Jurnal Risa

Kisah adaptasi novel karya Risa Saraswati berlanjut dalam series Jurnal Risa. Pun akhirnya MD Entertainment memercayakan arahan kali ini kembali ke tangan Awi Suryadi, usai melewati Rizal dengan Asih 2 (2020) dan Kimo dengan Ivanna (2022). Skenario series ini juga masih digarap oleh Paul Todisco, bekerja sama dengan Baskoro Adi Wuryanto. Series horor yang telah tayang secara lengkap di Disney+ Hotstar bulan lalu ini diperankan oleh banyak aktor dan aktris cilik, antara lain Shofia Shireen, Ali Fikry, Yusuf Ozkan, Keanu Azka, Alesha Fadillah, Alleyra Fakhira, dan Sheryl Drisanna Kuntadi. Dengan kisah yang terasa lebih nyata, sejauh mana Jurnal Risa mendekati kebenaran masa kecil Risa Saraswati?

Kisah Jurnal Risa sendiri berada di tengah Danur: I Can See Ghosts (2017). Setelah Risa (Shofia) tidak bisa bertemu atau melihat lagi “teman-teman” Belanda-nya dan meninggalkan rumah nenek. Sebelum akhirnya kembali beberapa tahun kemudian, ternyata Risa menghabiskan masa liburan sekolah di rumah kakeknya. Ia tak sendiri, karena ada para sepupu yang juga berlibur di sana, yaitu Angga (Ali), Nicko (Yusuf), Kakang (Keanu), dan Indy (Alesha). Riri (Alleyra) pun kemudian menyusul pada hari ke sekian. Bersama geng inilah, Risa menyelesaikan satu kasus horor yang tanpa sengaja menimpa salah seorang teman mereka, Dewi (Sheryl).

Ada kekhasan yang agak sukar terjelaskan, manakala cerita-cerita horor dari Risa digarap oleh Awi. Semacam kecocokan dan tak banyak neko-neko. Walau pada saat yang sama jadi kurang eksploratif. Pun masih ada saja yang luput dari perhatian Awi berkaitan dengan keteledoran dalam skenario. Paling utama ialah adegan nihil fungsi. Misalnya, perpanjangan sebuah adegan hanya karena di kenyataan luar film memang terjadi demikian. Masih ada pula pengulangan shot hingga berkali-kali, padahal maksudnya sama saja. Ingat adegan mandi tokoh Widya (Adinda Thomas) dalam KKN di Desa Penari. Keteledoran lainnya adalah tentang kesadaran Dewi pasca-Annelies dan Sofie melampiaskan amarah mereka dalam episode 4. Ketika masih ada kejadian ganjil di rumah angker, Dewi tak menunjukkan kewaspadaan atau kecurigaan, sehingga kemudian ia “terjerat” lagi.

Berikutnya, untuk apa pula adegan Risa dan geng mendapat informasi terbaru ihwal bunker, bila pada akhirnya Agus (Dimas Putra) dan kedua orang tuanya malah terpancing sendiri untuk membuka bunker lewat suara gedoran ke papan kayu penutupnya. Pada beberapa episode belakangan juga masih ada kejanggalan lain yang luput dari pertimbangan dan ketelitian Awi sebagai sutradara. Salah satunya dalam episode 8 yang memunculkan sebuah mustika sakti. Geng Risa (diceritakan) cukup berupaya dan repot-repot mencari informasi ihwal benda pengusir setan tersebut. Bahkan mesti masuk tempat angker dan mengalami kejadian menyeramkan, tetapi pada akhirnya benda itu hanya digunakan sekali. Itu pun tidak memberi dampak signifikan. Tidakkah ada cara lain untuk menyampaikan kisah latar belakang Mamat (Nicko Irham), selain melalui pencarian mustika sakti yang pada akhirnya tidak diandalkan lagi?

Cerita dalam Jurnal Risa sendiri adalah seputar pertemuan anak-anak usia SD dengan berbagai peristiwa horor, mistis, klenik, mitos, supernatural, dan hantu-hantu. Hampir semua variasi plot maupun trik horor yang ada di Indonesia sampai hari ini muncul dalam Jurnal Risa. Misalnya, boneka setan, rumah angker, sekolah berhantu, benda keramat, hutan wingit, mitos waktu maghrib, mitos klakson tiga kali, mitos petak umpet, dan masih banyak lagi. Termasuk keterlambatan menolong seorang kerasukan, sehingga setan terlanjur senang dan nyaman berada dalam badannya.

Baca Juga  The Platform

Pemilihan series sebagai bentuk adaptasi kisah horor dari novel Risa juga memengaruhi tempo cerita. Eskalasi masalah jadi lambat gara-gara dalam bentuk ini. Khususnya pada empat episode awal. Belum lagi, Jurnal Risa ada 10 episode pula. Bahkan untuk peristiwa hilangnya Dewi yang (sebetulnya) terkurung satu ruangan dengan para tukang dalam bunker, tak langsung terkuak saat tukang-tukang tersebut ditemukan dan diangkut petugas. Barulah pada episode 8 cerita mulai bergulir lebih intens. Meski tetap saja terasa panjang dan melelahkan.

