Hit Man adalah film komedi roman kriminal arahan sineas kawakan Richard Linklater yang diadaptasi dari satu artikel di majalah Texas Monthly tahun 2001. Artikelnya konon diinspirasi dari kisah nyata seorang profesor yang dikontrak polisi untuk menjadi pembunuh bayaran palsu. Film ini dibintangi oleh aktor muda yang tengah naik daun, Glenn Powell, bersama Adria Arjona, Austin Amelio, dan Retta. Hebatnya, Powell juga bertindak sebagai produser dan penulis naskah bersama Linklater. Film ini baru saja dirilis Netflix, walau telah premiere tahun lalu di Venice International Film Festival. Akah Hit Man bisa bersaing dengan karya-karya terbaik sang sineas?

Gary Johnson (Powell) adalah seorang profesor di sebuah kampus yang mengambil kerja sambilan sebagai konsultan teknis bagi polisi untuk menangkap orang-orang yang berniat membunuh menggunakan jasa pembunuh bayaran. Suatu ketika, Jasper (Amelio), polisi yang secara rutin menyamar sebagai sang pembunuh harus absen dan secara tak sengaja digantikan oleh Gary. Di luar dugaan, Gary melakukan perannya dengan sempurna, selanjutnya, ia pun bekerja menjadi “pembunuh bayaran” rutin bagi polisi. Suatu ketika, mereka berusaha menjebak seorang klien muda cantik, Madison (Arjona) yang berniat menyewa jasa pembunuh untuk melenyapkan sang suami. Namun, Gary justru memberinya nasihat untuk tidak membunuh suaminya. Belakangan, keduanya justru berhubungan secara diam-diam, dengan Gary masih menikmati perannya sebagai pembunuh palsu bernama Ron.

Kisahnya memang segar untuk genrenya, terlebih ini diinspirasi dari kisah nyata yang ditegaskan pada ending credit-nya. Siapa yang menyangka kisah unik ini sungguh-sungguh terjadi? Seperti kasus adaptasi lainnya, ceritanya menghadapi pertanyaan besar, sejauh mana kisah aslinya disajikan atau sebaliknya, didramatisir? Tentu saja, plotnya terlalu sempurna untuk menjadi kisah nyata dengan intensitas dramatik yang demikian tinggi. Kelokan plotnya sulit untuk diantasipasi dan eksekusi akhirnya jauh di luar ekspektasi. Ini yang membuat kisahnya begitu mengelitik dan selalu memicu rasa penasaran. Namun, sisi moral ending-nya menjadi diskusi besar, sekalipun ini bukan kekuatan terbesar filmnya.

Baca Juga  Sonic the Hedgehog

Hit Man bertumpu pada penampilan gemilang dua bintang utamanya, Powell dan Arjona yang bermain sangat memikat sebagai Gary alias “Ron” serta Madison. Sejak keduanya berada dalam satu scene, chemistry keduanya telah terjalin demikian kuat dan menggemaskan. Beberapa kali adegan ranjang menghiasi beberapa adegannya yang memang di sini menyelipkan beberapa sisi humor terbaiknya. Sisi komedi banyak menyajikan komedi situasi yang sama sekali tidak bisa kita prediksi. Satu adegan terbaik adalah ketika keduanya harus berakting dengan berimprovisasi, dan di luar sana, polisi menguping pembicaraan mereka. Saya pikir ini adalah salah satu adegan komedi terbaik dalam beberapa dekade terakhir, di mana sisi humor, ketegangan, hingga kekuatan akting keduanya bisa berpadu dengan sempurna.

Hit Man adalah sebuah semi-biografi unik dengan kisah segar melalui penampilan kuat dan chemistry dua bintang utamanya. Naskahnya memang brilian, hanya penutupnya bakal memicu pertanyaan besar tentang sisi moral aksi-aksinya. Apakah ini dilema menyoal satu orang yang berkorban demi kebaikan banyak orang? Rasanya tidak. Untuk menjawab ini, idealnya kita kembalikan pada perspektif masing-masing penonton, apakah kamu pikir apa yang dilakukan mereka bisa dibenarkan? Terlepas polemik ini, penampilan duet Powell dan Arjona sudah lebih dari cukup menjadi sajian menghibur Hit Man, sekalipun ini bukan karya terbaik Linklater.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaChicken for Linda! – EoS 2024
Artikel BerikutnyaUnder Paris
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.