Tema alam bawah sadar dan kontrol pikiran masih menjadi sesuatu yang menarik untuk dieksplor medium film. Beragam film telah mengeksplorasi tema ini dengan pencapaian yang istimewa, sebut saja Dark City, The Matrix, Inception, hingga WandaVision. Dengan konsep sama, Don’t Worry Darling menyajikannya kisahnya dengan premis yang berbeda. Film ini diarahkan oleh sutradara dan juga aktris, Olivia Wilde dengan dibintangi Florence Pugh, Harry Styles, Chris Pine, Gemma Chan, serta sang sineas sendiri. Lantas, bagaimana eksekusi kisahnya?

“Think About Your Life And What You Actually Want.”

Alice (Pugh) hidup bahagia bersama sang suami, Jack ( Styles) di satu kawasan mewah di tengah gurun wilayah California. Jack berkantor tak jauh dari rumahnya, sebuah perusahaan teknologi bernama Victory yang dipimpin oleh Frank (Pine). Di tengah rutinitasnya, Alice terganggu oleh ilusi-ilusi yang tak mampu ia kontrol. Hal ini semakin menjadi setelah seorang tetangganya tewas, dan ia pun mulai berontak mempertanyakan eksistensinya. Alice suatu ketika pergi ke sebuah tempat terlarang yang tanpa disadarinya memberi petunjuk tentang kebenaran yang sesungguhnya.

Dengan alur plot babak ke satu yang memikat, kisahnya berjalan menarik dan mampu mengusik rasa penonton dengan sisi misterinya. Plot semacam ini tak jauh dari tema film-film yang disebut di atas, yakni sebuah dunia ilusi dengan kebahagian semu yang dikontrol satu kekuatan yang mengekang kebebasan berkehendak dan berpikir. Pelakunya adalah satu ras alien, komputer atau mesin, hingga kekuatan sihir. Hanya kali ini, premisnya berbeda yang bergeser ke isu perempuan, atau lebih tepatnyanya dominasi kaum pria. Agak tendensius dan memojokkan kaum pria? Boleh dibilang ya. Entah ini kebetulan atau tidak, para kliennya dikisahkan adalah para pria yang sebenarnya bisa pula digunakan oleh perempuan. Bisa jadi ini adalah pilihan penulis naskah dan sineasnya yang kebetulan perempuan.

Baca Juga  Spectre

Rasanya lelah jika ini melulu dibahas yang justru malah mengalihkan dari kekuatan sisi misteri dan intensitas dramatiknya yang dikemas sangat baik. Sang bintang, Florence Pugh, uniknya, bermain dalam tarik ulur ambang batas kewarasan yang sama seperti perannya dalam Midsommar. Lagi-lagi Pugh bermain sangat baik, walau jauh dari penampilan sebelumnya. Aktris bintang besar lainnya, Gemma Chan, yang bermain sebagai istri Frank, mestinya mendapat porsi lebih besar, tidak hanya sekadar kejutan kecil di penghujung. Secara estetik, terlepas dari setting dan musik lawasnya, film ini mampu dikemas baik dengan selipan-selipan surealnya yang memikat dan bernuansa horor.

Don’t Worry Darling bermain dengan konsep alam bawah sadar dan kontrol yang dikemas memikat, walau idenya telah banyak dieksplorasi film-film bertema sama yang jauh lebih superior. Lantas, apakah kontrol pria terhadap perempuan masih menjadi isu besar di masa sekarang? Bagi saya, dua-duanya sama, dan tanpa tendensi ke gender tertentu, film ini memiliki pencapaian yang sangat baik. Walau bukan lagi hal baru, namun eksplorasi kisahnya patut mendapat apresiasi lebih. Toh, poin kisahnya semua sama, bahwa pikiran manusia (man or women) sejatinya tidak akan mungkin dikekang oleh siapapun jika mereka menghendaki. Selamat menonton!

 

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
80 %
Artikel SebelumnyaThe Stranger
Artikel BerikutnyaPerfect Strangers
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.