Dibawah Bayang-Bayang Raksasa

3 Juli 2012
Sutradara: Marc Webb
Produser: Avi Arad / Laura Ziskin / Matt Tolmach
Naskah: James Vanderbilt
Pemain: Andrew Garfield / Emma Stone / Rhys Ifans / Martin Sheen
Sinematografi: John Schwartzman
Editing: Allan Edward Bell / Pietro Scalia
Musik: James Horner
Studio: Marvel Entertainment
Distributor: Columbia Pictures
Durasi:  136 menit
Budget: $220 Juta
Apa yang kita harapkan dari reboot seri Spiderman? Baik Spiderman (2002) dan Spiderman 2 adalah salah satu film superhero terbaik yang pernah ada. Unsur hiburan dengan adegan aksi memesona plus kedalaman cerita mampu disajikan berimbang. Dua film ini adalah bak dua raksasa yang sulit dicari tandingannya apalagi jika dikemas ulang. Bicara soal reboot, Batman Begins bersama sekuelnya The Dark Knigth adalah terbilang yang paling sukses, perfect bahkan. The Amazing Spiderman (AS) mencoba mengekor sukses Batman Begins namun tanpa formula yang inovatif dan fresh.
Kisah AS dalam beberapa segmen banyak mengulang plot Spiderman. Walau disajikan secara berbeda namun point-nya tetap sama. Semua orang juga tahu karakter Paman Ben dikorbankan namun ketika itu terjadi mengapa kita tidak bisa larut di dalamnya? Lalu apa motif Peter melakukan ini semua? AS mencoba menggali karakter Parker dari masa silamnya namun hubungan orang tua dengan kisah secara keseluruhan tidak memiliki kaitan yang jelas. Semuanya serba tanggung dan tidak ada penjelasan yang memadai. Apa sebenarnya hubungan antara karakter Dr. Curt Connors dengan ayah ibunya? Hubungan asmara Peter dengan Gwen Stacy adalah satu-satunya aspek cerita yang paling menonjol ketimbang yang lain namun itu pun terasa kurang menggigit. Sementara hubungan Parker dengan Paman Ben dan Bibi May juga tidak mampu memberi kesan hangat yang semestinya. Secara keseluruhan drama yang seharusnya bisa menyentuh sama sekali tidak memberi kesan yang mendalam. Kisahnya tidak memberikan tempat bagi kita untuk bersimpati penuh dengan tiap karakter sekalipun para pemain sudah memberikan kemampuan akting terbaiknya.

Beberapa aspek cerita juga kurang mendetil karena penjelasan yang kurang memadai. Dendam Peter pada pembunuh Ben yang demikian besar dan dibangun detil sedemikan rupa (memotivasi aksi Peter menggunakan kostum) mendadak hilang begitu saja tertutup masalah yang lain. Mengapa Dr Connors berubah (jahat)? Sang dokter tampak sabar dan mampu mengendalikan dirinya sampai serum merubah segalanya. Serum adalah motifnya tapi untuk apa merubah orang yang tidak memiliki sisi jahat sama sekali? Di jembatan, “Dr Connors” mencari koleganya secara membabi buta namun tidak berkesan sama sekali. Mungkin ini tidak penting tapi bagaimana nasib mobil-mobil yang bergantungan di bawah jembatan? Peter dengan susah payah menolong salah satunya namun bagaimana yang lain. Polisi jelas tidak mudah untuk menolong mereka. Lalu di sekuen klimaks, bagaimana pula nasib lusinan polisi yang terkena serum, bayangan aksi seru Spiderman versus para kadal raksasa menanti, namun nyatanya tidak. Aksi klimaks pun yang berlokasi di puncak gedung juga sama kurang menggigitnya.
AS tidak memberikan sesuatu yang baru dan berkesan sama sekali namun tidak buruk dalam memberikan tontonan yang menghibur. Pencapaian rekayasa digital jelas lebih baik dari sebelumnya tapi juga tidak fantastis. Dari sisi pemain walau mereka sudah berusaha maksimal, khususnya Andrew Garfield namun naskah yang kurang menggigit tidak mampu menolong mereka. AS hanyalah sebuah percobaan reboot yang gagal (namun sepertinya tidak secara komersil) dan berdiri dibawah bayang-bayang dua raksasa, Spiderman dan Spiderman 2. (C)  
Artikel SebelumnyaBrave
Artikel BerikutnyaThe Dark Knight Rises
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

1 TANGGAPAN

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.