Seberapa sering nasihat jangan keluyuran saat maghrib mewarnai masa kecilmu? Sidharta Tata mengemas mitos dan takhayul lokal tersebut ke dalam Waktu Maghrib. Film panjang debutnya usai menggarap omnibus, film pendek, dan beberapa series. Tak cuma sebagai sutradara, ia juga turut menulis naskahnya bersama Agasyah Karim, Khalid Kashogi, dan Bayu Kurnia Prasetya. Film horor supernatural dengan mitos lokal produksi Rapi Films dan Sky Films ini diperankan oleh Ali Fikry, Bima Sena, Nafiza Fatia Rani, Andri Mashadi, Aulia Sarah, Taskya Namya, dan Abe Baasyin. Benar. Hanya ada sedikit sekali nama yang santer kita dengar. Lalu bagaimana dengan filmnya?
Desa Jatijajar punya sejarah panjang yang cukup kelam sekaligus misterius 30 tahun silam. Peristiwa menakutkan yang kembali meneror warga desa, karena dipicu ulah Adi (Fikry) dan Saman (Sena). Terutama Saman, bocah SMP yang sangat nakal, susah diatur, kurang tanggung jawab, lalai, dan seenaknya sendiri. Saman bahkan menyeret Adi untuk tak memedulikan peringatan tidak kelayapan waktu maghrib. Sampai akhirnya mereka kena tulah dan merembet ke banyak orang. Satu persatu penduduk desa pun menjadi target sesosok hantu mengerikan. Khususnya anak-anak.
Film horor lokal muncul lagi dengan ide seputar mitos dari orang-orang tua Jawa kali ini. Meski tak kentara mendominasi gara-gara unsur pembunuhannya. Bahkan eksposisi untuk sang sosok hantu pun kurang. Sebagian besar film hanya menyajikan pembunuhan demi pembunuhan, kekesalan dan kebencian dari anak-anak, serta kerasukan. Apalah arti sang hantu kemudian, yang gagal jadi sosok ikonik dengan identitas yang kuat.
Kendati demikian, jarang sekali ada film horor lokal dengan tensi yang tidak terlalu menggebu-gebu akhir-akhir ini. Setiap segmen klimaks film-film horor supernatural selalu berupa konfrontasi “seru” antara hantu dan manusia. Namun, Waktu Maghrib tidak terang-terangan menunjukkan pertengkaran heboh. Satu sisi eksekusi semacam ini memang dapat membedakan Waktu Maghrib dengan sesama genrenya, tetapi di sisi lain justru menurunkan desakan yang kuat dan ketegangan ekstra dalam klimaks. Bahkan tokoh agama di desa tidak berbuat apa-apa, kala desanya jelas-jelas sedang tidak baik-baik saja. Waktu Maghrib seolah mengatakan, “Sang tokoh agama sudah memperingatkan untuk tidak main-main saat maghrib. Kalau masih keras kepala, tanggung sendiri akibatnya.”
Latar tempat juga lagi-lagi jadi soal. Kelemahan yang ditunjukkan pula dalam KKN di Desa Penari, Qodrat, dan Hidayah. Film-film dengan cerita berlatarkan desa, tetapi kita tak dapat merasakan suasana desanya. Bukan hanya tentang memunculkan banyak penduduk maupun rumah-rumah lawas, kayu rapuh, atau dinding reyot. Namun, posisi tiap-tiap titik krusial dalam tata letak keseluruhan cerita. Di mana lokasi makam dari masjid, letak rumah Pak Lurah dari sekolah, maupun jarak antara sungai dan batu bertuah. Termasuk posisi rumah Bu Ningsih (Taskya) dengan sekolah. Apakah sedekat itu, sehingga masuk akal untuk meninggalkan seorang murid sendirian di sekolah?
Bila mengamati rekam jejak sang sineas, tampaknya dia punya kecenderungan berkarya di seputaran horor, laga, atau thriller. Meski kebanyakan didominasi series, tiga dari empat arahannya saja di sekitar tiga genre itu. Sebut saja Tunnel, Hitam, dan Pertaruhan: the Series.
Dari dua judul terakhir pun kita bisa melihat ketepatan pemilihan para pemainnya. Olah peran mereka juga tidak mengecewakan. Walau Waktu Maghrib banyak diisi oleh pemain yang belum familier, tetapi kita sudah bisa menerima kehadiran mereka dengan baik. Boleh jadi berkat campuran bahasanya dengan Jawa, maka terasa lebih natural. Tata pun menulis skenarionya beramai-ramai dengan tiga orang lain untuk memastikan jalinan ceritanya bisa rapi dan terstruktur.
Waktu Maghrib adalah sajian horor lokal yang masih mendingan ketimbang banyak film horor lain beberapa bulan terakhir. Walau tetap punya kekurangan dalam menggambarkan situasi desanya. Meskipun Waktu Maghrib cukup mengobati kerinduan akan film horor lokal yang tidak sekadar menampilkan gemerlap adegan bertensi tinggi. Tidak cuma mempertontonkan duel si baik dan si jahat, tetapi membiarkan penonton terus-menerus merasakan dan menikmati kengerian Desa Jatijajar setiap kali memasuki waktu maghrib. Penonton tahu pasti akan terjadi sesuatu kala petang menjelang hingga memasuki malam, tetapi di mana dan siapa target eksekusinya tidak ada yang tahu.