Time Loop plot rupanya masih menjadi tren dan kini film produksi Jepang bertitel River menawarkan sesuatu yang amat unik. River digarap oleh Junta Yamaguchi dengan naskah yang ditulis oleh Makoto Ueda yang gemar bermain dengan dimensi waktu. River adalah kolaborasi kedua Ueda dengan Yamaguchi, setelah Beyond the Infinite Two Minutes (2020). Film komedi sci-fi ini dibintangi para pemain lokal, sebut saja Riko Fujitani, Yuki Tarigoe, Saori, Munenori Nagano, serta Shiori Kubo.

Kisahnya berlatar di sebuah losmen tua dan tenang di Kibune, Kyoto. Hari itu tampak seperti hari-hari biasanya dengan aktivitas rutin para pekerja losmen dengan beberapa tamu yang menginap. Mikoto (Fujitani) di sela-sela tugasnya sempat melamun sambil menatap sungai kecil di samping losmen. Mendadak keanehan terjadi, seluruh orang yang ada di losmen tersebut mengalami “deja vu” setiap dua menit. Mereka pun mencoba mencari tahu penyebab waktu berulang sehingga bisa lepas dari anomali tersebut. Waktu terus berulang hingga mulai memengaruhi mental mereka dan kekacauan pun tak terhindarkan.

Formula time loop dalam kisahnya terhitung segar dan ini belum terhitung twist genrenya yang menjadi kejutan besar di penghujung. Tipikalnya, hanya terdapat satu hingga dua/tiga individu (Russian Dolls, Palms Spring, A Day) yang terjebak dalam pusaran waktu, namun dalam River tercatat semua karakternya (kolektif). Faktor ini yang menyebabkan sisi humornya bisa digali maksimal karena semua tokoh mengalami kesadaran dan situasi yang sama. Misal saja, ketika mereka berniat berkumpul untuk berkoordinasi di sebuah tempat, setelah loop terjadi, mereka pun kompak bergegas ke lokasi tersebut. Ini satu hal yang belum pernah terjadi dalam film-film berformula ini sebelumnya.

Sosok protagonis utama, Mikoto, berfungsi sebagai sudut penceritaan yang ditangkap oleh penonton. Pembatasan cerita ini, plus pendekatan sinematografinya, memantik banyak kejutan sepanjang kisahnya. Satu loop berdurasi sekitar dua menit disajikan real time tanpa jeda melalui teknik long take yang didominasi follow shot yang bergerak dari ruang ke ruang dalam losmen. Ini adalah satu bentuk penyegaran baru secara teknis bagi formula ini. Alhasil, kisahnya sulit untuk diantisipasi karena apa pun bisa terjadi. Klimaksnya yang mengejutkan mengubah segala motif kisahnya yang diarahkan sejak awal. Tak ada seorang pun yang rasanya mampu menduga ini.

Baca Juga  Tokyo Shaking (Festival Sinema Prancis)

Di luar inovasi loop-nya, sayangnya sisi penceritaannya memiliki beberapa kejanggalan. Sejak awal, tampak sekali banyak karakternya seperti sudah memahami konsep time loop, seolah terlihat wajar anomali ini bisa terjadi. Bahkan satu tokoh mampu menjelaskan fenomena ini secara ilmiah dengan begitu detil. Tak ada kecemasan atau rasa panik yang sewajarnya terjadi. Oke, kita anggap saja ini pemakluman karena genre komedi. Namun, bagaimana menjelaskan latar yang berbeda tiap kali terjadi loop yang bisa berganti musim, seperti musim semi, musim panas, hingga musim salju. Mestinya jika waktu berulang di momen yang sama, latarnya pun tentu tetap sama. Tak ada penjelasan yang cukup untuk hal ini.

Sebuah eksplorasi time loop yang segar melalui percampuran genre, sinematografi, setting eksotis, dan humor, River membuktikan bahwa subgenre ini masih bisa berkembang lebih jauh. Sejak Groundhog Day, formula ini telah dikembangkan begitu liar oleh para sineasnya dengan motif dan genre yang beragam dari masa ke masa. Motivasi pengulangan menjadi poin besar bagi kisahnya dan River tidak mencoba untuk lebih bijak melainkan hanya bermain-main dengan narasi dan kenaifannya. Walau bukan yang terbaik untuk formulanya, setidaknya River mampu menaikkan genre dan subgenrenya satu level lagi.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaMerekatkan Rumpun Melayu Lewat Kebudayaan dan Cinta Tak Pernah Tepat Waktu
Artikel Berikutnya13 Bom di Jakarta – JAFF 2023
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.