Logan (2017)

137 min|Action, Drama, Sci-Fi|03 Mar 2017
8.1Rating: 8.1 / 10 from 837,803 usersMetascore: 77
In a future where mutants are nearly extinct, an elderly and weary Logan leads a quiet life. But when Laura, a mutant child pursued by scientists, comes to him for help, he must get her to safety.

Logan merupakan seri ketiga atau juga seri final karakter X-Men paling populer, Wolverine. James Mangold yang sukses menggarap seri keduanya, The Wolverine kini kembali duduk di bangku sutradara lengkap dengan sentuhan western-nya. Hugh Jackman tentu saja kembali memerankan karakternya dan uniknya kali ini ditemani oleh Patrick Stewart sebagai Charles Xavier. Kisahnya konon diinspirasi dari komik Wolverine, Old Man Logan. Jika Anda mencari aksi spektakuler seperti yang biasa kita temui pada film-film superhero kemungkinan besar pasti Anda akan kecewa karena sejatinya Logan adalah film drama yang memiliki rating dewasa (R).

Tahun 2029, bumi kini telah menjadi wilayah distopia, terlebih bagi kaum mutan yang kini hampir punah. Logan yang kita tahu memiliki regenerasi sel super membuatnya bisa bertahan hidup selama ini sehingga mampu hidup ratusan tahun. Logan kini bukanlah lagi sosok Wolverine yang tangguh seperti dulu, ia kini tampak tua, temperamental, serta gemar minum alkohol yang meracuni regenerasi selnya dan tinggal bersama si tua Charles Xavier yang kini telah sakit-sakitan. Suatu ketika, ia bertemu dengan seorang wanita besama putrinya, Laura. Wanita tersebut mengetahui identitas Logan dan meminta tolong untuk mengantarnya ke sebuah tempat namun ia tolak. Setelahnya sekelompok orang misterius mulai membuntuti Logan yang ternyata mencari gadis tersebut. Logan tanpa ia sadari terjebak dalam situasi yang kelak mempengaruhi masa depan ras mutan.

Logan adalah sesuatu yang ditunggu dari sebuah genre superhero yang kini sudah terlalu padat. Setelah sukses Deadpool tahun lalu dengan segala kemasan cerita dan sinematiknya serta tentu aksi brutalnya, hanya tinggal menunggu waktu genre superhero bergerak ke arah ini. Logan melawan semua kelaziman plot superhero dengan menampilkan sosok sang jagoan yang sudah tidak lagi pada masa emasnya. Semuanya disajikan amat realistik dan natural layaknya film drama tanpa aksi pertunjukan spektakuler yang hebat. Peruntukkan bagi penonton dewasa membuat Logan fleksibel dengan segalanya, seperti aksi brutal (walau terhitung lunak ketimbang Deadpool) hingga penggunaan kata sumpahan seenaknya. Geli dan lega rasanya akhirnya melihat sosok besar seperti Charles Xavier mengucapkan sumpahan sedemikian rupa.

Baca Juga  Surrogates

Pencapaian Logan ini jelas tidak lepas dari universe yang dibangun seri ini sejak belasan tahun silam. Kita sudah tahu persis siapa dua karakter ini dan bagaimana sepak terjang mereka. Jika plot film ini terjadi setelah kisah X-Men: Days of Future Past ada gap waktu yang cukup lama dan apa yang terjadi selama itu juga tidak banyak kita bisa ketahui kecuali sentilan tragedi Winchester dimana Xavier menjadi biang keladi ratusan manusia hingga beberapa mutan binasa. Dalam dunia cerita film X-men ini, universe bisa dibuat seenaknya karena memang tidak terkonsep sejak awal seri ini dibuat. Melalui kemampuan perjalanan waktu ke masa silam semua bisa diubah dan kondisi masa kini bisa berubah. Intinya apapun bisa terjadi namun apa yang terjadi dalam plot Logan adalah serasa bukan berasal dari dunia cerita yang sama.

Terlepas dari itu semua, Logan tidak diragukan lagi adalah sebuah inovasi baru dan pencapaian istimewa bagi plot film superhero yang membuka jalan baru bagi genrenya. Namun untuk seri penutup dua tokoh X-Men terbesar dari franchise ini seharusnya mereka bisa mendapatkan sedikit lebih baik dari ini. Jackman dan Stewart telah memberikan segalanya yang bisa mereka lakukan untuk peran ikonik yang telah mereka jalani belasan tahun dengan sedikit sentuhan humor yang tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Sementara si kecil Laura diperankan sangat baik oleh Dafnee Keen yang bermain dingin namun polahnya tidak lepas dari sosoknya yang masih anak-anak. Satu shot menawan adalah ketika dari kejauhan tampak Laura bermain mesin kuda-kudaan di depan sebuah mini market. Satu adegan yang amat realistik dan manusiawi yang rasanya baru ini ada dalam film superhero. Sentuhan seperti ini yang rasanya sudah perlu ada dan tidak hanya mengandalkan pesona CGI.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaSalawaku
Artikel BerikutnyaInterchange
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.