Alita: Battle Angel (2019)
122 min|Action, Adventure, Sci-Fi|14 Feb 2019
7.3Rating: 7.3 / 10 from 283,734 usersMetascore: 53
A deactivated cyborg's revived, but can't remember anything of her past and goes on a quest to find out who she is.

Alita: Battle Angel merupakan film fiksi ilmiah yang diadaptasi dari film anime panjang berjudul Battle Angel (1993) yang diambil kisahnya dari seri manga berjudul Gunnm (1990) karya Yukito Kishiro. Alita digarap oleh sineas kawakan Robert Rodrigues dan diproduseri oleh sineas legendaris, James Cameron. Film ini juga dibintangi beberapa bintang senior, yakni Christoph Waltz, Jennifer Connelly, Mahershala Ali, serta Roza Salazar sebagai Alita. Dengan bujet lebih dari US$ 150 juta, apakah Alita mampu menjadi bakal franchise yang sukses komersial?

Alkisah ratusan tahun yang akan datang, bumi dilanda perang besar yang menghancurkan sebagian besar umat manusia. Pasca kehancuran, teknologi cybernetic yang sudah maju menyebabkan sebagian manusia memiliki organ mekanik. Manusia-manusia terpilih, tinggal di negeri atas awan, Zalem, sementara sisanya yang terbuang, hidup di permukaan bumi bersama puing-puing dan rerongsokan mesin. Seorang ahli mekanik Dr. Dyson Ido, tanpa sengaja menemukan sisa robot dari masa lalu di pembuangan rongsokan mesin. Ido akhirnya bisa memulihkan sang robot perempuan yang ia beri nama Alita. Di kehidupan barunya ini, Alita belakangan menyadari jika masa lalunya ternyata terhubung dengan masa kini. Petualangan seru Alita pun dimulai.

Bicara plot, inti alur kisahnya memang tak banyak berbeda dengan versi anime panjangnya. Awal kisahnya tampak menjanjikan dengan kisahnya yang mengalir sederhana dan jelas. Namun, sejak 1/3 durasi film, arah kisahnya mendadak menjadi tak karuan. Kisahnya menjadi tumpang tindih dengan banyak karakter serta intrik yang kompleks. Penonton lambat laun mulai lepas dari kisahnya. Versi anime-nya yang bertempo plot cepat tentu bisa dimaklumi, namun perlakuan terhadap versi live action-nya seharusnya berbeda. Mood karakter bisa berubah mendadak dan arah plotnya seolah lepas track dari plot awalnya. Sulit untuk bisa larut masuk ke dalam kisahnya. Segalanya menjadi terasa melelahkan dan membosankan, namun untungnya tidak untuk segmen aksinya. Perbedaan plot film ini dengan versi film anime-nya jelas terlihat hanya untuk menjual aksinya.

Baca Juga  Terminator Genisys

Satu kekuatan terbesar film ini, jelas adalah pencapaian visualnya yang sangat memesona. Pencapaian CGI yang menampilkan setting kota, kendaraan, hingga sosok robot, ditampilkan dengan sangat natural. Sejak perlombaan kecil di jalanan ketika Alita bermain motorball bersama Hugo dan rekan-rekannya, gelagat aksi yang memukau telah terlihat. Segmen pertarungan disajikan tak kalah menawannya pula. Sekuen aksi permainan motorball di stadion pada penghujung film, boleh dibilang tak ada duanya. Semua tampak begitu nyata. Betul-betul memanjakan mata kita.

Alita: Battle Angel menampilkan tontonan yang amat memukau untuk mata, namun tidak untuk kisahnya, hati, dan pikiran. Satu hal yang agak mengherankan adalah dengan bujet sebesar ini, setidaknya Alita bisa memiliki kualitas naskah yang lebih baik lagi. Ide dan konsep kisahnya memungkinkan untuk ini, bahkan bisa dieksplorasi lebih jauh melalui tema manusia dan teknologi ciptaannya. Pada segmen penutup, tampak jelas film ini bakal berlanjut dengan sekuel. Saya pikir tidak dengan kualitas cerita seperti ini. Rodrigues dan Cameron bisa dibilang gagal kali ini.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaPSP: Gaya Mahasiswa
Artikel BerikutnyaLaundry Show
Hobinya menonton film sejak kecil dan mendalami teori dan sejarah film secara otodidak setelah lulus dari studi arsitektur. Ia mulai menulis artikel dan mengulas film sejak tahun 2006. Karena pengalamannya, penulis ditarik menjadi staf pengajar di Akademi Televisi dan Film swasta di Yogyakarta untuk mengajar Sejarah Film, Pengantar Seni Film, dan Teori Film sejak tahun 2003 hingga tahun 2019. Buku film debutnya adalah Memahami Film (2008) yang memilah seni film sebagai naratif dan sinematik. Buku edisi kedua Memahami Film terbit pada tahun 2018. Buku ini menjadi referensi favorit bagi para akademisi film dan komunikasi di seluruh Indonesia. Ia juga terlibat dalam penulisan Buku Kompilasi Buletin Film Montase Vol. 1-3 serta 30 Film Indonesia Terlaris 2012-2018. Ia juga menulis Buku Film Horor: Dari Caligari ke Hereditary (2023) serta Film Horor Indonesia: Bangkit Dari Kubur (2023). Hingga kini, ia masih menulis ulasan film-film terbaru di montasefilm.com dan terlibat dalam semua produksi film di Komunitas Film Montase. Film- film pendek arahannya banyak mendapat apresiasi tinggi di banyak festival, baik lokal maupun internasional. Baru lalu, tulisannya masuk dalam shortlist (15 besar) Kritik Film Terbaik dalam Festival Film Indonesia 2022. Sejak tahun 2022 hingga kini, ia juga menjadi pengajar praktisi untuk Mata Kuliah Kritik Film dan Teori Film di Institut Seni Indonesia Yogyakarta dalam Program Praktisi Mandiri.

1 TANGGAPAN

  1. Aahh gila reviewnya. Kemungkinan penulis ga suka sama filmnya tapi belum tentu itu filmnya bener2 ga bagus. Buktinya sebelum saya nonton,bnyk sekali yg respon bilang film itu bagus.akhirnya saya penasaran.setelah nonton,ternyata benar2 bagus.kita aja nonton 9 orang .pada tegang nonton filmnya dan puas.penonton lain pun terlihat suka.filmnya seru ga bikin ngantuk.dan keren adegannya.soal cerita,saya rasa film itu memang bukan ditujukan untuk anak2 kendati gambarnya terlihat animasi

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.