Pada tahun 2011 lalu sempat ada film Thailand berjudul sama, film ini diapresiasi oleh banyak pengamat. Saya menonton film itu, namun saya sudah lupa. Lagipula, bukan film Headshot dari Thailand itu yang ingin saya bahas. Ini Headshot besutan Mo Bothers yang dibintangi oleh Iko Uwais, Chelsea Islan, Sunny Pang dll

Saya memilih menyebut ini film yang menggemaskan bukan tanpa alasan, dikarenakan sejak awal menonton film ini saya dihadapkan pada kontradiksi antara hal-hal yang saya suka dalam sebuah film seperti pewarnaan dan lighting yang menarik dengan sesekali dark ala-ala neo noir, pengambilan gambar dan editan yang asik dan lain sebagainya, namun disatu sisi juga sejak menit-menit awal sudah muncul banyak detil-detil yang mengganggu. Jadi ya, gemes.

Pada adegan pembuka kita disuguhkan gambar yang kelam, setting sebuah penjara. Adegan ini cukup efektif untuk menggambarkan tokoh Mr Lee (diperankan oleh Sunny Pang) sebagai tokoh antagonis berdarah dingin, kejam, faham bela diri dan seorang konspirator ulung. Artinya dia akan digambarkan seterusnya sebagai tokoh penjahat ber-otak. Asik nih pikir saya. Ciprat dan muncratan darah juga ditampilkan untuk mempersiapkan mental penonton pada kelanjutan adegan.

Dan kemudian  adegan berganti, dan datanglah detil-detil yang akhirnya membuat saya merasa perlu menulis ulasan ini.

Setting kemudian adalah desa atau kota kecil pinggir laut. Digambarkan tokoh utama, Ishmael yang nanti kita ketahui tanpa terkejut amat bahwa nama sebenarnya adalah Abdi (diperankan Iko Uwais), ditemukan oleh seorang nelayan di tepi pantai.

Catat ini, desa+nelayan = itu desa nelayan. Tapi sang nelayan digambarkan  hidup sendiri. Disini saya harus bersikap sok pintar untuk menyarankan para orang dibalik layar, agar benar-benar membekali diri dengan observasi sosiologis dan antropologis. Dimana mengganggunya?

Begini, sistem pedesaan di negri kita baik yang basic pertanian maupun kelautan adalah desa yang selalu melahirkan sistem tata nilai yang komunal. Bagaimana sistem itu lahir, berkembang, dan bertahan sebenarnya pernah saya tuliskan tapi bukan untuk tulisan ini, dan tidak akan saya bahas lebih jauh. Intinya, dengan budaya komunal yang erat, refleks pertama seorang nelayan di negri ini apabila mendapati sesuatu yang tidak ladzim di wilayah sekitar pantainya adalah; memanggil warga sekitar dan itu tidak tampak. Disitu saja, film ini sudah mulai telihat lemah dari sisi sosiologi-antropologi.

Tapi saya mengkategorikan itu sebagai kekeliruan yang layak dimaafkan, karena bisa saja hanya untuk efektifitas adegan, atau kan bisa saja saya yang kurang faham itu nelayan jenis seperti apa koq bisa bekerja sendiri (penggambaran sang nelayan sendirian masih diulang ketika Iko dan Chelsea ngobrol di tepi pantai lho), dan satu ornamen sangat mengganggu saya pada rumah panggung sang nelayan yakni pelampung ala sea guard yang lazim tampak pada sistem penyelamatan modern, atau ya yang sering kita lihat di serial Baywatch. Karena nelayan kita tidak mengandalkan peralatan semacam itu untuk tindakan keamanan, sekali lagi hal utama dalam pedesaan kita adalah tata nilai komunalnya. Mungkin, itu benda yang didapat saat melaut? Mungkin, sangat mungkin, tapi penempatan benda pada ruang, dalam masyarakat kita tidak serapih itu (dipajang di depan rumah menunjukkan kesigapan) karena kita benar-benar bukan tipikal bangsa pemuja kerapihan dan ketertataaan; Appolonian.

