The Curse of La Llorona (2019)
93 min|Horror, Mystery, Thriller|19 Apr 2019
5.3Rating: 5.3 / 10 from 59,103 usersMetascore: 41
Ignoring the eerie warning of a troubled mother suspected of child endangerment, a social worker and her own small kids are soon drawn into a frightening supernatural realm.

The Curse of the Weeping Woman (alias The Curse of La Llorona) adalah film horor supernatural yang merupakan seri keenam dari franchise horor populer, The Conjuring Universe. Film ini diproduseri sang kreator seri ini sendiri yang juga sineas kondang, James Wan. Weeping Woman disutradarai oleh debutan Michael Chaves yang kini pun, ia tengah memproduksi The Conjuring 3 (2020) yang diproduseri Wan. Sang sineas sepertinya memiliki kemampuan hebat jika ia dipercaya secara berurutan untuk mengarahkan dua film franchise populer ini.  Film ini juga dibintangi oleh Linda Cardellini serta Raymond Cruz yang ke duanya sering kita lihat membintangi serial televisi. Lantas bagaimana pencapaian film ini jika dibandingkan film-film lain dalam franchise-nya?

Kisahnya sendiri berlatar di Kota Los Angeles pada tahun 1970-an. Anna adalah seorang ibu dan pekerja sosial yang menangani hak asuh anak. Suatu ketika, ia menangani kasus lamanya, seorang ibu yang diduga telah menganiaya dua putranya. Sang ibu pun ditahan, dan dua putranya dibawa ke rumah penampungan. Tanpa diduga, peristiwa mengerikan terjadi pada dua anak tersebut, dan Anna pun mencium sesuatu yang janggal dalam kasus ini. Sementara itu, dua anaknya, Sam dan Chris mulai dihantui sesosok perempuan berbaju putih.

Plot satu keluarga dengan putra-putri mereka yang diteror sesosok setan, rasanya sudah ratusan kali disajikan dalam genrenya, termasuk seri Conjuring sendiri. Apa lagi yang mau ditawarkan selain jump scare, kucing-kucingan antara satu keluarga dan sang peneror, serta aksi pengusiran setan? Iya memang, film ini menyajikan hal yang telah jamak untuk genrenya. Banyak penonton serta fans genrenya bisa jadi jenuh dengan ini semua. Satu hal yang menjadi pembeda, jelas adalah karena film ini bagian dari Conjuring Universe. Sejauh ini, sang kreator telah membuat satu jalinan plot besar yang berhubungan satu sama lain serta selalu menggunakan formula yang berbeda dalam setiap filmnya. Sejauh ini pun (lima film), mereka berhasil, setidaknya secara komersial.

Baca Juga  The Finest Hours

Apa yang berbeda untuk kisahnya kali ini adalah budaya dan tradisi hispanik yang menjadi latar dari sosok dedemitnya. Ibarat “wewe gombel” dalam mitos Jawa, Llorona suka menculik anak dan menjadikan mereka miliknya melalui suara rintihan tangisnya yang khas. Dibandingkan semua dedemit dalam seri Conjuring lainnya, rasanya ini yang paling dekat dengan mitos dan nuansa timur yang kita punya. Satu hal yang menarik pula, untuk mengatasinya pun dengan cara dan tradisi hispanik pula. Sang dukun, Rafael (juga mantan pendeta), memiliki mantra, cairan, telur, serbuk, hingga ramuan lainnya untuk menghadapi sang setan. Ini yang menjadikan beberapa trik horornya sedikit berbeda. Ketika Sam ingin mengambil bonekanya, sedikit saja di luar batas yang telah ditandai sang dukun, seketika itu pula, nyaris semua penonton seisi bioskop yang full house, menjerit-jerit dan berteriak heboh tak karuan. Interaksi film dan penonton rasanya tak pernah sehebat ini walau adegannya sederhana sekali.

The Curse of the Weeping Woman jelas bukan hal baru bagi genrenya dan Conjuring Universe, namun kali ini bumbu mistik dan klenik nuansa hispanik menjadi sedikit pembeda. Tak dipungkiri, para pemain pun memiliki andil besar keberhasilan film ini. Rafael, sang dukun, walau wajah dan tampangnya serius, namun selera humornya tidak bisa dianggap remeh dan tidak jarang membuat seisi bioskop bergelak. Dan sang sineas, Michael Chaves, rupanya jelas memiliki keterampilan tinggi untuk mengemas adegan sederhana menjadi istimewa. Coba saja lihat, apa yang ia lakukan terhadap gagang pintu sepanjang filmnya (termasuk pintu mobil)? Bisa jadi jump scare-nya tidak baru dan mengejutkan, serta jauh dari mengerikan, namun ini cukup membuktikan talentanya hingga James Wan mempercayainya untuk memproduksi film selanjutnya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
75 %
Artikel SebelumnyaSunyi
Artikel BerikutnyaHellboy: Antara Sensor, Rating, dan Estetika
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.