Sebagian besar manusia membutuhkan kegiatan traveling (jarak dekat maupun jauh) guna melepas penat dan lelah dari rutinitas keseharian. Setidaknya, hal ini yang ingin disampaikan oleh Trinity Traveler melalui arahan Rizal Mantovani dengan penulis naskahnya, Rahabi Mandra dan Piu Syarif. Sejurus dengan film sebelumnya, Trinity, The Nekad Traveler, film ini pun dibuat berdasarkan novel yang juga ditulis oleh Trinity (bersumber pada pengalaman pribadi traveling-nya) berjudul The Naked Traveler 2. Film bergenre drama komedi ini merupakan produksi StarVision dan Tujuh Bintang Sinema, diperankan oleh Maudy Ayunda, Hamish Daud, Rachel Amanda, Anggika Bolsterli, Babe Cabita, Muhammad Farhan, serta Cut Mini Theo. Dengan catatan prestasi sang penulis sebagai penulis skenario adaptasi terbaik dua tahun lalu dalam FFI 2017 melalui Night Bus, akankah mampu menjadi jaminan dan memberi pertolongan yang signifikan terhadap film ini?
Traveling merupakan kebutuhan hidup dan kebahagiaan seorang Travel Writer, Travel Blogger, serta Travel Vlogger, Trinity (Maudy Ayunda). Setidaknya demikian, ia menganggap betapa penting persoalan travel ini baginya. Sampai pertemuannya dengan Paul (Hamish Daud) dan permintaan sang Ayah (Muhammad Farhan) membuatnya dilema untuk menentukan pilihan kebahagiaan berdasarkan banyak pandangan. Melalui waktu-waktu yang ia habiskan bersama kedua sahabatnya, Yasmin (Rachel Amanda) dan Nina (Anggika Bolsterli), seorang sepupu, Ezra (Babe Cabita), serta saran dan pertimbangan dari sang Ibu (Cut Mini Theo), Trinity terus melakukan pencarian terhadap keberadaan sumber kebahagiaan yang sesungguhnya. Tetapi terlepas dari apa pun pencarian yang dilakukan oleh Trinity, perbedaan apa yang sebenarnya ingin ditawarkan kali ini selain yang telah tersampaikan melalui film pertamanya? Adakah pesan lain yang ingin diceritakan?
Terlepas dari apapun pencarian yang dilakukan oleh sang tokoh utama, tidak ada perbedaan maupun kebaruan yang ditawarkan oleh film ini dari yang telah disampaikan melalui film pertamanya. Pesan-pesan yang ingin diceritakan masih berkutat pada satu poin yang sama, yakni kebahagiaan. Trinity Traveler hanya layaknya buku harian seorang traveler selama satu tahun. Film pertamanya pun demikian. Memang, kedua film ini merupakan adaptasi dari buku yang bahkan sampai sekarang masih meneruskan seri-seri terbarunya. Tapi bukan berarti menambah atau mengurangi konten merupakan dosa besar. Baru akan menjadi dosa besar bila memengaruhi premis, garis besar keseluruhan cerita, pesan yang ingin disampaikan, atau konteks yang ingin ditunjukkan. Tapi selama itu tidak, mengapa harus sama persis? Bahkan dari segi naratif pun, teramat tidak menggairahkan, tanpa ada yang namanya tensi dramatik.
Selain itu, 12 menit pertama film ini tayang, isinya adalah rangkuman dari film pertama. Dua belas menit adalah durasi yang terlampau lama untuk memulai sebuah film dengan rangkuman film sebelumnya. Bagi sebagian penonton yang telah tuntas menyaksikan Trinity, The Nekad Traveler, pasti jenuh bila harus melewati lagi momen-momen dari film sebelumnya selama 12 menit, meski itu hanya rangkuman.
Trinity Traveler semata-mata merupakan program dokumenter TV versi layar lebar. Eksekusinya (dari segi naratif) tak layak sama sekali. Kendati memang banyak gambar-gambar indah dari lanskap di Trinity Traveler yang tidak diragukan lagi mampu memanjakan mata, dan membikin penonton tak akan jenuh menonton film ini. Tapi kalau dari segi naratif tak punya daya tawar berbeda dan hanya menyalin cerita dari buku, sama saja hanya memvisualkan teks buku, bukan memfilmkan. Mengadaptasi sebuah buku menjadi film, bukan berarti menunjukkan visual dengan susunan dan alur penceritaan, serta tingkat emosi dan tensi dramatik yang sama persis.
StarVision selaku rumah produksi Trinity Traveler sebetulnya telah beberapa kali menelurkan sumber pundi-pundi yang bagus, bahkan berkualitas. Sebut saja Dua Garis Biru, Cek Toko Sebelah, Wedding Agreement, Pocong The Origin, serta Critical Eleven. Namun, memang tidak dapat dipungkiri pula, sebuah rumah produksi tidak bisa serta-merta menjadi tolok ukur kualitas suatu film, sebagaimanapun pencapaian baiknya tercatat melalui sejumlah film (tidak semua). Sudah begitu, tak banyak film-film hasil arahan dari sang sutradara patut dibanggakan atau setidaknya sukses pasar. Padahal terdapat nama seorang peraih piala citra FFI 2017 kategori penulis skenario adaptasi terbaik yang menggawangi penulisan naskah film ini.
Trinity Traveler adalah sebuah drama komedi tapi aspek naratifnya pun ikut-ikutan menjadi “komedi”. Trinity Traveler rasanya hanya dibuat karena muatan drama percintaan di antara Trinity dan Paul yang belum selesai di film pertama. Bahkan dengan tanpa terang-terangan memisahkan satu cerita besar menjadi dua bagian (part 1 & 2). Film ini tak punya daya jual apa pun, kecuali hanya layak dinikmati sebagai program feature TV lanskap objek-objek wisata (alam, perkotaan, dan pedesaan) semata. Tak ada nilai lebih dari aspek naratif, bahkan emosinya masih sama saja dengan film pertamanya.