Film live-action silih berganti menghiasi layar bioskop indonesia hasil adaptasi dari manga dan anime populer, seperti Gintama dan Tokyo Ghoul. Hingga Ghost in the Shell bahkan telah digarap oleh Hollywood. Sederet judul juga dikabarkan segera akan rilis, seperti Fullmetal Alchemist, Naruto, Death Note (Netflix), dan baru saja rilis, Jojo ‘s Bizarre Adventure. JoJo’s Bizarre Adventure: Diamond Is Unbreakable Chapter 1 adalah hasil adaptasi dari episode Diamond Is Unbreakable dalam serial Jojo’s Bizarre Adventure yang digarap Miike Takashi dan dibintangi oleh Yamazaki Kento, Kamiki Ryunosuke, Mackenyu, Okada Masaki, Komatsu Nana, dan Iseya Yusuke.
Pada tahun 1999, seorang laki-laki berkeliaran di Morioh, sebuah kota kecil di pesisir pantai Jepang, dengan busur mistik yang dapat mewujudkan kekuatan stand (kekuatan gaib yang hanya bisa dilihat oleh sesama yang memilikinya) yang terpendam dalam diri seseorang. Seorang pelajar bernama Higashikata Josuke atau kerap dipanggil Jojo (Yakazaki Kento) terlibat dalam serangkaian kasus pembunuhan oleh Katagiri Anjuro (Yamada Takayuki), seseorang pengguna stand. Josuke mulai menyelidiki kasus tersebut yang membawanya berhadapan dengan sang pemilik busur mistik.
Dari segi cerita, film ini mengambil bagian ke-4 dari storyline manga orisinilnya. Jojo diceritakan sudah memiliki stand sejak awal film dimulai. Bagi penonton yang tidak mengikuti serialnya akan menanyakan hal ini atau asal-usul keluarga Jojo, namun hal ini akan terlupakan seiring berjalannya film. Toh, penonton awam yang tidak mengikuti serinya pasti hanya mencari hiburan semata. Karakter Hirose Koichi (Kamiki Ryunosuke) menjadi pemandu penonton dalam memperkenalkan tokoh-tokoh utama melalui narasi singkatnya. Alurnya padat dialog dan aksi, akibatnya emosi tokoh tidak sampai pada penonton. Misalnya, saat Jojo kehilangan salah satu anggota keluarganya, emosinya terkesan dipaksakan.
Problema dalam film live action sudah pasti akan selalu dibandingkan dengan serial orisinalnya. Bukan hanya cerita, namun juga setting, penokohan, serta kostum. Beruntunglah karakter-karakter dalam Jojo tidak terlalu aneh, kecuali model rambut beberapa tokoh yang cocok untuk iklan pomade, yang masih bisa diusahakan semirip mungkin. Reka digital juga digunakan menampilkan sosok stand pada tokoh-tokohnya. Untungnya, stand-stand tersebut berbentuk karakter seperti dalam video game, jadi tidak perlu susah untuk membuatnya terlihat realistik.
Hingga kini, rasanya belum ada film live-action yang mendekati sempurna dalam aspek penceritaan maupun teknisnya. Banyak film live–action asal Jepang yang didistribusikan oleh Warner Bros., namun bukan berarti kualitas film sudah mampu menyaingi level Hollywood. Meskipun begitu, saya mengagumi usaha para sineas di Jepang yang sudah mencoba memberi hiburan tambahan bagi para pecinta anime dan manga Jepang.
Ending-nya yang mengandung misteri akan menuntun kita pada sekuel film ini, yang bisa jadi akan diproduksi jika film ini sukses komersial. Miike Takashi sendiri mengungkapkan bahwa tidak mungkin menjadikan cerita orisinil pada bagian ke- 4 menjadi film berdurasi dua jam, melihat kerumitan plot serta tokohnya. Belum ada kepastian dari sineas maupun pihak produsernya mengenai kelanjutan film ini, yang pasti dengan ditambahkannya “chapter 1” dalam judulnya membuka peluang untuk melanjutkan film ini nantinya.
WATCH TRAILER