Ah, baru membahas disitu saja tulisan ini jadi kepanjangan. Sekali lagi saya katakan, hal yang diatas ini masihlah hal-hal yang bisa dimaafkan secara logika, dia hanya meleset secara nuansa. Selanjutnya mungkin akan lebih singkat-singkat saja.

Kemudian, mbak dokter Ailin hadir dalam gambar. Pertama naik sepeda,  masuk ke rumah sakit tempat dia bertugas, mengenakan seragam dokter, mempesona dan… Menoleh tanpa alasan sambil tersenyum.

Untuk selera mata pria seperti saya yang besar dalam budaya patriarkhi, itu gambar yang menyenangkan, karena itu menampilkan wajah Chelsea Islan yang sedang manis-manisnya.  Saya jadi hampir bikin puisi cuma karena lihat gambar itu, sampai akal sehat saya aktif kembali dan menyadari satu hal; ini adegan mubazir, dalam agama saya tuhan tidak suka hal yang mubazir walaupun sesungguhnya Chelsea Islan adalah manifestasi ujud keindahan-Nya, yang bisa membuat seorang atheis jadi murtad dari ke-atheisannya. Aduh, saya jadi ngelantur karena wajah neng Chelsea Islan, maaf.

Kita sudahi pembahasan tasawwuf ala Ibn Arabi mengenai penampakan tuhan dalam paras Chelsea Islan, mari kita kembali ke detil.

Detil setting, rumah sakit itu pun terlalu mewah untuk ukuran sebuah rumah sakit desa atau kota kecil. Baiklah, seni memang punya dua fungsi, satu untuk menggambarkan realitas, dan kedua untuk menggambarkan idea yang dituju. Maka, apakah setting rumah sakit yang terlalu mewah itu adalah harapan filmmaker bahwa satu saat nanti rumah sakit di pedesaan indonesia bisa sebagus itu? Entah, yang pasti untuk ukuran zaman sekarang itu tidak realistis. Pun, tidak ada basa-basi dan obrolan khas ndeso yang menggambarkan itu didesa.

Tidak semua detil saya kritik, ada yang justru jadi bahan pujian saya. Misal, setelah kegagalan dalam menggambarkan nuansa desa tadi, film ini malah berhasil menancapkan pesan ke penonton bahwa dia berada pada negri bernama indonesia justru pada adegan-adegan kecil seperti misalnya, umm…. Apa ya? Bendera merah putih di meja polisi? Ya itu juga, tapi masih ada yang lebih kuat. Nah itu, adegan angkot yang berhenti sembarangan sampai mengganggu penjahat yang sedang mengintai duet tokoh utama kita. Siapapun yang memiliki ide awal untuk membuat adegan ini saya harus acungkan pujian karena telah sempat membuat saya mencicipi rasanya menjadi nasionalis selama beberapa detik dalam hidup saya.

Kita melenting sedikit pada pembahasan mengenai para tokoh didalam film ini.

Rata-rata kualitas akting para pemain dalam film ini bisa dibilang tidak buruk-buruk amat., atau mungkin karena ada beberapa pemaafan. Chelsea Islan, kualitas aktingnya yah segitulah, namun tetap sebagai pria sejati harus saya maafkan karena kecantikannya. Iko Uwais sendiri sebagai tokoh utama bisa dibilang lebih kepada koreografer dan atlet silat yang keren daripada seorang aktor, namun bisa dimaafkan karena otot dadanya yang jadi bagus di film ini (emot histeris!). Sebentar, sebelum para pembaca yang budiman mengira saya adalah bagian dari kaum pendukung isu empat huruf, saya harus jelaskan ini.

Saya memiliki kriteria yang saya namakan ‘kekar dunia persilatan’ itu dibentuk karena pengalaman masa kecil yang akrab dengan tontonan aktor-aktor film silat macam Ratno Timur, Diky Zulkarnain, Fendy Pradana dan lainnya tidak termasuk Barry Prima, yang terakhir ini saya kategorikan sebagai efek dari trend ‘Hollywood steroid’ saja.

