The Animal Kingdom merupakan film drama sci-fi produksi patungan Perancis-Belgia arahan Thomas Cailley yang dirilis pada awal Oktober lalu. Film ini dibintangi beberapa aktor-aktris lokal ternama, yakni Romain Duris, Paul Kircher, Adèle Exarchopoulos, Tom Mercier, serta Billie Blain. Film ini tayang premiere di ajang festival bergengsi Cannes Film Festival pada bulan Mei lalu. Saya beruntung, semalam bisa menonton film ini pada acara pembuka Festival Sinema Perancis 2023 yang berlangsung hingga tanggal 26 November mendatang di beberapa kota besar di Indonesia.

Dikisahkan umat manusia diserang wabah aneh yang mengakibatkan sekelompok manusia secara acak dan perlahan bermutasi menjadi binatang. Siapa pun bisa terserang penyakit ini dan hingga kini belum diketahui asal usul serta ditemukan obat penawarnya. Di Perancis, seorang ayah, François (Duris), bersama putranya, Émile (Kircher), pindah ke wilayah kota kecil di pinggir hutan, setelah istrinya terserang penyakit aneh ini. Dengan suasana baru, sang ayah berharap bisa mengurangi kejadian tak mengenakkan yang mereka alami. Namun siapa sangka tanpa diketahui sang ayah, Émile mengalami perubahan fisik pada tubuhnya yang perlahan menjauhkannya dari sifat-sifat alamiah manusia.

Walau bertema familiar, namun konon, naskah film ini ditulis sebelum pandemi COVID-19. Kisahnya sekilas memang mengingatkan pada beberapa film fiksi ilmiah dan fantasi/horor lain. Belum lama lalu, film produksi Norwegia, Viking Wolf (2022) mengisahkan perubahan secara berkala seorang gadis muda menjadi seekor werewolf. Lalu mirip-mirip, ada Blood (2022) yang berkisah tentang seorang perawat yang putranya tergigit anjing liar. Lalu secara tema, film ini mengingatkan pula pada film bencana global arahan M. Night Shyamalan, The Happening (2008), walau motifnya berbeda, namun poin kisahnya sama, sebuah perlawanan balik dari alam. The Animal Kingdom seolah merangkum semuanya dalam satu kisah drama bencana melalui perspektif seorang bapak dan putranya.

Chemistry antara François dan Émile menjadi kunci utama plotnya. Tipikal relasi ayah dan putranya memang bukan hal baru dalam kasus plot macam ini yang begitu efektif mendukung intensitas drama dari momen ke momen. Alurnya tak bergegas dengan memaparkan secara sabar perubahan fisik dan mental pada sosok Émile. Alur plot pun mulai terasa lebih menggigit ketika sang ayah mulai terlibat dalam situasi tak terkontrol ini. Melalui pengadeganan senada dengan opening-nya (di dalam mobil), ending dan solusi yang menyentuh menjadi pelajaran bagi keduanya untuk memaknai lebih dalam, arti penting sebuah keluarga. Dua peran utama ini dimainkan secara mengesankan oleh Romain Duris dan Paul Kircher.

Baca Juga  Ghosts of War

Dalam skema besarnya, The Animal Kingdom secara tegas tidak menyoal bab keluarga. Judulnya secara gamblang telah mengarahkan tema dan pesan filmnya. Wabah yang terjadi secara global disajikan melalui adegan-adegan yang terjadi di lokasi yang spesifik, selain gambaran melalui berita televisi. Secara detil melalui efek visual dan tata rias yang mengagumkan, para mutan tersaji dengan sangat meyakinkan dari hewan darat, air, hingga udara. Secara cerdik, visualisasi para mutan ini juga tidak lantas diumbar secara utuh, namun hanya potongan-potongan shot sekilas yang memberi penonton rasa penasaran hingga sisi horor. Tidak hingga penghujung, visualisasi yang menjadi titelnya terungkap secara jelas.

The Animal Kingdom memiliki naskah solid, unik dan menyentuh, serta didukung tata rias dan efek visual menawan untuk mendukung tema dan pesannya. Bisa jadi telah ratusan film, sejak era silam menggunakan isu lingkungan dalam beragam bentuk yang menggambarkan betapa gentingnya situasi kita kini. Dari film-film blockbuster, macam seri Jurrasic Park, The Day after Tomorrow, hingga Wall-E mengajak kita untuk berdampingan dengan alam yang rusak akibat ulah kita sendiri. Melalui transisi para mutan, The Animal Kingdom juga secara lugas menyindir manusia yang secara perlahan berubah menjadi “binatang” yang lambat laun hilang sisi manusiawinya. Setelah menonton film ini, saya terlintas monolog dalam sebuah film, “hanya jika kita menjadi mereka, kita bisa sungguh memahami apa yang mereka rasakan”. Fix, sang manusia burung mengajarkan banyak hal tentang kita, arti dan makna kebebasan sejati. What a film.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaGadis Kretek
Artikel BerikutnyaBersinema dengan Meragam dalam Gelaran Festival Sinema Prancis ke-25
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.