gadis kretek

Rokok telah sejak lama menjadi komoditas dengan tembakau, cengkeh, dan palanya. Khusus ihwal rokok kretek yang turut mengisi masa-masa awal konsumsi rokok dalam negeri, series Gadis Kretek arahan Kamila Andini dan Ifa Isfansyah menceritakannya. Diadaptasi dari karya Ratih Kumala berikut intrik, suasana perpolitikan pada era 1960-an, hingga romansa di dalamnya. Skenarionya digarap oleh Tanya Yuson, Sasthi Nandani, Kanya Priyanti, Ambaridzki Ramadhantyo, bersama Kumala sendiri. Melalui produksi Base Entertainment dan Fourcoulours Films dengan nama-nama besar seperti Dian Sastrowardoyo, Rukman Rosadi, Sha Ine Febriyanti, Tissa Biani, Putri Marino, Ario Bayu, dan Verdi Solaiman.

Sejak kemunculan kabar mengenai pembuatan series-nya, Gadis Kretek sudah mencuri perhatian dan dibicarakan khalayak ramai. Mengingat ditayangkan pula melalui Netflix, apakah sepadan dengan hasilnya?

Pertengahan tahun 1960-an ialah masa keemasan rokok Merdeka milik keluarga Idroes (Rukman). Bersama putri pertamanya, Dasiyah (Dian), pangsa pasar rokok Merdeka tetap ramai konsumen, walau muncul merek Proklamasi sebagai kompetitor mereka di bawah kepemilikan Djagad (Verdi). Di tengah rivalitas satu pihak dari Djagad, hadir seorang pekerja baru ke pabrik Merdeka, Soeraja (Ario). Keberadaan Soeraja pun lambat-laun memengaruhi upaya-upaya Dasiyah yang sangat ingin menciptakan saus untuk rokok kretek. Namun, pengaruh dari perpolitikan pada masa itu menggoncang segala lini kehidupan.

Titik pertama cerita bermula sebetulnya bukanlah dari kisah Dasiyah dan keinginannya meracik saus pada tahun 1960-an melalui rokok keluarganya. Melainkan permintaan Soeraja (Pritt Timothy) pada masa kini (2001), agar putra bungsunya, Lebas (Arya Saloka), mencari seorang wanita yang akrab ia panggil sebagai Jeng Yah bermodalkan catatan harian dan foto-foto. Series kemudian berjalan beriringan silih berganti antara masa kini dan lampau (1964-1980).

Seiring mengisahkan masa lalu, menuntut kesesuaian latar (tempat dan waktu) dengan busana, riasan, serta terutama bangunan berikut barang-barang di dalam dan sekitarnya. Gadis Kretek memperhatikan itu dengan baik. Bahkan menempatkan warna-warna simbolis terkait perpolitikan pada masa 1964-1966 hingga 1980, seperti hijau, biru, kuning, dan merah sebagai kemasan rokok. Tidak asing bukan dengan partai-partai pada tahun-tahun tersebut? Khususnya dua warna terakhir. Tanpa satu kali pun menyebutkan nama, jelas sekali warna-warna tersebut merupakan representasi kelompok-kelompok tertentu yang eksis (pula tenggelam) saat itu.

Baca Juga  The Block Island Sound

Kabar yang menginformasikan upaya Dian Sastro untuk mendalami perannya sebagai Dasiyah juga membuahkan hasil memuaskan dalam Gadis Kretek. Karakteristik perempuan terisolasi dari lingkungan sosialnya sendiri, selalu diremehkan, serta sangat kecil berkesempatan menyuarakan mimpi-mimpinya. Khas pada masa itu. Diikuti Putri Marino sebagai Arum yang “berelasi kuat” dengan Dasiyah dan sang ibu dari Dasiyah (Ine Febriyanti), menunjukkan perubahan emosi dalam karakter masing-masing dengan kentara. Tak ketinggalan Verdi dengan peran antagonisnya sebagai Djagad, penghalang bermulut manis dan menipulatif terhadap perjalanan Dasiyah dan Soeraja, hingga mengacaukan keharmonisan dalam keluarga Idroes.

Kendati demikian, setidaknya terdapat satu aspek vital dan satu kelalaian informasi dalam Gadis Kretek. Perkara pemilihan lagu dan kesesuaian nama resmi sebuah daerah pada tahun terkait. Terkadang pilihan lagu yang ditempatkan ke dalam dua hingga tiga momen Gadis Kretek kurang memiliki kesinambungan masa. Tak seluruhnya, karena masih ada yang bisa diterima. Bagaimanapun, setiap lagu punya kecocokannya sendiri dengan rentang waktu tertentu. Ada lagu-lagu yang cocok untuk rentang waktu 1970 hingga 1980-an, atau bahkan 1990-an. Ada pula yang lebih pas bila digunakan untuk mengiringi tahun-tahun 2000-an ke atas. Bukan perkara kandungan emosi dalam lagu tersebut, melainkan soal tempo, instrumen, hingga bahasa yang digunakan. Ihwal nama resmi salah satu wilayah di Indonesia, spesifik pada tahun 1973 juga luput dari ketelitian. Ketika nama Papua masihlah Irian Jaya pada tahun itu. Beda cerita bila nama tersebut tidak tertulis dalam sebuah dokumen resmi.

Gadis Kretek mengisahkan era keemasan kretek pada masa lalu sekaligus merepons dengan baik situasi perpolitikan antarkelompok atau organisasi saat itu. Sekalipun tanpa nama, cukup lewat warna. Bagaimana kretek dibuat, monopoli pasar, hingga pengaruh rokok sebagai sponsor serta media kampanye setara selebaran poster bagi semua kalangan dalam setiap lapisan masyarakat. Perkembangan ceritanya juga lantas mengubah empati penonton terhadap sosok Soeraja –yang nyaris tak termaafkan. Hasil yang lebih kurang sepadan dengan keramaiannya di dunia maya.

PENILAIAN KAMI
Overall
85 %
Artikel SebelumnyaThe Tunnel to Summer, the Exit of Goodbyes
Artikel BerikutnyaThe Animal Kingdom
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.