Mamma Mia! Here We Go Again (2018)
114 min|Comedy, Musical, Romance|20 Jul 2018
6.6Rating: 6.6 / 10 from 110,576 usersMetascore: 60
Five years after the events of Mamma Mia! (2008), Sophie prepares for the grand reopening of the Hotel Bella Donna as she learns more about her mother's past.

Satu dekade sejak rilis film musikal Mamma Mia! (2008) yang sukses komersial luar biasa meraih lebih dari US$ 600 juta (bujet US$ 52 juta), kini “sekuel”-nya dirilis. Mamma Mia! Here We Go Again rupanya tak hanya sekedar sekuel, namun juga sekaligus sebagai prekuel. Film ini diarahkan oleh Phyllida Lloyd dengan dibintangi nyaris semua pemain di film terdahulu, sebut saja Amanda Seyfried, Pierce Brosnan, Colin Firth, Stellan Skarsgard, Dominic Cooper, dengan kali ini ditambah Lily James, Andi Garcia, dan Cher.

Kisah filmnya dibagi menjadi dua plot besar. Kisah pertama terfokus pada sosok Sophie sementara kisah kedua adalah kilas-balik yang fokus pada sosok Donna muda. Selepas sang ibu wafat, Sophie berusaha membuka kembali villa hotel milik ibunya. Menjelang hari peresmian, ia mencemaskan tak ada tamu yang akan datang pada acara tersebut. Sementara Donna yang baru saja menyelesaikan studinya berencana ingin melanglang buana ke seluruh dunia, dan ia pun jatuh cinta pada sebuah lokasi terpencil di sebuah pulau di Yunani. Kisahnya secara bergantian disajikan antara sosok Sophie dan Donna muda.

Tak perlu kita melihat sisi cerita karena alasan untuk menonton film ini sebenarnya hanyalah aspek musikalnya. Para fans ABBA yang akrab dengan lagu-lagunya jelas akan menikmati lebih film ini. Beberapa nomor lawas (film pertama) kembali ditampilkan walau motif dan kemasannya kini berbeda. Beberapa nomor baru pun sangat manis disajikan dalam beberapa segmen musikalnya. Walau memang tak sesuperior film pertamanya, namun jika kamu memang fans ABBA, jelas ini adalah film untukmu. Tonton saja dan nikmati sambil ikut bergoyang dan berdendang. Saya tak yakin generasi milineal mengenali lagu-lagu klasik ABBA, namun bukan berarti mereka tidak bisa menikmatinya.

Baca Juga  Fatman

Jika dibilang kisahnya memaksa, memang ada benarnya karena kita semua tahu, film ini dibuat karena sukses sensasional film pertamanya. Tak ada konflik berarti dalam cerita karena kita tahu apa yang akan terjadi dan bagaimana ini semua akan berakhir. Semua adegan disajikan ringan hanya untuk memancing segmen musikal muncul. Namun, yang menarik kini adalah film ini secara silih berganti menyajikan dua plot yang sama proporsinya. Satu mengisahkan sang putri bersama villa ibunya, dan satu lagi mengisahkan bagaimana latar belakang sang ibu bisa bertemu dengan “tiga ayah” Sophie hingga akhirnya ia menetap di sana.

Semua pemain relatif bermain apik, namun adalah Lily James berperan sebagai Donna muda yang mencuri perhatian penonton. Lily bermain amat agresif dan lincah sebagai Donna muda. Gaya bicaranya pun mirip dengan Merryl Streep, dan sosoknya mudah mendapat simpati dengan penonton. Beberapa kejutan di segmen akhir ditandai munculnya beberapa sosok “besar”, memberi satu penutup yang amat manis dan menyentuh hingga mampu memberi kesan jauh dari kata “memaksa” untuk film sekuel-prekuel ini.

Satu hal yang kini terlihat menonjol dari sisi pencapaian estetik ketimbang film pertamanya adalah aspek editing. Hampir sepanjang film untuk transisi pergantian adegan menggunakan teknik graphic match yang amat variatif dan sangat halus. Selalu ada kontinuiti gambar dan atau gerak dalam tiap transisi adegannya. Kadang jika tidak cermat, penonton bisa luput mengidentifikasi antara adegan masa lalu atau sekarang. Gelagat ini sebenarnya telah tampak sejak montage pertama ketika Donna muda melanglang buana ke berbagai penjuru dunia. Ini adalah hal terbaik dari filmnya di luar segmen musikalnya.

Mamma Mia! Here We Go Again merupakan sekuel – prekuel yang sangat menghibur terutama untuk para penggemar berat ABBA dengan penampilan mengesankan khususnya dari Lily James. Bagi para fans ABBA atau musikal, film ini adalah satu hal terbaik yang wajib dinikmati. Tidak hanya sekedar kisah yang menyentuh dan nomor-nomor lagu yang dinamis, namun kita bisa melihat bagaimana para pemain pun sangat menikmati perannya. Satu nomor lagu penutup pada ending credit, menjadi bukti semuanya.

WATCH TRAILER

PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaBuffalo Boys
Artikel BerikutnyaRaja, Ratu dan Rahasia
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.