Luckiest Girl Alive (2022)
113 min|Drama, Mystery, Thriller|07 Oct 2022
6.4Rating: 6.4 / 10 from 56,212 usersMetascore: 54
A woman in New York, who seems to have things under control, is faced with a trauma that makes her life unravel.

Disarankan untuk menonton filmnya sebelum membaca ulasan ini.

Isu senjata api dan kekerasan terhadap perempuan rasanya belum pernah dikemas dalam satu film. Dua isu sensitif ini dipadukan dalam satu kisah fiksi bertajuk Luckiest Girl Alive yang diadaptasi dari novel bertitel sama karya Jessica Knoll. Uniknya, Knoll sendiri yang menggarap naskah filmnya. Film rilisan Netflix ini diarahkan oleh Mike Barker. Film ini dibintangi oleh Mila Kunis, Chiara Aurelia, Finn Wittrock, Scoot McNairy, Thomas Barbusca, serta Jennifer Beals. Lantas bagaimana dua isu besar ini dikemas?

Tifani atau Ani (Kunis/Aurelia) adalah seorang wanita karir yang memiliki masa lalu kelam. Pada satu malam di pesta SMU, ia diperkosa tiga rekan sekolahnya dan tidak melaporkan aksi tersebut. Tak lama berselang, dua siswa melakukan penambakan massal di sekolah tersebut, dan korban pun bertumbangan. Ani kini mendapat berita tak mengenakkan bahwa ia diduga bersekongkol dalam penembakan massal tersebut. Karir dan pernikahannya di ujung tanduk. Pilihan ada di tangan Ani untuk membeberkan bahwa memang ada relasi antara perkosaannya dengan penembakan di sekolahnya.

Plotnya dibagi dua segmen, yakni masa kini dan masa lalu yang disajikan bergantian. Dua segmen ini porsinya sama kuat, walau saya lebih memilih segmen masa lalu karena konfliknya terasa lebih menggigit. Masa lalu adalah eksposisi, sementara masa kini adalah resolusi. Gap di antaranya adalah pertanyaan besar yang menghantui saya. Sekian lama ini, ia hanya memendam perasaan dan tidak berusaha melepasnya melalui orang-orang di sekitarnya? Mengapa baru sekarang? Ya, bisa saja ini terjadi, hanya secara kausalitas ada yang terasa lepas.

Baca Juga  Tomorrowland

Relasi dua isu besar dalam film ini terasa sekali dipaksakan. Peristiwa perkosaan dan sikap defensif Ani terhadapnya adalah sebab mengapa penembakan massal di sekolah terjadi. Sebelumnya, tak dijelaskan banyak tentang dua rekan Ani, baik fisik maupun psikologis, bagaimana bisa mereka melakukan aksi segila itu? Mereka terlihat normal dan tidak terlihat memiliki gangguan kejiwaan atau semacamnya. Lantas, mereka begitu saja membeli senjata api dan menembaki belasan siswa sekolah yang tak berdosa dengan membabi buta? Mengapa tidak mengincar orang-orang yang mem-bully mereka? Konyol sekali.

Di luar penampilan dua kastingnya yang memukau, Luckiest Girl Alive berada di ruang abu-abu yang mempertanyakan isu kekerasan perempuan dan senjata api yang diusungnya. Semua tahu, kekerasan senjata api identik dengan pria sebagai pelakunya. Dua isu besar ini punya konsekuensinya masing-masing. Tidak lantas begitu saja memadukan keduanya dan membuang konsekuensinya begitu saja. Satu isu saja bisa jadi terjebak dalam situasi klise, namun memadukannya dengan gegabah sama saja membunuh filmnya.

Bukan lantas bersimpati pada protagonis, namun justru yang terlihat, ia memanfaatkan situasi untuk melakukan “victory lap” tanpa memedulikan orang-orang yang benar-benar peduli dengannya. Tidak ada pembenaran untuk aksi kekerasan dalam bentuk apapun, namun terasa sekali adanya subyektifitas sang penulis dalam naskah yang ditulisnya. Baik pria maupun perempuan punya kelemahan dan kelebihan masing-masing. Bukan hal yang bijak mengeksploitasi perkara ini secara berlebihan.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
50 %
Artikel SebelumnyaMagnetic Beats (Festival Sinema Prancis)
Artikel BerikutnyaMENCURI RADEN SALEH: Angin Segar Buat Perfilman Indonesia? Memang iya?
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.