Saya memilih menyebut ‘Kekar dunia persilatan’ karena postur tubuh mereka memang tipikal khas yang sangat menggambarkan karakter bangsa pemakan nasi. Artinya, ada bentuk otot yang menggambarkan kekuatan tapi garis definisi antar otot tidak begitu tegas, terutama tidak terlalu menonjolkan bentuk perut six-pack. Bila disingkat begini; kekar tapi basah, baca kata ‘basah’nya biasa saja, ndak usah sambil mendesah.

Ada satu scene dalam film Headshot ini yang menampakkan tubuh Iko Uwais dan menurut saya, bentuk itu sudah sangat memenuhi kriteria ‘kekar dunia persilatan’ versi saya, saya harap dia tidak tergoda untuk menumbuhkan ototnya lebih besar dan kering, karena sungguh disitu masih ada identitas silat. Pertahankan otot dadamu bung Iko Uwais, aduh saya merasa aneh mengatakan hal ini. Percayalah, saya lelaki normal.

Cukup tentang kualitas otot Iko Uwais, nah walau saya katakan tadi kualitas aktingnya tidak begitu buruk. Namun ketika dia harus beradu akting dengan Sunny Pang, akting Iko Uwais jelas tenggelam, terbenam sedalam-dalamnya.

Sunny Pang, aktor yang baru saya dengar namanya dari film ini harus saya acungkan jempol untuk kualitas permainannya; setiap line dialog, bahkan yang paling singkat sekalipun terasa bernyawa ketika diucapkannya, gerak tubuhnya tertata dengan baik, mimik dan ekspresinya efektif mengirim pesan pada penonton. Saya harap Sunny Pang tidak usah main film indonesia lagi, supaya kualitas aktingnya tidak merosot.

Kualitas akting para tokoh utama ini bahkan masih kalah bila dibandingkan dengan beberapa tokoh pendukung seperti polisi yang menginterogasi Ishmael (diperankan oleh Rifnu Winkara), Besi (diperankan oleh Very Tri Yulisman, adegan tokoh Besi akan saya bahas sendiri nanti). Kalau bapak tukang ojek yang berlogat Sulawesi itu saya belum bisa menilainya karena cuma muncul sebentar dan langsung mati pada sebuah adegan yang paling saya benci dari banyak film action yaitu; penjahat mau bunuh tokoh utama, basa-basi, lama bertele-tele kemudian penjahat harus sial karena ada bantuan datang yang menyelamatkan nyawa tokoh utama karena dia…  Tokoh utama! Dan penjahat harus mati, karena dia… Penjahat?

Ini formula paling menyebalkan menurut saya, dan dalam film ini diperparah dengan tokoh yang membantu tokoh utama harus dimatikan, dan bila itu dimaksudkan agar ada momen drama yang membangkitkan kemarahan dan kesedihan Ishmael, juga tidak sampai. Tidak mengena.

Formula film action yang anoying seperti itu terulang banyak sekali dalam film ini, mengingat padatnya adegan gelut dan tembak-tembakan, bahkan banyak adegan tembak-tembakan yang tidak perlu.

Ingat kembali adegan ketika para penjahat menghadang bus dimana Dr Ailin menumpang menuju Jakarta.

Para penjahat langsung masuk ke bis setelah sebelumnya membunuh pak sopir yang nahas, kemudian tanpa tedeng aling-aling memberondong seluruh penumpang bis dengan senapan semi otomatis. Semua penumpang mati, kecuali Dr Ailin karena dia… Cantik? Dan seorang anak perempuan karena dia… oh ya karena si anak kecil ini pada saatnya nanti, ketika film mendekati klimaks, dimana tensi memuncak sebab tokoh utama kita sudah akan menerobos ke markas para penjahat, ada seorang penjahat jenius yang refleks pertamanya bukannya ikut mengamankan markas tapi justru malah ingin memperkosa Dr Ailin yang membuat kita bertanya “lha kalau situ emang jahat, kenapa gak dari tadi?”, terus dengan kejeniusannya pula ketika terjadi adegan gelut gemelut, dia mengucapkan dialog yang memperkuat posisinya sebagai penjahat jenius “Gua bunuh lu berdua!” justru ketika Dr Ailin sudah menggenggam senapan semi otomatis, dan menarik pelatuknya.

