Satu lagi, film aksi balas dendam kembali dirilis. Monkey Man adalah film aksi-thriller yang dibintangi, digarap, dan diproduseri oleh Dev Patel yang tercatat merupakan debut sutradara bagi sang bintang. Film ini juga dibintangi oleh Sharlto Copley, Pitobash, Vipin Sharma, Sikandar Kher, Adithi Kalkunte, dan Zakir Hussain. Film berbujet USD 10 juta ini juga turut diproduseri Jordan Peele dengan menggandeng studio raksasa Universal Pictures. Apakah film aksi ini melalui sentuhan sang bintang menawarkan sesuatu yang menarik?
Sejak kecil, Kid (Patel) harus kehilangan sang ibu yang tewas di tangan kepala polisi bernama Rana (Kher) yang kala itu menggusur kampungnya. Di kota, Kid kini hidup menjadi petarung bebas dengan julukan Monkey Man yang selalu menggunakan topeng kera. Tekadnya untuk membalas dendam pada pembunuh ibunya akhirnya membawanya bekerja sebagai pelayan di salah satu klub malam elit bernama Kings. Rana rupanya sering berkunjung ke sana hingga akhirnya Kid pun bisa berada dekat dengannya. Usaha untuk membalaskan dendam rupanya tak semudah yang ia pikir.
Plotnya memang tipikal seperti film bertema balas dendam yang telah jamak di pasaran, sebut saja Death Wish, John Wick, serta baru lalu The Beekeeper, hingga tipikal film-film gangster Korea. Sekuen aksi yang terbilang brutal menjadi sajian utama film-film ini, tidak terkecuali Monkey Man. Hanya bedanya, film ini menyelipkan banyak sisi lokal (India) yang sarat dengan isu politik, status sosial, religi, polisi korup, nabi palsu, prostitusi, bahkan transgender. Sang protagonis tidak hanya membalaskan dendam pada sang kepala polisi semata, namun juga melawan satu sistem yang korup hingga ke akarnya. Sisi ini yang membuat Monkey Man memiliki dimensi kultural yang berbeda dengan tipikal film-film senada, namun sayangnya tidak untuk segmen aksinya.
Aksi laga brutal kebanyakan menjadi trademark film-film aksi masa kini yang terkoreografi secara apik. Adegan aksi dalam Monkey Man, konon terinspirasi banyak dari The Raid. Namun jauh berbeda dengan The Raid yang memiliki sisi realisme kuat (penggunaan shot jauh dan lama), Monkey Man memiliki gaya lebih kasar yang bertumpu pada teknik editing cepat dan shot dekat. Dalam adegan normal pun, gaya kamera handheld seringkali bergoyang begitu kasar dan dinamis. Pengadeganan aksi sering terlihat kurang nyaman dan melelahkan di mata walau ini memang sesuai dengan “tone” kisahnya yang gelap dan suram. Untuk mendukung ini pula set bernuansa noir terasa kental sepanjang filmnya yang mampu memberikan kesan kota yang kumuh dengan didominasi adegan malam hari.
Monkey Man secara segar menyelipkan isu budaya, politik, religi, sosial, moral, hingga transgender dalam tipikal plot aksi balas dendam, sekalipun aksi-aksinya terbilang biasa bagi genrenya. Tentu tak mudah menggabungkan elemen-elemen tersebut dalam satu penceritaan yang utuh. Filosofi budaya lokal yang mengusung sosok sang raja kera “Hanoman” yang melawan kelaliman “Rahwana” menjadi metafora yang brilian untuk kisahnya. Untuk film aksi B-Movies, The Monkey Man merupakan pencapaian yang lumayan, khususnya untuk sang bintang yang sekaligus sineasnya. Walau bukan yang terbaik untuk genrenya, namun The Monkey Man mampu memberi warna lokal yang tidak dimiliki film-film sejenisnya.