Perlu diakui, bahwa sinema Turkey telah berhasil melahirkan nama-nama besar, seperti Yilmaz Guney dan Nuri Bilge Ceylan. Keduanya, berada pada tingkatan yang lebih atas ketimbang kawan-kawan angkatannya di dunia perfilman Turkey. Yilmaz Guney dengan segala pemberontakannya, dan analisanya memahami wajah Turkey pada masa-masa kudeta tahun 1980-an. Lalu Nuri Bilge Ceylan, datang dengan menempuh rel yang berlawanan dari geliat perfilman Turkey pada awal dekade 2000-an. Keduanya memiliki kesamaan—sama-sama melepaskan topeng negaranya sendiri—yang ketika itu kiblat budaya-budaya eurosentris mengakar lebar di dalamnya—dan turut menyerang gelagat perfilman.
Tapi Yilmaz sudah tiada lama, dan Nuri memasuki masa tuanya. Kebudayaan, lokalitas, kejujuran situasi, dan gaya sinematik yang khas dari Turkey dalam penglihatan saya, menjadi sulit ditemukan dalam film-film negara tersebut belakangan ini. Malah mayoritas film maupun series-nya tak pernah absen dari sifat-sifat modern eropa. Walau jujur, itu masih berada di kawasan menghibur. Tapi sinema Turkey menurut saya bisa lebih dari itu semua. Hilangnya jejak-jejak kedua sutradara itu membuat saya mengambil pendapat bahwa perfilman Turkey seperti kehilangan gairahnya—sedang lemas tak berdaya. Tetapi itu sepertinya pendapat yang tidak benar, dugaan yang meleset—ketika Berkun Oya melalui Cici, film terbarunya, membuat saya benar-benar terpana—dan lagi-lagi menemukan Turkey dalam perfilman Turkey.
Berkun Oya pernah singgah ke mata saya lewat series Ethos-nya. Tetapi itu secara berita, dan kilasan mata. Tahun ini lewat film terbarunya yang berjudul Cici, saya secara pribadi menemukan perfilman Turkey ternyata tidak menyodorkan nihilisme. Cici, diperankan oleh beberapa aktor yang malang melintang di dimensi series Turkey, seperti Okan Yalabik dan Olgun Simsek. Aktor dan aktris lawan seperti Nur Surer, Yilmaz Erdogan, dan Ayca Bingol. Beberapa pemeran juga tercatat aktif sebagai kolaborator dari film-film Berkun, seperti Funda Eyrigit dan Fatih Artman. Premis dalam film ini, sebenarnya telah lazim diangkat dalam fillm-film drama keluarga. Tapi yang menjadikan Cici istimewa adalah terletak pada gaya penceritaannya—yang dewasa ini tak melongokkan diri.
Kehidupan keluarga nampak manis, dikelilingi perbukitan, tanah yang luas, pohon-pohon rindang, dan udara terasa segar dihirup setiap pagi muncul. Tetapi seperti ada masalah kecil di dalamnya. Penghuni rumah yang berada di antara perbukitan dan pohon-pohon rindang tersebut, tidaklah seharmonis lingkungan di luar rumah. Bekkir, ayah dari Saliha, Kadir, dan Yusuf—juga suami dari Havva, memiliki sikap yang temperamental terhadap keluarganya, terkhusus kepada Kadir. Bekkir memegang kendali keluarganya dengan begitu ketat. Ia menjunjung tinggi kedisiplinan dan kepatuhan bagi anak-anaknya. Bercanda adalah suatu hal yang mempermalukan bagi pandangannya. Seperti Kadir yang menyemprot Cemil dalam maksud berguyon—Bekkir berang melihat itu, lalu memperlakukan Kadir dengan perlakuan yang sama sambil merekamnya.
Namun cerita tak cuman berputar pada sosok Bekkir yang seperti menjunjung tinggi patriarkat. Semua karakter mendapatkan posisi yang proporsional dalam segmen pengantar ini. Saliha yang diam-diam jatuh cinta dengan saudara angkatnya, Cemil. Kadir yang berminat pada bidang film. Yusuf si kecil yang disayang. Lalu Havva yang bersikap resisten dari keagresifan Bekkir terhadap ketiga anaknya. Havva, walau begitu masih setia dan hormat pada suaminya—mencerminkan sosok istri yang tak luput pada kewajibannya. Tetapi, pada segmen pengantar, Bekkir meninggal—ia tak sempat melihat cucu-cucunya, ia tak sempat menengok Yusuf belajar mengendarai mobil. Meninggalnya Bekkir/ayah/suami, membuat mereka yang tersisa pergi ke Ankara, meninggalkan desa—mencari peluang hidup yang baru, kecuali Cemil. Setelah tahun-tahun menutup pintu dan tahun lain membukanya, mereka berkumpul kembali di rumah yang sama, orang yang sama, tapi tentu ada keadaan dan tantangan yang harus mereka lawan, harus mereka lewatkan.