Klik!

Oh tak ada yang terjadi, nah inilah fungsi si anak perempuan tadi harus ikut selamat dari berondongan senjata di bus. Si anak perempuan itu, tiba-tiba entah dapat pencerahan dari mana langsung membuka tombol pengaman senapan yang dipegang oleh Ailin, kemudian dor… dorr… dorrr….. Penjahat jenius mati, karena dia.. yah, penjahat kan? Darimana si tokoh anak perempuan tahu cara membuka tombol pengaman senapan? Nah saya rasa itu pertanyaan terbesar kita pada zaman ini.

Adegan seperti ini banyak, banyak sekali. Padahal dengan beberapa kelebihan dibidang tekhnis lainnya film ini berpotensi jadi film layak tonton. Hal-hal macam ini yang saya katakan membuat saya gemes setengah mampus.

Bayangkan ada adegan dimana tokoh utama diberondong peluru senapan otomatis dari jarak dekat, dan tidak kena. Itu kan hanya bisa terjadi hanya karena dua alasan, penjahatnya benar-benar tidak tahu cara menembak atau si tokoh utama punya jampi-jampi sakti. Atau alasan lain, karena dia tokoh utama?

Baca Juga  Hari Film Nasional: Sebuah Refleksi

Seorang penjahat mendapati berhadapan vis a vis dengan tokoh utama, dan dengan sangat ksatria si penjahat membuang senjatanya. Supaya apa? Supaya ada ruang untuk pamer kereografi silat?  Yang benar saja?

Kurangnya perhatian pada detil juga tampak ketika Ishmael mengejar bus yang membawa Ailin ke Jakarta. Bus itu berhenti karena dihadang oleh mobil penjahat didepannya. Adegan berlangsung, untuk kemudian Ishmael datang dengan tukang ojek yang nanti nasibnya nahas itu demi membuat tokoh utama tetap eksis. Hey wait, dimana kekurangan adegan ini? Itu, Ishmael justru datang dari arah depan! Yang berarti secara logika cerita, dalam hitungan menit dia sudah sempat ke Jakarta baru kemudian menyusul bus nahas berdarah itu.

Selain itu sebenarnya juga ada beberapa adegan yang berpotensi akan menjadi sangat kuat secara emosi, bahkan mungkin bisa jadi monumental tapi tidak diakhiri dengan baik. Satu yang paling saya ingat adalah ketika Ishmael berhadapan dengan Besi yang diperankan oleh Very Tri Yulisman. Kostum dan make up Besi yang menggunakan kaca mata besar dengan tampang innocent, berhasil membangun dialog yang cukup kuat untuk memberi gambaran pada penonton bahwa sesungguhnya orang-orang yang telah (dan akan) dihabisi oleh Ishmael adalah saudara ‘seperguruan’ sejak kecil. Mereka semua pernah mengalami ketersiksaan, hidup didalam sumur, berebut air dengan menghabisi kawan seumuran mereka hingga yang tersisa adalah mereka yang ‘ubersmanch’ yang manusia unggul. Betul, ini bukan ide yang orisinil-orisinil amat, tidak sulit mengingat film-film dengan latar belakang masa lalu tokoh utama seperti ini, dari film hollywood sampai wu xia movie pun sudah ada yang pernah bikin seperti begini.

