loki s02

Mengandung spoiler. Wajib untuk menonton serinya terlebih dulu.

Seri Loki berlanjut dan kini memasuki musim kedua yang merupakan kreasi Michael Waldron. Seperti musim sebelumnya, seri ini bertotal 6 episode yang rata-rata berdurasi 45 menit. Seri ini masih dibintangi para kasting regulernya, yakni Tom Hiddleston, Owen Wilson, Sophia Di Martino, Gugu Mbata-Raw, Wunmi Mosaku, Jonathan Majors, serta pendatang baru Ke Hui Quan. Film ini juga merupakan bagian dari fase 5 Marvel Cinematic Universe (MCU). Dengan bujet musim kedua sebesar USD 141 juta, mampukah Loki S02 ini melampaui pencapaian seri pertamanya yang banyak diapresiasi tinggi oleh pengamat?

Loki (Hiddleston) di penghujung seri sebelumnya, harus berhadapan dengan situasi yang tak terduga. TVA menghadapi situasi yang tak pernah dialami sebelumnya di mana cabang waktu yang membelok dari garis waktu semakin liar tak terkendali. Entah mengapa, Loki pun mengalami “time slipping” di mana secara mendadak selalu berpindah waktu di dimensi TVA, tanpa mampu bisa ia kontrol. Mobius (Wilson) pun mengajak Loki menemui seorang teknis senior TVA eksentrik, yakni Ouroboros (Quan).

Cabang waktu yang semakin membesar membuat mereka makin panik, dan untuk mencari solusinya dibutuhkan varian dari “He Who Remains” (Majors), yakni Victor Timely (Majors). Masalahnya, Victor berada pada satu garis waktu di masa lalu, di mana beberapa pihak, seperti RainSlayer (Raw) dan Silvy (Martino) memiliki kepentingan yang berlainan. Loki dan Mobius harus segera bertindak sebelum TVA dan semua cabang waktu, hilang dari eksistensinya.

Plot episode pertama musim kedua ini langsung begitu saja terhubung dengan episode akhir musim pertama. Jika tidak menonton seri pertamanya, akan berhadapan dengan situasi absurd yang tak akan mungkin bisa dipahami. Bagi yang telah menonton pun, masih meraba-raba arah kisahnya dengan segala sesuatunya yang bergerak sangat cepat. Istilah-istilah teknis ilmiah pun terlontar begitu saja dengan bertubi tanpa mampu kita cerna dengan baik, macam “temporal loom”, “the core”, “temporal radiation”, dan lainnya. Plot yang demikian cepat dan campur aduk (informasi dari seri pertama) membuat kita seolah kehilangan pegangan dan arah kisahnya. Namun, berjalannya waktu (menjelang episode akhir), alur kisahnya pun semakin terbaca dan make sense.

Episode klimaks (6) boleh jadi adalah episode yang paling brutal sekaligus brilian dalam sejarah seri MCU. Semua keruwetan episode sebelumnya seolah berujung dan terjawab di satu episode ini. Segalanya menjadi terlihat simpel, bagaimana Loki bisa mencegah malapetaka maha besar ini? Formula plotnya berubah menjadi “time loop” (tidak juga bisa disebut time loop karena sang karakter mampu mengontrol waktu) yang sangat dinamis dan bergegas. Plot tipikal formula time loop yang lazimnya mendewasakan sang tokoh, rupanya berlaku pula di sini. Dengan penderitaan tanpa akhir dan tak berujung, Loki akhirnya menemukan solusi untuk menyelesaikan problemnya. Entah ini adalah skema brilian “He Who Remains” atau inisiatif Loki sendiri, rasanya bukan menjadi masalah. Dengan kekuatannya, Loki menjadi inti fungsi TVA itu sendiri yang mampu menyeimbangkan garis waktu dari semua cabang waktu (multiverse). Brilian.

Baca Juga  Lioness

Dengan segala kerumitan konsep naratif dan pencapaian estetiknya (serta akting tentunya), Loki S02, masih mampu melewati pencapaian seri sebelumnya dengan konklusi yang mengejutkan. Memang, banyak hal masih belum terjawab tuntas. Contoh satu hal kecil yang mengganjal, apa atau siapa yang membuat Loki mengalami “time slipping”? Apakah “he who remains” atau faktor lainnya? Dari perspektif studio pembuatnya (Marvel Studios), ini menjadi menarik. Apakah ini adalah solusi untuk menghapus sosok Kang (baca: Jonathan Majors yang terkena kasus) dari MCU? Semua serba menggelikan. MCU kini ibarat TVA yang kehilangan kontrol atas garis waktunya. Mereka terjebak untuk mengolah segala bentuk dimensi yang mereka ciptakan sendiri. Entah multiverse, Quantumverse, atau dimensi lainnya menjadikan segalanya menjadi ruwet. Bisa jadi Loki adalah solusi dari semuanya. Biarkan waktu yang menjawab.

For all time. Always.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
90 %
Artikel SebelumnyaThe Marvels
Artikel BerikutnyaThe Killer
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.