Cici hadir dengan dinamika yang lambat dan lembut layaknya film sang kakak, yakni Winter Sleep—juga datang dengan keberanian baru layaknya sang kakek, yakni Yol. Berkun Oya secara terang-terangan banyak mengais formula Nuri dan langkah soliter Yilmaz dalam filmnya. Tak hanya perihal intensitas—atau dialog yang minim. Berkun, memobilisasi zoom—dengan gaya Nuri yang berkarakter. Bagaimana keheningan dan sisa gelegar daun pada angin, mendengung kala objek-subjek membesar atau mengecil—itu hadir secara repetitif dalam Cici. Lewat Cici, Berkun juga melepas keterkungkungannya dari jerat film-film Turkey yang eurosentris. Sebagaimana Yilmaz, yang tetap saja berupaya menyalurkan ide kendati terpaku di balik jeruji besi.
Cici merupakan film yang kurang mempunyai aspek hiburan, tapi ia memastikan diri sebagai film yang baik, atau film yang lebih daripada baik. Kekuatan film ini tak hanya bertumpu pada kausalitas narasi yang tepat dan padat, melainkan juga pada totalitasnya menggambarkan suatu latar atau masa. Totalitas yang saya maksud bukan merekonstruksi segala yang ada dan menjadikannya baru. Tapi totalitas dalam menemukan cara memanipulasi latar—ruang—dan waktu. Tahun yang terikat pada Kadir kecil atau Bekkir hidup begitu jelas kekontrasannya dengan tahun di mana keduanya tidak lagi bersama. Dalam Cici, meski jalan cerita masih pada rumah yang sama, pohon yang sama, halaman yang sama—tapi dengan ketelitian merumuskan apa-apa saja yang perlu dijadikan sebagai pembeda, membuat kita mudah menyadari (tanpa mengikutsertakan pergantian pemeran). Sederhana, memang, namun anasir-anasir tersebut sering dilupakan oleh banyak sineas, salah satunya Indonesia.
Terdapat kisi-kisi potret masa mendatang dalam film ini—yang sepertinya menjadi semacam legitimasi bahwasanya Berkun tak melulu terikat dari Nuri dan Yilmaz. Namun itupun lagi-lagi mempunyai kesamaan gaya dengan Aftersun garapan Charlotte Wells. Gambar per gambar bertautan dalam transisi cut—disajikan kurang dari 5 detik (lebih lumayan lama ketimbang Aftersun). Sama, yang membedakan hanya durasi yang ditampilkan dari mereka masing-masing. Dan, oh, ada satu pembeda lagi. Bila Wells menidihkan gambar-gambar secara heterogen—Berkun menidihkannya secara graphic match. Karena itu, terkandung estetika yang berkesan dari tampilan tersebut.
Hal-hal di atas, yang barangkali kebetulan sama atau ada kesengajaan, bagi saya bukanlah kelemahan dalam Cici. Artinya Berkun belajar, karena film adalah produk interteks (meminjam istilah sastra), ia mustahil lepas, atau melepaskan ikatannya dari karya-karya film terdahulu. Selebihnya, Cici, adalah film yang baik secara narasi dan baik secara visual. Banyak material benda-benda digunakan Berkun sebagai penunjang motivasi penceritaan. Lalu perspektif ketiga karakter dalam memandang masa lalu, diinformasikan dengan selesai. Saliha dengan gairah cinta mudanya kepada Cemil. Kadir dengan perlakuan ayahnya yang menghantuinya. Yusuf dengan trauma kematian sang ayah. Keseluruhan tersebut seperti menjadi tali yang mengerat cerita begitu padat. Walau ada sedikit kejanggalan pada karakter Cemil yang posisinya kadang ekskluif, kadang inklusif. Tetapi Cici, lewat kejelian Berkun Oya, nyaris sempurna di segala lini.