Namun memang, adegan ini bisa menjadi sangat kuat. Terutama karena pada awal adegan Ishmael sempat ‘berinteraksi’ dengan sumur itu. ‘interaksi’ aktor dengan benda adalah pean bagi penonton bahwa benda itu akan ‘bernyawa’ bahwa benda itu akan eksis dalam cerita. Lalu diperkuat dengan dialog, dengan kualitas akting, meneguhan bahwa dari dalam sumur itulah kisah hidup mereka berdua dimulai, sampai situ sudah sangat kuat. Tentu saja lumrahnya film action, pada akhir adegan tarung Ishmael menang melawan Besi.

Ketika pada titik sekaratnya, sebelum nyawa terlepas. Besi melangkah dengan sempyongan. Bayangan saya: Besi melangkah menuju sumur, menatap dalam dan lekat pada muasal drinya itu. Sungguh itu akan jadi adegan kuat, terserah sutradara akan membuat Besi mati ditepi sumur atau terjun kedalamnya, dua pilihan itu bisa membuat adegan yang tertancap kuat pada memori penonton. Tapi apa yang terjadi pada film ini? Nah, Besi melangkah, keluar hutan dan… Menghadap laut dan, mati. Saya; misuh-misuh.

Namun ‘dosa’ kematian Besi yang ‘hampir-bagus-tapi tidak-jadi’ itu dibayar juga oleh sutradara ketika Ishmael berhadapan dengan Rika (Julie Estelle) adegan dihabisisnya nyawa Rika dibalut dengan drama yang harus saya puji. Itu bagus!

Mengenai orisinalitas, sejak awal ide saja ini bukan film yang menjual kisah yang unik dalam dunia perfilman. Sudah banyak yang mengangkatnya. Pun dalam adegan demi adegan, seperti rangkaiaan adegan yang mengingatkan pada film ini dan film itu. Ini seperti baca tulisan catatan pinggirnya Goenawan Muhammad, iya lebih banyak kutipan daripada tulisan aslinya. Tapi juga, tetap bisa dinikmati.

Ada satu adegan ini; ketika si penjahat yang baru bergabung (Ah saya lupa nama peran dan nama aslinya, pokoknya yang badannya tatoan dan suka bawain acara olahraga di satu stasiun tivi nasional) ikut berjalan bersama dua penjahat lainnya, si penjahat baru ngoceh terus sepanjang jalan, dan tiba-tiba dia ditembak sampai mati. Ini adegan sangat mengingatkan saya pada adegan di film City of God, hanya saja yang ini versinya tidak begitu bagus. Dalam City of God, adegan ini berhasil karena tampang si penembak yang datar saja membunuh kawannya hanya karena dia banyak ngoceh sepanjang jalan. Tampangnya seperti cuma habis jitak kepala orang, hanya jitaknya pake pistol, dan orangnya mati. Pada film Headshot, adegannya dibuat dengan tembakan beruntun, berkali-kali dan bertele-tele. Sedikit perbedaan ini menunjukkan kualitas yang sangat jauh. Efek pada penonton pun tidak sekuat adegan City of God, bila memang mau dibuat seperti itu.

Begitupun adegan demi adegan pertarungan. Tak nampak beda jauh dengan adegan tarung di film The Raid, terutama yang kedua. Lebih banyak menunjukkan keindahan koreografi daripada gerakan yang mematikan secara cepat dan efektif. Walau saya bukan ahli bela diri, tapi rasanya cukup logis untuk bertanya, apakah seorang petarung lebih memilih memukul beruntun pada titik tertentu pada seorang lawan yang sama sementara lawan lainnya masih banyak dan sehat wal afiat di sekelilingya? Atau melumpuhkan dengan efektif satu lawan untuk beralih ke lawan berikutnya? Saya rasa pilihan kedua lebih logis, sayangnya dalam film ini, seperti pula The Raid, lebih ingin menunjukkan keindahan-keindahan tak logis sehingga memilih pilihan pertama, dan sering berulang, dan bosen. Gemes.

