Men in Black: International (2019)
114 min|Action, Adventure, Comedy|14 Jun 2019
5.6Rating: 5.6 / 10 from 148,048 usersMetascore: 38
The MIB tackle a mole in their organization.

Setelah sekian lama, seri populer Men in Black (MiB) yang terbilang sudah lama “mati”, kini coba dihidupkan kembali melalui spin-off-nya, Men in Black: International. Walau terasa pesimis, namun sineas berbakat F. Gary Gray yang ditunjuk menjadi sutradara memberi harapan baru untuk memberikan sesuatu yang segar dalam seri kali ini. Gray kita kenal melalui Straight Outta Compton dan The Fate of the Furious. Sementara beberapa bintang top bermain dalam spin-off-nya ini, yakni Chris Hemsworth, Tessa Thompson, Liam Neeson, Rebecca Ferguson, serta Emma Thompson yang melanjutkan peran seri sebelumnya.

Alkisah Molly yang sejak kecil memiliki pengalaman dengan mahluk luar angkasa dan MiB, berusaha mencari tahu keberadaan agen khusus ini sepanjang hidupnya. Akhirnya, ia menemukan markas MiB dan mampu menyusup ke dalam. Molly diinterogasi, namun  berbekal pengalamannya, akhirnya ia justru menjadi agen percobaan dan dikirim ke markas MiB di London. Bersama agen lokal bernama H, Molly (M) menyelidiki satu kasus kecil yang ternyata berujung pada nasib seluruh alam semesta. Terasa familiar?

Sejak seri ini muncul dua dekade lalu, saya sebenarnya sudah tidak terlalu menyukainya. Mengapa? Salah satunya adalah tone komedi dalam kisahnya yang mengurangi sisi ancaman terhadap tokoh-tokoh protagonis dalam filmnya. Betapa gila aksi dan kuatnya sang antagonis tetap saja semua bakal berakhir baik. Dengan pesona dua tokoh utama dan pencapaian visualnya yang mengesankan, filmnya memang (kadang) mampu menghibur tapi hanya begitu-begitu saja. Agen J dan K seolah menjadi sosok preman yang kerjanya hanya mengancam alien-alien yang melanggar hukum. Seri ketiga justru di luar dugaan memiliki pencapaian lumayan karena terdapat permainan waktu dalam plotnya. Lantas bagaimana film spin-off-nya?

Baca Juga  The Wolfman

Tak perlu otak jenius, penikmat film sejati pasti sudah bakal tahu twist ending filmnya sejak awal. Setelah sekuen pembuka, khususnya sejak segmen di London, adegannya mengalir datar dan sangat membosankan. Dialog-dialognya tak mampu membuat kita masuk dalam kisahnya, namun justru membuat capek. Semua arah plotnya mudah tertebak. Secara keseluruhan, aksi-aksinya yang didukung CGI menawan tergolong biasa sekalipun duel antara Riza (bertangan empat) dengan M terbilang unik. Bicara kasting, sosok Hemsworth sudah terlampau melekat dengan Thor sehingga ketika satu adegan menggunakan tribute superhero ini, efek humornya terasa garing. Entah mengapa, saya merasa Hemsworth tampak lelah dan tidak enjoy menjalankan perannya. Sementara Thomspon sendiri yang juga bermain dalam Thor: Ragnarok dan Endgame baru lalu, justru bisa tampil beda. Satu hal menarik justru musik tema khas MiB yang konsisten sejak seri pertama yang digarap komposer kawakan, Danny Elfman.

Men in Black: International menawarkan kisah tipikal serinya dengan karakter utama yang kurang karismatik, sekalipun pencapaian CGI dan aksinya terbilang menghibur dalam beberapa momen. Lelah rasanya menonton film ini, bisa jadi film sejenis sudah terlampau banyak saat ini, tidak seperti ketika seri pertamanya dirilis dua dekade lalu. Sang sineas juga tak mampu memberikan sentuhan magisnya seperti film-film arahannya sebelumnya. Jujur saja, The Fate and the Furious masih lebih menghibur dari film ini. Sepertinya sudah bisa kita katakan, seri MiB sudah tamat.

PENILAIAN KAMI
Overall
40 %
Artikel SebelumnyaThe Secret Life of Pet 2
Artikel BerikutnyaRumah Merah Putih
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.