Layar tayang di Klik Film tanggal 13 Januari lalu, bersamaan dengan The Day Before The Wedding. Layar merupakan film arahan Ifa Isfansyah, yang skenarionya ia tulis bersama Ahmad Aditya. Seperti yang kita tahu, banyak karya baik yang pernah sang sineas garap, seperti Garuda di Dadaku, Sang Penari, Pendekar Tongkat Emas, Koki-Koki Cilik, Hoax dan masih banyak lagi. Ifa nampaknya sudah mencoba beragam genre dengan segmentasi penonton yang beragam pula. Lalu apakah Layar, hadir sebaik karya-karya sebelumnya?
Layar bercerita tentang Marni, seorang perempuan muda yang telah lama bekerja di Bioskop Merapi. Sayangnya bioskop tersebut terancam dijual karena dampak pandemi Covid-19. Marni yang sangat mencintai pekerjaannya, berusaha keras agar bioskop tersebut dapat beroperasi kembali.
Layar sebenarnya bisa menjadi film istimewa di awal tahun ini. Bagaimana tidak, di tengah lautan film horor, roman picisan, dan series latah bertema pekerja seks komersial, Layar bagaikan secercah harapan bagi penikmat film, untuk menonton sesuatu yang beda dan segar. Sebuah film dengan jajaran aktor dan aktris lokal yang sering tampil di film-film indie produksi anak Jogja. Terlebih, tema cerita yang diangkat unik, yaitu tentang pegawai bioskop.
Alih-alih penyegaran, namun banyak kelemahan yang membuat Layar untuk disebut film bagus saja, rasanya masih jauh. Perjuangan Marni (Siti Fauziyah) membuka bioskop kembali, terasa konyol. Sesuatu yang ia lawan adalah pandemi serta protokol pemerintah yang melarang bioskop dibuka. Kita tahu, aturan ini tidak berlaku hanya di Indonesia tapi global. Lalu, bagaimana bisa Marni yang tokoh perempuan pekerja keras dan cerdas ini, tidak berpikir ke arah sana. Bahkan, ia dan rekan-rekannya nekat mengadakan layar tancap yang jelas akan menimbulkan kerumunan.
Motivasi Marni untuk membuka kembali bioskop menjadi sia-sia bagi saya. Sulit dimengerti, mengapa pembuat film menempatkan pandemi sebagai penyebab. Bioskop yang belum menggunakan pemutar digital serta fasilitas yang sudah tidak memenuhi standar, bukankah sudah cukup untuk dijadikan alasan bioskop terancam bangkrut? Menurut saya, akan lebih masuk akal jika Marni berjuang membuat bioskop jadul yg tidak laku, agar bisa laku lagi. Pandemi adalah argumen yang sungguh konyol.
Logika dalam Layar, juga sangatlah ceroboh, hingga banyak cacat cerita di sana-sini. Ending cerita mengungkapkan bahwa banyak warga sekitar yang menggantungkan hidup dari Bioskop Merapi sehingga mereka tidak mau bioskop ditutup. Padahal pada babak sebelumnya, dikatakan bioskop sudah lama merugi. Bagaimana bisa bioskop yang minim penonton bisa mempengaruhi jalannya perekonomian banyak orang?
Secara teknis pula, Layar membuat kita serasa menonton film indie khas Jogja, tapi versi panjang. Nuansa jawa yang kuat melalui dialog, logat, dan jajaran pemainnya, tapi juga warna-warna yang ditampilkan dalam film sendiri. Saya sempat bingung, kapan tepatnya setting waktu ceritanya? Warna film dan kostum para tokoh yang sebagian besar terlihat jadul, menampilkan kesan lampau. Padahal film bercerita masa pandemi, yakni sekitar tahun 2020-2021.
Beberapa adegan di bioskop, baik itu interior maupun eksterior, terasa seperti drama panggung. Hal ini disebabkan tata artistik yang kurang hidup, dan terasa sepi, ditambah lagi dengan akting sebagian tokoh yang masih sangat teatrikal. Ini termasuk Siti Fauziah, sebagai tokoh sentral. Meski terlihat berusaha keras menghidupkan tokohnya, namun mimik wajahnya sering kaku dengan intonasi berlebihan. Meski hal ini agak mengganggu, namun ia berhasil membawakan energi, semangat, dan kekhawatiran dari tokoh Marni dengan baik.
Layar terlihat terlalu banyak ingin memasukkan pesannya. Fatalnya, pesan-pesan ini dijejalkan melalui dialog pada akhir cerita. Sebenarnya Layar punya ide yang menarik, sayang sekali naskah dan eksekusinya sangat lemah.