Tengkorak adalah film aksi fiksi ilmiah garapan Yusron Fuadi yang juga adalah dosen vokasi Universitas Gajah Mada (UGM). Film yang konon diproduksi secara independen dengan modal minim ini, akhirnya bisa tayang di bioskop karena mampu berbicara di beberapa festival film internasional. Kru dan tim film ini kabarnya semua adalah dosen dan mahasiswa UGM. Seperti apa filmnya dan apakah bisa bersaing dengan film mainstream produksi yang lebih mapan?
Alkisah, gempa di Yogyakarta tahun 2006 memunculkan sebuah artefak raksasa berupa tengkorak manusia yang panjangnya 1,8 km! Penemuan ini membuat geger dunia dan semua pihak ingin terlibat di dalam penelitan yang mengguncangkan ini. Ketika seorang profesor asal Perancis yang meneliti tengkorak raksasa ini mendadak tewas, seorang gadis pembuat kopi di lab, tanpa ia sadari membawa informasi maha penting tentang penemuan ini.
Dibuka dengan opening yang menarik, film ini dikemas mirip film fiksi ilmiah nominasi Oscar, District 9 dengan gaya dokumenter yang khas. Sayangnya gaya ini hanya digunakan sesaat. Hanya beberapa menit cerita berjalan, alur plotnya mulai tak jelas. Kisahnya ngalor-ngidul tak karuan tanpa bisa dipahami arah cerita sebenarnya mau ke mana. Banyak adegan yang tak berhubungan dengan plot cerita utama atau tak penting dipaksa masuk dan disisipkan ke dalam filmnya. Entah untuk sekedar menambah durasi, atau memang itu pilihan sutradara, tak jelas. Penonton seolah hanya melihat penggalan-penggalan kisah yang tak berhubungan dan dipaksa untuk menikmati itu semua tanpa bisa masuk sama sekali ke dalam cerita. Fokus kisahnya jelas mau mengarah ke sosok Ani. Mengapa tidak sejak awal penceritaan fokus ke Ani saja? Setelah adegan aksi brutal di kos, Ani begitu saja mau dibawa Yos, tanpa terlihat bingung atau panik, dan alasannya hanya karena ia menyukai wajah sang gadis?? Sejujurnya, kita tak peduli dengan Ani, Yos, atau siapa pun karakter dalam film ini.
Kisah yang ngalor ngidul ditambah pula dengan pencapaian teknisnya yang amat buruk. Gerakan kamera handheld yang berguncang kasar plus suka berlama-lama dengan shot-nya (long take), sama sekali tak nyaman untuk dinikmati, melelahkan, dan membuat kepala pening. Editingnya pun tak kalah buruknya dengan seringkali memotong gambar dengan kasar dalam banyak adegannya. Aspek efek visual untuk level produksinya tentu bisa kita maklumi. Kastingnya pun bisa dimaklumi, namun setidaknya bisa dipilih yang lebih matang berakting jika tujuan filmnya ingin didistribusi luas semacam ini. Akting semata bukan hanya bisa marah, berteriak, dan mengumpat kata-kata kasar, namun juga sikap dan gerak bahasa tubuh. Sedihnya, penonton justru merespon ketika umpatan kasar bahasa jawa terlontar untuk hal yang sepele.
Dengan ide yang unik, Tengkorak tak mampu menyajikan alur kisahnya secara jelas dengan bahasa visual yang jauh dari kata memadai. Kita tentu turut bangga, film indie semacam ini bisa masuk dalam jaringan bioskop nasional. Namun, setidaknya kriteria bukan semata hanya prestasi di festival film internasional, namun kualitas filmnya juga harus terjaga dengan pencapaian cerita dan teknis yang baik. Sudah banyak film kita yang mampu menunjukkan kualitas seperti ini. Semoga ke depan, film-film indie yang diputar di bioskop bisa lebih bagus.
WATCH TRAILER