Dream Scenario adalah film drama fantasi arahan sineas Norwegia, Kristoffer Borgli yang juga menulis naskahnya. Film ini diproduseri salah satunya oleh sineas bertalenta Ari Aster serta aktor kawakan Nicolas Cage yang juga bermain di sini. Selain Cage, film ini dibintangi oleh Julianne Nicholson, Michael Cera, Tim Meadows, Dylan Gelula serta Dylan Baker. Film unik ini banyak dipuji para pengamat dan meraih satu penghargaan Golden Globe Award, Best Actor – Motion Picture Musical or Comedy untuk Nicolas Cage. Lantas sebagus apa filmnya?
Dikisahkan Paul Matthewss (Cage) adalah seorang profesor biologi di sebuah kampus yang mendadak mengalami fenomena tak biasa, yakni banyak orang mendapati Paul berada di mimpi mereka. Ia muncul dalam mimpi sang putri, rekan kerja, hingga para siswa serta ratusan orang lainnya. Bahkan ini rupanya tidak hanya terjadi di kotanya, namun juga di seluruh dunia. Paul mendadak menjadi sorotan utama publik. Hidup Paul pun berubah dalam semalam. Tidak hingga mimpi buruk menimpanya dan jutaan orang lainnya.
Naskah Dream Scenario begitu liar dan orisinal dengan premis yang menggelitik. Bermain-main dengan alam bawah sadar atau “mimpi” memang satu hal yang menggairahkan, seperti pula kita lihat dalam film-film seperti seri horor Nightmare on Elm Street, The Cell (2000) hingga Inception (2010). Naskah Dream Scenario banyak mengingatkan pada film fantasi unik, Being John Malkovich (1999), di mana seseorang masuk ke dalam alam pikiran sang aktor. Dream Scenario melakukannya lebih dari semua yang pernah ada karena korbannya bersifat kolektif bukan individu. Lalu mengapa dan bagaimana itu bisa terjadi? Di luar ekspektasi, plotnya tidak banyak mengulik tentang ini secara ilmiah melainkan justru fokus pada perubahan sisi psikologis sang tokoh utama.
Naskah absurd ini sangat efektif melakukan observasi terhadap satu orang karakter yang menjadi sorotan tanpa punya kuasa dan kontrol atas hal itu. Paul adalah sang bintang utama sekaligus korban. Dia tidak melakukan apa pun secara fisik kepada para korbannya, namun secara mental. Ini yang menjadi kunci. Persepsi atas seseorang bisa berubah ketika “image”-nya turut berubah. Ini yang brilian. Entah ini dimaksudkan sebagai metafora media sosial yang membentuk pencitraan terhadap seseorang, atau ini hanyalah fenomena psikologis yang ilmiah, rasanya sulit untuk diulas secara ringkas. Satu hal yang pasti, eksekusi sikap sang tokoh untuk berdamai dengan anomali ini terasa kurang menggigit. Pergeseran genre ke ranah sci-fi juga terasa sedikit janggal dan melompat jauh. Saya tidak mengharap solusi “ideal”, namun setidaknya bisa menggelitik tanpa berurusan dengan etika dan moral.
Nicolas Cage adalah salah satu bintang yang saya ikuti sejak awal karirnya. Ia adalah seorang multi talenta yang bisa bermain dalam film bergenre apa pun, dari komedi, aksi, petualangan, drama, fantasi, horor, hingga superhero. Leaving Las Vegas dan Adaptation adalah salah satu film-film terbaik yang pernah ia perankan. Olah aktingnya dalam Dream Scenario memang sangat baik, namun bukanlah yang terbaik. Jujur saja, saya lebih terkesan perannya dalam Pig dan Willy’s Wonderland yang rilis tahun lalu, ketimbang ini. Dalam Dream Scenario, ia bermain seperti dalam perannya kebanyakan, tak ada yang istimewa selain naskahnya yang brilian.
Naskah yang unik dan segar, sayangnya Dream Scenario terjebak dalam substansi subteks yang kurang mengigit eksekusinya. Sebenarnya apa yang ingin dituju cerita filmnya? Semua orang pasti memiliki opini dan Dream Scenario bukanlah studi kasus yang mudah. Dengan naskah yang demikian liar dan absurd tentunya saya berharap sesuatu yang absurd pula pada solusinya. Dari semua peristiwa di luar nalar yang dialami Paul, tidakkah semesta memberikan keseimbangan yang sepatutnya untuknya? Hmm.. bisa jadi semesta tidak seperti yang kita pikir selain hanya ketakutan dalam diri kita semata yang sebenarnya tidak pernah eksis. Entahlah.