A Christmas Carol (2009)
96 min|Animation, Adventure, Comedy|06 Nov 2009
6.8Rating: 6.8 / 10 from 129,953 usersMetascore: 55
An animated retelling of Charles Dickens' classic novel about a Victorian-era miser taken on a journey of self-redemption, courtesy of several mysterious Christmas apparitions.

A Chritsmas Carol adalah film animasi 3D garapan sineas kawakan, Robert Zemeckis. Sang sineas sebelumnya telah membuat film animasi bergaya sejenis yakni, Polar Express (2004) dan Beowulf (2007). Naskah filmnya diadaptasi dari novel klasik berjudul sama karya Charles Dickens. Film ini dibintangi oleh bintang komedi top, Jim Carey dengan didampingi beberapa bintang seperti, Gary Oldman, Colin Firth, serta Robin Wrigth Penn.

Ebenezer Scrooge (Carey) adalah seorang laki-laki tua kaya bujangan yang kikir, pelit, serta tidak peduli dengan sesama. Scrooge selalu mengukur segala sesuatunya dengan uang dan harta adalah hanya satu-satunya hal yang ia pikirkan di dunia ini. Asistennya yang setia, Bob Crachit (Oldman), diperlakukan semena-mena dan digaji minim, serta ia menganggap rendah, (Firth), keponakannya yang miskin. Beberapa tahun sepeninggal rekannya, Jacob Marley, di malam natal, Scrooge didatangi arwah sobatnya. Marley mengingatkan agar sobatnya agar tidak seperti dirinya yang selama ini terkungkung di dunia arwah karena terikat dengan materi. Scrooge lalu didatangi tiga roh (malaikat) yang membawanya ke masa lalu, masa sekarang, dan masa depannya untuk membuatnya sadar akan arti cinta kasih.

Entah sudah berapa kali Christmas Carol diadaptasi ke layar lebar maupun film televisi baik dalam versi animasi maupun live action. Kalau tidak salah versi animasinya untuk bioskop juga pernah diproduksi beberapa tahun silam. Penonton yang sudah hafal dengan ceritanya (pernah menonton filmnya) bisa jadi tidak menemui sesuatu yang berbeda dalam film adaptasinya kali ini. Film ini hanya memiliki kemasan yang berbeda terutama dari sisi pencapaian animasinya. Dari sisi cerita, entah karena mungkin sudah terlalu sering diadaptasi dalam medium film, kisahnya kali ini terasa lebih singkat dan pendek. Beberapa bagian cerita banyak yang masih kurang dijelaskan. Contohnya, alasan mengapa Scrooge berubah menjadi kikir tidak banyak dijelaskan dan hanya digambarkan dalam satu segmen yang sangat pendek. Bagaimana nasib Belle selanjutnya juga tidak jelas padahal masuknya karakter ini ke dalam cerita ini cukup istimewa. Separuh awal durasi filmnya juga cenderung membosankan karena tempo alur ceritanya yang sangat lambat.

Baca Juga  The Flash

Tidak diragukan, salah satu nilai lebih film ini adalah pencapaian grafisnya yang sangat-sangat mengagumkan. Gambarnya juga pasti jauh lebih baik jika ditonton dalam format 3D. Dengan gaya animasi yang sama dengan Polar Express dan Beowulf, namun Christmas Carolmemiliki ketajaman serta kualitas gambar yang jauh lebih nyata. Mata kamera kali ini bergerak jauh lebih dinamis dan agresif seperti tampak pada sekuen pembuka. Satu yang paling menawan adalah ketika penonton serasa ikut “terbang” melintasi tiap sudut kota, desa, dan hutan ketika Scrooge dibawa ke masa lalu, kini dan masa depannya. Nyaris sepanjang filmnya dikemas dalam nuansa suram, sepi, gelap, dan dingin sangat cocok dengan suasana batin Scrooge yang tidak memiliki nurani dan kasih. Hantu sobat Scrooge, Marley, yang terbelenggu rantai dan kotak harta, juga mampu divisualisasikan begitu indah dan menawan. Tercatat segmen yang paling indah sekaligus menakutkan adalah ketika Scrooge dibawa untuk melihat liang lahatnya sendiri. Christmas Carol rasanya adalah salah satu pencapaian animasi terbaik yang pernah ada dari film-film animasi sebelumnya.

Seperti film-film Jim Carey lazimnya, sang aktor selalu tampil dominan dalam filmnya. Carey tercatat juga pernah bermain dalam film bertema natal yakni The Grinch (2000). Dalam film ini, tidak tangung-tanggung Carey mengisi suara dan bermain dalam delapan tokoh/karakternya, diantaranya para roh (malaikat), Scrooge cilik, remaja, dewasa, hingga tua. Dengan gaya serta mimiknya yang khas, Carey lagi-lagi menjadi one man show dalam filmnya. Rasanya tidak ada aktor selain Carey yang mampu menampilkan karakter Scrooge demikian menyebalkan dan “menjijikan” seperti ini.

Zemeckis kali ini dengan gaya animasinya yang unik, mampu mengadaptasi kisah klasik yang sederhana dan mengimaginasikannya ke layar lebar dengan sangat istimewa. Penonton seperti sungguh-sungguh dibawa ke dalam mimpi buruk Scrooge serasa sebuah pengalaman nyata yang sangat mengerikan. Penonton masa kini bisa jadi jenuh dengan film-film yang memiliki pesan moral sederhana seperti ini, “Kebahagiaan sejati tidak bisa diukur dengan uang” tetapi mengapa tidak. Di jaman sekarang yang memang segala sesuatunya diukur dengan uang siapa tahu film ini benar-benar mampu menyadarkan kita. Kebahagiaan sejati memang tidak bisa diukur dengan uang. Siapa mau percaya? (B)

Artikel Sebelumnya2012
Artikel BerikutnyaThe Twilight Saga: New Moon
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.