Pasca-Mencuri Raden Saleh (2022), Angga Dwimas Sasongko kembali mengarahkan film berunsur kriminal dan tensi ketegangan tinggi dengan judul 13 Bom di Jakarta. Ia pula yang menulis skenarionya bersama Irfan Ramly. 13 Bom telah tayang perdana pada 2 Desember lalu sebagai film penutup dalam JAFF 18. Melalui kolaborasi produksi antara Visinema Pictures dengan Indodax dan Legacy Pictures, para pemainnya yaitu Putri Ayudya, Ardhito Pramono, Chicco Kurniawan, Lutesha, Rukman Rosadi, Rio Dewanto, dan Ganindra Bimo. Kita tahu bagaimana performa Mencuri Raden Saleh kemarin, lalu bagaimana dengan hasil arahan sang sineas kali ini?
Hari-hari dengan tuntutan ekonomi di Jakarta tiba-tiba dihantui sekelompok teroris. Mereka mengancam bakal meledakkan 13 bom setiap delapan jam, jika tuntutan mereka tak terpenuhi. Badan kontrateroris yang dipimpin Damaskus (Rukman) pun dengan sigap menanggapi itu. Ia percayakan penyelidikan kepada Karin (Putri) dan menurunkan Emil (Ganindra) ke lapangan untuk menangkap William (Ardhito) dan Oscar (Chicco). Dua pentolan sebuah layanan perantara transaksi uang digital (bitcoin) yang diduga berhubungan dengan para teroris. Namun, badan kontrateroris menemui kesulitan karena para teroris selalu selangkah di depan mereka.
13 Bom di Jakarta merupakan sajian laga dan kriminal kali kesekian Angga setelah Mencuri Raden Saleh, Ben & Jody (2022), dan beberapa garapan lainnya di luar Visinema. Namun, kali ini sangat mengandalkan penggunaan senjata api. Seperti kita tahu, setidaknya gaya laga dalam film-film Indonesia hari-hari ini terpisah antara pemakaian senjata api dan perkelahian adu fisik atau bela diri. Jarang keduanya bersamaan. Demikian pula 13 Bom yang tinggal dar der dor dan konfrontasi pun selesai. Seakan tak seorang pun dalam badan kontrateroris maupun pihak lawan yang belajar ilmu bela diri. Paling tidak, Emil dan Arok (Rio Dewanto) punya kemampuan bela diri yang mestinya mumpuni. Mengingat posisi Emil dan latar belakang Arok.
Menyoal plot penyerangan terhadap wilayah-wilayah musuh, artinya perlu pula membandingkan 13 Bom dengan The Raid 2 (2014). Sayangnya bila dibandingkan dengan The Raid 2 yang sama-sama ihwal jaringan bawah tanah berskala satu kota, plot penumpasan dalam 13 Bom di Jakarta masih kurang menegangkan. Tone, efek visual, dan nuansa yang tercipta juga rerata laga biasa. Pun pergerakan kamera serta editing yang lebih menyenangkan (sebagai film laga) The Raid 2. Ancaman untuk William dan Oscar juga tak sampai antara hidup dan mati. Berbeda dengan Rama dalam The Raid 2 (terlepas statusnya sebagai tokoh utama yang tentu berbekal plot armor). Namun, ancaman hidup dan mati terhadapnya tetap terasa.
Masih tentang eksekusi dalam plot penyerangan, penyergapan, penyerbuan, atau penumpasan. Cara-cara yang dilakukan Emil atau setidaknya badan kontrateroris kalah cerdas dan terstruktur ketimbang komplotan pencuri amatir dalam Mencuri Raden Saleh. Jelas sekali serangan-serangan mereka ke kandang musuh kurang terencana dengan baik. Padahal sejak awal asumsi latar belakang pihak lawan yang bukan orang biasa sudah ada. Malahan, kemampuan Karin setiap kali menyikapi segala situasi lebih cocok dengan posisinya dalam badan tersebut. Kewaspadaan, insting, firasat, ketelitian, kritis, sekaligus kemanusiaannya. Bisa-bisanya pula ada tokoh sepolos Fajar (Andri Mashadi) dalam badan kontrateroris yang notabene kaku, ketat, berdisiplin tinggi, serta menuntut kerja cepat dan tepat demi keamanan negara.
13 Bom di Jakarta memang thriller dengan kriminalitas berskala satu kota, tetapi eksekusi dan aksi-aksi terhadap pihak lawan rerata laga biasa. Jelas pula bagaimana nasib bom ke-13 bakal berujung, antara berhasil ataukah gagal. Jikapun berhasil, sesiapa saja yang bakal menggagalkannya? Bilamana gagal, apa sebetulnya bom ke-13 itu bagi pergerakan para teroris? 13 Bom boleh jadi lebih masif dengan senjata api dan aksi kejar-kejaran mobil daripada Mencuri Raden Saleh. Namun, kelompok pencuri amatir di sana justru lebih mampu merancang rencana dibanding para pentolan sebuah lembaga negara. 13 Bom pun pada akhirnya kembali lagi pada ciri khas sang sineas yang tak ingin jauh-jauh dari kemanusiaan.