walau banyak kelemahan di sana-sini, usaha sineas untuk membuat film ini dengan segala detilnya patut diapresiasi tinggi. Inti kisah filmnya sebenarnya tidak bicara tentang roman atau adat, namun justru pada bagaimana seseorang bisa bangkit dari keterpurukan. Kisah cinta abadi dan gesekan antara tradisi dan modernitas hanyalah pemanis untuk mengemas satu drama kehidupan, di mana roda kehidupan selalu berputar dan bagaimana kita harus selalu mengedepankan hati yang sabar dan tulus, tanpa emosi yang kelak berujung pada kebencian, penyesalan, dan malapetaka.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaKafir: Bersekutu Dengan Setan
Artikel BerikutnyaSi Doel the Movie
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.