Satu lagi eksplorasi ruang terbatas digunakan dalam aksi thriller dengan premis berbeda. Fear the Night adalah film thriller arahan dan ditulis Neil Labute. Film ini dibintangi Maggie Q, Kat Foster, Travis Hammer, and Gia Crovatin. Film rilisan berdurasi 92 menit ini dirilis platform Prime Video. Mampukah film ini bersaing dengan film-film sejenis yang lebih baik?

Sekelompok perempuan muda, diantaranya Tess (Q) mantan militer, mengadakan pesta lajang di wilayah gurun terisolir di California. Rumah tersebut adalah milik orang tua Tess, serta dua adiknya yang juga ikut dalam pesta tersebut. Tanpa alasan yang jelas, sekelompok laki-laki bertopeng mendadak menyerang rumah tersebut hingga dua orang terbunuh. Mereka pun menutup semua akses ke dalam rumah dan mencari apa pun untuk melindungi diri. Semua bertumpu pada Tess, satu-satunya orang yang memiliki pengalaman bertahan hidup serta kemampuan untuk membela bela dirinya.

Walau premisnya punya potensi menarik, namun eksekusi adegannya bisa jadi yang terburuk dalam sejarah genrenya. Naskahnya tidak mampu membangun intensitas ketegangan yang diharapkan karena pembuat film tidak mampu mengolah aksi-aksinya dengan baik. Naskah yang ditulis sendiri oleh sang sineas pun tidak memiliki motif yang tegas dan jelas dengan lobang plot yang menganga di mana-mana. Nalar (logika sederhana) ditendang jauh-jauh tanpa mencoba untuk menuturkan kisahnya secara solid.

Rumah tersebut diserang dengan hebatnya hingga dua orang seketika tewas tertembus anak panah. Saya tegaskan, dua orang terbunuh! Alih-alih masuk paksa ke dalam rumah dan membunuh semua orang (mereka tidak bersenjata dan semuanya perempuan), mereka justru menunggu beberapa lama (hingga berjam-jam) serta malah bernegosiasi dengan mereka. Kok aneh, untuk apa mereka melakukan ini? Orang bodoh macam apa yang melakukan aksi sekonyol ini. Ending-nya pun ternyata masih melewati semua kekonyolan yang ada sebelumnya. Naskahnya memang luar biasa ambyar.

Baca Juga  Wonder Park

Satu lagi adalah informasi waktu (jam) yang muncul sepanjang filmnya (hampir tiap menit). Informasi ini biasanya digunakan (misal 22:10) karena memang ada sesuatu yang penting berhubungan dengan waktu/deadline dalam plotnya. Sama sekali tidak. Ini hanya adegan berselang 2-3 menit, informasi waktu pun muncul. Ini sungguh menggelikan. Terlihat sekali, pembuat film sangat awam dengan teknik ini (seolah baru belajar produksi film).

Fear the Night menyia-nyiakan kemampuan sebagian kastingnya dengan naskah thriller yang benar-benar buruk. Sungguh tidak bisa dipahami bagaimana mungkin naskah seburuk ini bisa lolos untuk diproduksi. Yah, mungkin ini bagian dari bentuk keseimbangan seni (medium) film setelah dalam satu minggu kemaren, film-film berkualitas tinggi diproduksi dan dirilis dalam waktu nyaris bersamaan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Artikel SebelumnyaJericho Ridge
Artikel BerikutnyaSabtu Bersama Bapak
His hobby has been watching films since childhood, and he studied film theory and history autodidactically after graduating from architectural studies. He started writing articles and reviewing films in 2006. Due to his experience, the author was drawn to become a teaching staff at the private Television and Film Academy in Yogyakarta, where he taught Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory from 2003 to 2019. His debut film book, "Understanding Film," was published in 2008, which divides film art into narrative and cinematic elements. The second edition of the book, "Understanding Film," was published in 2018. This book has become a favorite reference for film and communication academics throughout Indonesia. He was also involved in writing the Montase Film Bulletin Compilation Book Vol. 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Additionally, he authored the "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). Until now, he continues to write reviews of the latest films at montasefilm.com and is actively involved in all film productions at the Montase Film Community. His short films have received high appreciation at many festivals, both local and international. Recently, his writing was included in the shortlist (top 15) of Best Film Criticism at the 2022 Indonesian Film Festival. From 2022 until now, he has also been a practitioner-lecturer for the Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts in the Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.