Tiga Yang Tak Termaafkan

Masih banyak sekali luput pada detil-detil semacam ini dan akan sangat melelahkan bila musti saya cantumkan satu per satu. Bila kita sempat bertatap muka untuk ngobrol langsung mungkin kita bisa membahasnya lebih dalam. Namun kesemuanya itu, bisalah kita maklumi karena selain tidak begitu berpengaruh pada alur cerita dan juga bolehlah kita sedikit menurunkan standar rasio untuk ukuran film action.

Namun ada tiga hal ini, yang benar-benar menghantui pikiran saya setelah menonton film ini. Tiga hal ini tidak saya temukan penjelasannya, dan saya berharap itu hanya karena ketidak telitian saya saja yang tidak mampu menemukan penjelasan tersebut.

Pertama, adalah alasan Ishmael ditembak oleh para ‘saudara seperguruan’nya sendiri khususnya Rika. Ini menjadi inti cerita karena dengan itulah Ishmael kehilangan ingatan, namun kita hanya tahu bahwa Ishmael alias Abdi adalah mantan orang kepercayaan Mr Lee. Kemudian dia ditembak oleh kawannya atas titah Mr Lee sendiri. Tapi apa yang membuat Ishmael atau Abdi harus ditembak? Bila karena dia membelot, maka pada titik mana dalam hidupnya dia memutuskan untuk membelot? Pembelotannya dalam bentuk apa? Saya gagal menemukan jawabannya dalam film ini.

Kedua, bahwa Mr Lee pernah tertangkap oleh polisi. Itu dikisahkan oleh polisi yang menginterogasi Ishmael. Dari cara bertuturnya yang naratif, ekspresi dan penggambaran adegan flash-back-nya, kita bisa faham bahwa Mr Lee sengaja membuat dirinya tertangkap. Namun selain hanya berfungsi sebagai jembatan adegan agar adegan pembuka yang ber-setting penjara menjadi masuk akal, hal ini juga tidak terjelaskan dengan gamblang. Apa misi Mr Lee membuat dirinya ditangkap? Apa atau siapa yang dia cari? Apa atau siapa yang dia incar? Tidak ada penjelasan apa-apa yang saya dapati. Ini sangat disayangkan karena balutan adegannya bisa dibilang secara bahasa gambar sangat keren. Saya suka sekali adegannya. Sedikit banyak mengingatkan saya pada film-film action-nya John Woo pada era 90-an. Nah ini soal selera memang.

Ketiga, adalah adegan mendekati ending sebelum cooling down. Ketika terjadi pertarungan antara Mr Lee dengan Ishmael alias Abdi yang berujung (tentu saja) kekalahan Mr Lee, punggung Mr Lee tertancap batang tajam entah apa itu, yang menembus hingga bagian depan tubuhnya. Kemudian, seperti juga film action lumrahnya Mr Lee yang antagonis ‘hidup’ kembali, kemudian merengkuh Ishmael lalu menariknya mendekat. Tentu bertujuan agar Ishmael juga tertikam oleh batang tajam yang menyembul dari tubuh Mr Lee itu, Ishmael berusaha sekuat tenaga menjauhkan tubuhnya agar tidak jadi sate, keras usaha Ishmael untuk itu karena nampaknya Mr Lee masih punya cukup ‘energi spiritual’ untuk menarik Ishmael dalam dekapannya. Walau klise namun permainan kamera, suara, didukung dengan kualitas akting para pemainnya berhasil membuat adegan ini jadi menegangkan. Sangat menegangkan. Tensi memuncak. Sampai kemudian Ailin datang, penonton lega. Ailin mencoba membantu menarik tubuh Ishmael agar menjauh dari kemungkinan jadi sate tadi itu. NAMUN ada satu per sekian detik kesalahan akting dari Ailin alias neng Chelsea Islan yang meruntuhkan seluruh ketegangan itu. Yakni ketika sambil menarik tubuh Ishmael, Ailin justru kemudian (nampak) menubrukkan diri ke punggung Ishmael dengan maksud memeluknya untuk kemudian lanjut menarik tubuh Ishmael.