Adanya 10 episode Jurnal Risa pun memungkinkan alur cerita bergerak cukup jauh dari titik awalnya. Mula-mula kasus kujang keramat, lalu rumah angker/berhantu (haunted house), dan lebih jauh lagi hingga ke rumah sakit dan paranormal, dukun, atau “orang pintar”. Seakan Jurnal Risa sejak awal bukan dibuat sebagai series dengan satu plot horor utama belaka, melainkan memang benar-benar sebuah sajian jurnal keseharian Risa dan geng bersama serangkaian peristiwa horor selama liburan sekolah mereka. Bagaimana tidak. Geng ini sampai menempuh perjalanan menjauhi pusat desa dan pulang malam, hanya untuk sebuah benda “yang dikatakan mampu mengusir setan”.

Fiksi yang didasarkan pada kejadian nyata, tidak lantas menjadi lebih bagus hanya karena semakin mendekati kemiripan dengan peristiwa aslinya. Kecuali bila berkaitan dengan peristiwa bersejarah atau tokoh penting. Sementara itu, kasus dalam Jurnal Risa tak menuntut keharusan semirip mungkin dengan kejadian asli yang tertulis di novel. Bahkan hingga ke detail-detail kronologi kejadian dalam setiap segmen atau adegan. Tidak ada urgensi untuk menanggalkan kebutuhan olahan fiktif dalam cerita fiksi, baik dari unsur peristiwa pada masa lampau maupun ketokohannya. Pada saat yang sama, logika yang mestinya ada justru terabaikan. Ketika pada malam hari seluruh anak di desa menghilang dari rumah dan semua orang tua keliling desa untuk mencari mereka, mengapa pada pagi harinya sangat sepi? Ke mana upaya para orang tua semalam?

Jurnal Risa sekadar catatan liburan Risa yang mistis bersama geng saudara sepupunya selama liburan sekolah, tanpa tendensi memukau melalui sajian horor khusus. Adanya series ini pun hanya semacam informasi bagi khalayak, bahwa dari sanalah kemudian geng Risa dengan para saudara dan sepupunya terlahir. Sayang pula skenario yang diolah barengan antara Paul dan Baskoro mengandung banyak kelemahan. Meski Baskoro lebih kerap mengecewakan lewat skenario-skenario garapannya selama ini. Setidaknya, Paul dapat meminimalisir itu melalui pengalamannya turut mengerjakan skenario Danur 2: Maddah (2018), Asih (2018), Danur 3: Sunyaruri (2019), dan Asih 2 (2020). Walau tak signifikan. Bahkan Awi yang menjadi pengarah untuk keseluruhannya pun masih melewatkan cukup banyak kelemahan. Seram-seram untuk anak-anak.

PENILAIAN KAMI
Overall
60 %
Artikel SebelumnyaMeg 2: The Trench
Artikel BerikutnyaHijack
Miftachul Arifin lahir di Kediri pada 9 November 1996. Pernah aktif mengikuti organisasi tingkat institut, yaitu Lembaga Pers Mahasiswa Pressisi (2015-2021) di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, juga turut andil menjadi salah satu penulis dan editor dalam media cetak Majalah Art Effect, Buletin Kontemporer, dan Zine K-Louder, serta media daring lpmpressisi.com. Pernah pula menjadi kontributor terpilih kategori cerpen lomba Sayembara Goresan Pena oleh Jendela Sastra Indonesia (2017), Juara Harapan 1 lomba Kepenulisan Cerita Pendek oleh Ikatan Penulis Mahasiswa Al Khoziny (2018), Penulis Terpilih lomba Cipta Puisi 2018 Tingkat Nasional oleh Sualla Media (2018), dan menjadi Juara Utama lomba Short Story And Photography Contest oleh Kamadhis UGM (2018). Memiliki buku novel bergenre fantasi dengan judul Mansheviora: Semesta Alterna􀆟f yang diterbitkan secara selfpublishing. Selain itu, juga menjadi salah seorang penulis top tier dalam situs web populer bertema umum serta teknologi, yakni selasar.com dan lockhartlondon.com, yang telah berjalan selama lebih-kurang satu tahun (2020-2021). Latar belakangnya dari bidang film dan minatnya dalam bidang kepenulisan, menjadi motivasi dan alasannya untuk bergabung dengan Komunitas Film Montase sejak tahun 2019. Semenjak menjadi bagian Komunitas Film Montase, telah aktif menulis hingga puluhan ulasan Film Indonesia dalam situs web montasefilm.com. Prestasi besar terakhirnya adalah menjadi nominator Festival Film Indonesia 2021 untuk kategori Kritikus Film Terbaik melalui artikel "Asih, Cermin Horor Indonesia Kontemporer" bersama rekan penulisnya, Agustinus Dwi Nugroho.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.