Nimona adalah film animasi rilisan Netflix yang diarahkan oleh Nick Bruno and Troy Quane. Film ini diadaptasi dari novel grafis bertitel sama karya ND Stevenson. Film ini diisi suara oleh beberapa bintang populer, yakni Chloƫ Grace Moretz, Riz Ahmed, Eugene Lee Yang, dan Frances Conroy. Film berdurasi 99 menit ini mengambil tema sensitif sekalipun dikemas dalam aksi petualangan yang menghibur. Melihat temanya, jelas ini bukan untuk tontonan anak-anak yang seharusnya menjadi sasaran utama filmnya.

Seribu tahun yang lalu dikisahkan ksatria perempuan Gloreth menumpas monster raksasa jahat yang ingin membumihanguskan kerajaan. Setelahnya, sekeliling kerajaan dibuat tembok tinggi serta dibentuk pasukan elit untuk mengantisipasi monster di masa mendatang. Kini, sang ratu, Valerin, mengadakan satu perayaan besar memeringati kejayaan Gloreth serta memberi gelar sir kepada dua ksatria muda, Ballister (Ahmed) dan Ambrosius (Yang). Warga pun banyak mempertanyakan mengapa Ballister yang bukan keturunan ningrat bisa diangkat menjadi ksatria. Pada momen Ballister diangkat menjadi ksatria, satu kejadian tak terduga terjadi, pedangnya menghunus sang ratu hingga tewas. Sontak Ballister menjadi buron kerajaan. Di tempat persembunyiannya, Ballister pun didatangi sesosok gadis muda misterius bernama Nimona yang ingin membantunya untuk memulihkan nama baiknya. Rupanya Nimona adalah sesosok monster yang bisa berubah wujud menjadi apa pun.

Naskahnya memang terbilang amat unik. Latar kisahnya yang mengambil gaya medival dengan setting modern rasanya jarang sekali tersaji dalam medium film. Elemen setting sejarah, fantasi, dan sci-fi berpadu dengan solid melalui gaya visual yang mengesankan. Plotnya pun demikian. Mampu memadukan sisi komedi, aksi, investigasi, thriller, serta mitos (walau hanya rekaan) dengan solid. Chemistry dua tokoh utamanya terjalin kuat dengan polah konyol sosok Nimona yang mencuri perhatian sepanjang filmnya. Lalu mengapa film sedemikian menghibur dengan visualisasi yang memesona tidak mampu menjadi tontonan segala usia?

Baca Juga  Alpha

Ringkasan kisah di atas rasanya tidak mengindikasikan satu apa pun yang berbau sensitif. Namun, siapa pun tahu jika arah kisah dan pesannya mengarah ke mana. Plotnya secara gamblang tidak menutupi tema LBGT yang diusungnya. Singkatnya, Ballister dan Ambrosius adalah sepasang kekasih melalui dialog dan visualisasi adegannya. Sementara sosok Nimona merupakan metafora dari sesuatu yang asing atau tabu bagi kebanyakan orang. Nimona adalah sesosok aneh yang dianggap monster dan dijauhi manusia sekalipun ia sebenarnya berhati mulia. Rasanya ini mudah untuk dipahami. Konsep senada juga digunakan oleh Luca produksi Studio Pixar.

Di luar propaganda yang bisa menimbulkan pro-kontra, Nimona adalah film animasi dengan kisah menghibur serta visual yang mengesankan. Andai pun kisahnya tidak mengarah ke tema yang diusung, film ini rasanya bisa berbicara lebih filosofis melalui metaforanya. Nimona yang bisa berubah wujud menjadi makhluk hidup apa pun identik dengan alam semesta (or God in disguise?) yang kian lama makin dijauhi manusia. Kisahnya bisa saja menyajikan bagaimana alam menyeimbangkan dirinya agar manusia bisa memahami lebih dalam mengapa mereka eksis. Ah ini hanya berandai.

1
2
PENILAIAN KAMI
Overall
70 %
Artikel SebelumnyaRuby Gillman, Teenage Kraken
Artikel BerikutnyaSilo
A lifelong cinephile, he cultivated a deep interest in film from a young age. Following his architectural studies, he embarked on an independent exploration of film theory and history. His passion for cinema manifested in 2006 when he began writing articles and film reviews. This extensive experience subsequently led him to a teaching position at the esteemed Television and Film Academy in Yogyakarta. From 2003 to 2019, he enriched the minds of students by instructing them in Film History, Introduction to Film Art, and Film Theory. His scholarly pursuits extended beyond the classroom. In 2008, he published his seminal work, "Understanding Film," which delves into the core elements of film, both narrative and cinematic. The book's enduring value is evidenced by its second edition, released in 2018, which has become a cornerstone reference for film and communication academics across Indonesia. His contributions extend beyond his own authorship. He actively participated in the compilation of the Montase Film Bulletin Compilation Book Volumes 1-3 and "30 Best Selling Indonesian Films 2012-2018." Further solidifying his expertise, he authored both "Horror Film Book: From Caligari to Hereditary" (2023) and "Indonesian Horror Film: Rising from the Grave" (2023). His passion for film extends to the present day. He continues to provide insightful critiques of contemporary films on montasefilm.com, while actively participating in film production endeavors with the Montase Film Community. His own short films have garnered critical acclaim at numerous festivals, both domestically and internationally. Recognizing his exceptional talent, the 2022 Indonesian Film Festival shortlisted his writing for Best Film Criticism (Top 15). His dedication to the field continues, as he currently serves as a practitioner-lecturer for Film Criticism and Film Theory courses at the Yogyakarta Indonesian Institute of the Arts' Independent Practitioner Program.

BERIKAN TANGGAPANMU

Silahkan berikan tanggapan anda
Silahkan masukan nama anda disini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.