Siapapun yang belajar ilmu fisika dasar pasti tahu, sedikit saja tekanan dari arah belakang ditambah tarikan dari depan, semestinya secara logis haqqul yaqin pastilah membuat tubuh Ishmael itu semestinya terdorong ke depan kemudian tertancap batang tajam, kemudian sambil jadi sate sebelum nafas terakhir menoleh pada Ailin “kampret lu neng

Tentu saja adegan tidak berjalan sebanding lurus dengan logika yang saya utarakan diatas. Fakta adegannya kemudian adalah Ailin justru berhasil (setelah menubruk tubuh Ishmael dari belakang) menarik Ishmael menjauh, dan sukurlah seperti yang telah diduga oleh seluruh penonton para tokoh utama kita pun selamat dari marabahaya yang mengancam.

Sepersekian detik itu, buat saya penting. Karena sepersekian detik itu telah meruntuhkan seluruh rangkaian ketegangan adegan akhir, dari mulanya saya tercekat menyaksikan adegan itu kemudian menjadi tertawa terbahak-bahak tak berkesudahan.

Sebenarnya…

Banyak juga hal bagus dalam film ini, tentu selain Chelsea Islan-nya. Maksud saya yang bagus secara teknis. Banyak hal yang cocok dengan selera pribadi saya. Ini film sudah hampir memenuhi kriteria filmnoir andai karakter Ishmael lebih diarahkan untuk menemukan potongan-potongan ingatan yang membingungkan, tapi sepertinya duo sutradara (Atau salah satunya) tidak berniat menitik beratkan pada hal itu. Saya juga suka bagaimana fokus kamera diarahkan sedemikian rupa sehingga latar belakang gambar apabila sedang berada di keramaian menjadi buram, ini cara yang baik untuk menyamarkan simbol-simbol budaya setting kota kecil atau desa tempat cerita berlangsung. Tampak memang kalau duo sutradara berniat mengangkat indonesia yang bukan lokal ini-itu. Selain pada fungsinya, ini juga kemudian menghasilkan gambar-gambar yang asik di mata.

Efek suara juga adalah hal yang saya perhatikan disini. Jauh lebih matang, bebunyian kecil mulai terperhatikan. Hal yang jarang saya dapati pada film indonesia lainnya. Kalau bicara musik latar, saya bisa maklum bila bagi beberapa orang dianggap terlalu berisik, tapi untuk penggemar musik industial rock ala-ala Nine Inch Nails seperti saya, musik latar seperti yang digunakan dalam film ini sangat cocok dengan selera saya.

Itulah sumber kegemasan saya pada film ini, banyak hal bagus namun juga banyak detil dan plot yang tidak tergarap. Maka itulah saya coba menuliskan ini dengan harapan apabila ada filmmaker yang berkesempatan mampu membuat yang setingkat ini secara teknis, baik juga apabila mampu menambali kekurangan-kekurangan seperti yang telah ada pada film ini.

 

MZ Fadil

Artikel SebelumnyaThe Boss Baby
Artikel BerikutnyaThe Fate of the Furious
memberikan ulasan serta artikel tentang film yang sifatnya ringan, informatif, mendidik, dan mencerahkan. Kupasan film yang kami tawarkan lebih menekankan pada aspek cerita serta pendekatan sinematik yang ditawarkan sebuah film.

1 TANGGAPAN

  1. menambahkan sedikit, soal alasan Ishmael ditembak…. senangkep saya, Ishmael membelot karena dia udah nggk mau liat ank2 kecil diculik & dieliminasi ala battle royal, trus dia sekongkol sama polisi buat nangkep Mr. Lee, dan tarraa~ Mr. Lee nyuruh sodara seperguruan aka Rika buat nembak mati Ishmael… tapi ya emang sih nggak begitu keliatan dan jadi terlupakan karna banyaknya aksi nonstop yang bikin penonton cuma pasrah ngikutin ceritanya…

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.