Genre olahraga memang akhir-akhir ini jarang sekali muncul di layar lebar. Kali ini, film tentang satu olahraga yang berbeda dirilis. Arthur the King adalah film sport petualangan yang merupakan arahan Simon Cellan Jones. Arthur diadaptasi dari novel Arthur – The Dog Who Crossed the Jungle to Find a Home karya Mikael Lindnord yang diambil dari peristiwa nyata. Film ini dibintangi oleh Mark Wahlberg, Simu Liu, Juliet Rylance, Nathalie Emmanuel, serta Ali Suliman. Film yang berbujet hanya USD 19 juta mengambil lokasi shot on location di wilayah Republik Dominika, sekalipun lokasi kisahnya sesungguhnya berada di Ekuador.

Adventure Racing adalah olahraga tim berjumlah empat orang yang melibatkan aksi berlari, panjat tebing, bersepeda, hingga perahu kayak. Mereka harus menempuh jarak ratusan kilometer hingga berhari-hari lamanya dari satu titik lokasi ke titik lainnya hingga garis finish. Uniknya, dalam olahraga ini satu tim bisa memilih rutenya sendiri dengan mencari jalan pintas terdekat untuk menuju satu titik. Ini mengapa, panorama sepanjang aksi petualangan mereka begitu mengasyikkan untuk dinikmati.

Michael Light (Wahlberg) telah belasan tahun mengikuti adventure racing. Sekalipun ia adalah atlit yang handal dibanding lainnya, namun ia tidak pernah sekalipun menjuarai olahraga ini. Atas seijin istrinya, ia pun berniat mengikuti kejuaraan untuk terakhir kalinya. Ia mengumpulkan tim lamanya, Leo dan Chik, serta rekan baru, Olivia. Tak ada pihak yang menjagokan mereka, namun di tengah perlombaan, tim  bertemu dengan seekor anjing yang rupanya mengikuti mereka ratusan mil sejak titik terakhir. Tanpa diduga, sang anjing memberi semangat baru bagi tim untuk berjuang melawan kemustahilan.

Alur plotnya menggunakan tipikal formula olahraga yang lazim digunakan. Tidak ada kejutan berarti, selain satu momen aksi “Cliffhanger” (Stallone/1993) yang cukup menegangkan, walau entah ini didramatisir atau tidak. Satu hal pembeda adalah jenis olahraganya yang tidak kita kenal. Saya pun baru mendengar olahraga Adventure Racing setelah menonton ini. Akibat aksinya yang selalu bergerak dan berpindah lokasi, membuat kisahnya tak pernah membosankan. Kita sungguh dibawa seolah ikut bermain dalam olahraga ini, layaknya menonton liputan olahraga di televisi.

Baca Juga  Blood Red Sky

Penampilan sang anjing (Arthur) adalah poin plus filmnya. Sang anjing benar-benar mampu berakting natural mengikuti tuntutan cerita. Entah ini semua dilakukan oleh sang anjing sendiri, atau ada “stunt dog” yang ini tentu bukan masalah bagi kita. Satu hal yang pasti, sang anjing mampu membawakan perannya dengan sempurna. Arthur mampu membangun “chemistry” langka dengan Michael yang cukup untuk membuat penonton bersimpati. Tak banyak film yang memiliki pencapaian semacam ini. Penampilan Messy dalam Anatomy of a Fall memang banyak dibincangkan, namun “Arthur” bisa tampil lebih dari ini dalam banyak hal (jika memang hanya satu anjing yang bermain di sini).

Arthur the King menggunakan plot tipikal genrenya, hanya saja sifat alami olahraganya yang memiliki panorama eksotis plus penampilan memikat sang anjing menjadi pembeda tegas. Bagi penggemar olahraga outdoor dan pecinta anjing, Arthur the King adalah film sempurna buatmu. Jika kejadian sesungguhnya seperti yang ada di kisah filmnya, ini sungguh sebuah drama yang sangat menyentuh dan menginspirasi. Baik melalui perspektif sang protagonis maupun Arthur. “Every dog has its day

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaKukejar Mimpi
Artikel BerikutnyaRoad House
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.