Disarankan untuk menonton filmnya sebelum membaca ulasan ini.
Isu senjata api dan kekerasan terhadap perempuan rasanya belum pernah dikemas dalam satu film. Dua isu sensitif ini dipadukan dalam satu kisah fiksi bertajuk Luckiest Girl Alive yang diadaptasi dari novel bertitel sama karya Jessica Knoll. Uniknya, Knoll sendiri yang menggarap naskah filmnya. Film rilisan Netflix ini diarahkan oleh Mike Barker. Film ini dibintangi oleh Mila Kunis, Chiara Aurelia, Finn Wittrock, Scoot McNairy, Thomas Barbusca, serta Jennifer Beals. Lantas bagaimana dua isu besar ini dikemas?
Tifani atau Ani (Kunis/Aurelia) adalah seorang wanita karir yang memiliki masa lalu kelam. Pada satu malam di pesta SMU, ia diperkosa tiga rekan sekolahnya dan tidak melaporkan aksi tersebut. Tak lama berselang, dua siswa melakukan penambakan massal di sekolah tersebut, dan korban pun bertumbangan. Ani kini mendapat berita tak mengenakkan bahwa ia diduga bersekongkol dalam penembakan massal tersebut. Karir dan pernikahannya di ujung tanduk. Pilihan ada di tangan Ani untuk membeberkan bahwa memang ada relasi antara perkosaannya dengan penembakan di sekolahnya.
Plotnya dibagi dua segmen, yakni masa kini dan masa lalu yang disajikan bergantian. Dua segmen ini porsinya sama kuat, walau saya lebih memilih segmen masa lalu karena konfliknya terasa lebih menggigit. Masa lalu adalah eksposisi, sementara masa kini adalah resolusi. Gap di antaranya adalah pertanyaan besar yang menghantui saya. Sekian lama ini, ia hanya memendam perasaan dan tidak berusaha melepasnya melalui orang-orang di sekitarnya? Mengapa baru sekarang? Ya, bisa saja ini terjadi, hanya secara kausalitas ada yang terasa lepas.
Relasi dua isu besar dalam film ini terasa sekali dipaksakan. Peristiwa perkosaan dan sikap defensif Ani terhadapnya adalah sebab mengapa penembakan massal di sekolah terjadi. Sebelumnya, tak dijelaskan banyak tentang dua rekan Ani, baik fisik maupun psikologis, bagaimana bisa mereka melakukan aksi segila itu? Mereka terlihat normal dan tidak terlihat memiliki gangguan kejiwaan atau semacamnya. Lantas, mereka begitu saja membeli senjata api dan menembaki belasan siswa sekolah yang tak berdosa dengan membabi buta? Mengapa tidak mengincar orang-orang yang mem-bully mereka? Konyol sekali.
Di luar penampilan dua kastingnya yang memukau, Luckiest Girl Alive berada di ruang abu-abu yang mempertanyakan isu kekerasan perempuan dan senjata api yang diusungnya. Semua tahu, kekerasan senjata api identik dengan pria sebagai pelakunya. Dua isu besar ini punya konsekuensinya masing-masing. Tidak lantas begitu saja memadukan keduanya dan membuang konsekuensinya begitu saja. Satu isu saja bisa jadi terjebak dalam situasi klise, namun memadukannya dengan gegabah sama saja membunuh filmnya.
Bukan lantas bersimpati pada protagonis, namun justru yang terlihat, ia memanfaatkan situasi untuk melakukan “victory lap” tanpa memedulikan orang-orang yang benar-benar peduli dengannya. Tidak ada pembenaran untuk aksi kekerasan dalam bentuk apapun, namun terasa sekali adanya subyektifitas sang penulis dalam naskah yang ditulisnya. Baik pria maupun perempuan punya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Bukan hal yang bijak mengeksploitasi perkara ini secara berlebihan.